#NegaraHukumBesi, Neil Young dan Situasi Dunia Terkini

I GustiNgurah Karyadi - IST
I GustiNgurah Karyadi - IST

Penulis: Ngurah Karyadi

“…No more money to the fascists/
the billionaire fascists/
TIME TO BLACKOUT THE SYSTEM/
no more great again/
No – no more great again/
TIME TO BLACKOUT THE SYSTEM/
There’s big crime in DC at THE White House…”
(Big Crime, Neil Young, 2025)

Gambaran Neil Young, seorang rocker dari Amerika Serikat, sangat tepat melukiskan situasi dunia, Indonesia dan sekitar kita (Bali) hari ini. Dalam “kuasa fasisme, dan fasisme kaum kaya (bilioner), kriminal besar D.C dan Gedung Putih”, ungkap Neil Young.

Berpusat di Ibukota: Parlemen dan Istana, yang kendalikan negara, dengan cara melawan hukum serta konstitusi dalam melindungi kaum kaya/berada (Oligarkhi).

Sejenis Negara Hukum Besi (KejahataNegara) demi akumulasi kekayaan kaum beruang, yang kian mewabah seiring Pandemi/Covid, di tahun 2020. Sudah tentu dengan mengabaikan kesempatan kaum miskin dan terlantar (SamiNista), yang hanya dipuaskan sejenak dengan berbagai paket Bantuan Sosial (Bansos) bernada politik.

Hal ini menggugah pertanyaan dasar, “What’s Property? Is Thefts”, kata Jean Piere Proudon (1840). Dengan kata lain, pemupukan kekayaan adalah produk kejahatan, yang dilindungi negara dan perangkatnya.

Dalam Wikipedia, disebut KejahataNegara sebagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menyalahgunakan kekuasaan, atau posisi negara, yang dilakukan melalui perbuatan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan dalam tata kelola negara.

Sementara, sosiolog Robert Michels, dalam bukunya Political Parties (1911), menyatakan: “It asserts that rule by an elite, or oligarchy, is inevitable as an ‘iron law’ within any democratic organization as part of the ‘tactical and technical necessities’ of the organization.”

Sejenis rezim Mobokrasi (akibat jamu Kratom/MDMA?), dimana “pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh mereka yang tidak kredibel secara etik moral, serta tidak tahu seluk-beluk hukum dan pemerintahan”. Ikuti kredo aktivis: Tetaplah berkuasa, walau tak berguna untuk rakyat miskin tentunya.

Lahirlah rezim Asongan/Pedagang keliling, Yang bodoh, serta melawan konstitusi dan Hak asasi manusia (HAM). Negara berubah menjadi Neo/post Liberalism, dalam arti negara sudah dalam kendali para pemodal (kapitalis: Asing dan Aseng), beserta jaringanya (Oligarkhi), yang mengabaikan hukum dan konstitusi. Semua perangkat negara menjadi jongos (Asongan) pelaksanaan kebijakan pemodal, atau investor.

Hilang lenyap norma keadaban, landasan konstitusi arah negara sudah menjadi sampah. Yang tersisa tinggal kekerasan dan pemaksaan kehendak.
Dugaan sangat kuat keonaran, kerusuhan, kekejaman dan kekerasan berpusat dan datang dari Parlemen dan Istana di Ibukota.

Dalam Catatan Aaron L. Connely, 2014, disebutkan:
“Jokowi has been building a uniquely close relationship with the police … The police now act as both a security and political force, actively building legal Cases againt govenent opponent (and) silencing critics.”

Terjemahanya kurang lebih, “Jokowi telah membangun hubungan dekat yang unik dengan polisi … Polisi Sekarang bertindak sebagai kekuatan keamanan dan politik aktif membangun kasus hukum melawan lawan pemerintah, dan membungkam kritik.” Mirip kisah George Samsa, yang pedagang keliling berubah menjadi kecoa dalam cerita: Metamorpose-nya Frans Kafka.

Hasil Pilpres 2024 lebih tragis, sebagaimana dikatakan Gustika Hatta:
“Kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi’,” tegasnya.

Hukum dan konstitusi telah berubah wajah menjadi kekuasaan. KPK sudah gelap mata, ott hanya “tontonan tanpa tuntunan” dalam menjalankan kekuasaan politik hukum sesuai perintah Parlemen dan Istana.

Habisi semua lawan politik yang tidak sejalan Rezim Soloensis, dan penerusnya saat ini, seraya mengeruk kekayaan dari bumi, air dan kekayaan Alan serta darah, keringat, dan air mata rakyat melalui: Tambang, HPH, Wisata, serta berbagai pungutan dan Pajak.

Makin keras dan kejam Kejahatan Negara kepada rakyat. Ketika rezim ini sampai merasuki akal waras, dan semua kesurupan, dan bahkan seorang Aktivis Pospera, Noel menjadi Posperas, yang peras P3 Buruh, sampai hasil keringat buruh dititik Nol

Sudah tentu ada perlawanan lokal dari Sabang-Meraoke, termasuk Pati, Bone, Medan, dan lain-lain.

Mendapat momentum saat Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat Ibukota menggelar aksi di depan Gedung Parlemen, 25 Agustus, yang bertajuk: #RevolusiRakyatIndonesia 2025! Dan masih merambah dan menjalar di hampir semua Daerah/propinsi, termasuk Bali, dengan semangat “Revolusi Nusa Damai”-nya Ketut Tantri.

Sehingga, siapapun tanpa kecuali yang tidak seirama dan sejalan dengan Oligarkhi-nya para bandit, bandar politik dan judol terlibat. Sudah tentu harus siap ditindas dan digilas, seperti dalam peristiwa kematian Affan Kurniawan (Ojol) di Jakarta, atau Reza (Mahasiswa) di Yogyakarta, dan lainnya.

Sekaligus harus bersiap untuk dipersekusi dan di kriminalisasi: Makar dan Terorisme, mengikuti arahan Pidato Presiden, Minggu, 31/8). Arah politik negara tunduk dan lumpuh total pada Kapitalis Oligarkis, yang sudah menguasai semua kekuatan negara, dan aspek hidup rakyat (pangan, sandang , papan, kesehatan dan rekreasi), yang tengah Bersiap dengan Komando Trump-et/Tretetet: #TindakTegasTembak! Sekaligus mewabah di sekitar (Bali), lengkap dengan parade Pecalang dan bendera: #BaliTolakAnarkhi, kita singkat: BETEKA’

Dari ‘situasi, kondisi, dan lokasi’ (Sikontol) perlawanan ini mengajak kita pada M. Bakunin (Marxism, Freedom and States, 1950), saat memarahi Karl Marx, terkait ‘perlu tidaknya keberadaan negara’.

Menurut Bakunin, Negara adalah ular raksasa (Boa) yang melahap habis kebebasan manusia. Negara, apapun bentuknya, termasuk negara rakyat yang digagas Marx, selalu merupakan wujud tirani minoritas terhadap mayoritas. Lengkap dengan HukumBesi-nya.

Sehingga, Negara harus ‘dihancurkan’, ajak Bakunin. Sistem Negara di-black-out atau dibekukan, kata Neil Young. Suatu upayan “agar manusia terbebaskan dari mentalitas budak, dan hidup dalam kebebasan, keadilan dan kesetaraan”, punkas Bakunin. (kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?