DENPASAR, kanalbali.id – Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali meluncurkan Program Tantri, sebuah program yang berfokus pada isu kekerasan seksual dan perkawinan anak, pada Jumat (24/10/2025).
“Persoalan kekerasan seksual dan perkawinan anak harus di Bali harus dilihat secara menyeluruh dengan upaya kolektif,” kata Ketua Pengurus Daerah PKBI Daerah Bali, dr. I Made Oka Negara, M.Biomed., FIAS.
WN Amerika Tewas Saat Mendaki Gunung Batur
“Kolaborasi akan menghasilkan dampak yang jauh lebih besar daripada kerja individu. Masalah kekerasan dan perkawinan anak tidak bisa diselesaikan oleh satu lembaga saja, tetapi membutuhkan kerja bersama lintas sektor,” ujarnya.
PKBI mengundang berbagai lembaga, organisasi serta pemerintahan lintas sektor, program ini mendorong ruang kolaboratif dalam menanggapi kedua isu tersebut.
Acara dihadiri oleh beberapa lembaga pemerintahan seperti BKKBN, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dinas Sosial P3A Provinsi Bali, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Adat, Majelis Desa Adat, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali, dan Disdikpora Kota Denpasar.
Tak hanya itu, para akademisi dan lembaga penyedia layanan pun hadir seperti IKM FK Universitas Udayana, HIMPSI, LBH Apik Bali, dan LBH Bali WCC. Didukung oleh UN Women melalui UN Trust Fund, program ini akan dijalankan oleh PKBI Daerah Bali selama 4 tahun kedepan hingga 2029.
Komitmen PKBI
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Daerah (DED) PKBI Daerah Bali, Anak Agung Ayu Ratna Wulandari, menegaskan bahwa komitmen PKBI Daerah Bali diwujudkan melalui berbagai upaya perlindungan dan pemberdayaan, khususnya bagi remaja dan kelompok rentan.
Ia menambahkan, di Bali, kasus perkawinan anak dan kekerasan seksual masih menjadi tantangan serius yang mencerminkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar individu khususnya dalam konteks Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Hak-hak tersebut mencakup hak atas kesetaraan dan bebas dari diskriminasi, hak untuk memperoleh informasi dan pendidikan yang komprehensif mengenai tubuh dan seksualitas, hak atas layanan kesehatan yang aman, serta hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
Pelanggaran terhadap HKSR tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menimbulkan konsekuensi yang lebih luas mulai dari terampasnya masa depan generasi muda, terganggunya kesehatan reproduksi, terhambatnya akses pendidikan, hingga menurunnya kesejahteraan keluarga.
Program Tantri
Melalui Program Tantri, ia berharap Bali dapat membangun gerakan kolektif yang kuat sebagai langkah strategis dalam menjembatani kesenjangan sistem perlindungan anak dan perempuan.
Menariknya, Program Tantri dijalankan dengan melibatkan peran aktif remaja sebagai penggerak utama dalam setiap prosesnya.
Pendekatan ini menjadi wujud nyata penerapan nilai Meaningful Inclusive Youth Participation (MIYP) atau keterlibatan remaja yang inklusif dan bermakna, di mana remaja tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga berperan sebagai perencana, pelaksana, sekaligus penyampai pesan perubahan di lingkungannya.
Dengan memberikan ruang kepemimpinan kepada remaja, Tantri mendorong terciptanya kolaborasi lintas generasi yang lebih setara dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, tercetusnya Program Tantri pun tidak lepas dari tingginya angka kasus kekerasan seksual dan perkawinan anak.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2024 mencatat terdapat 31.793 kasus kekerasan, dengan 27.521 korban perempuan, termasuk 14.299 kasus kekerasan seksual.
Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah serius yang meluas di Indonesia.
Di Provinsi Bali, tren kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan, dari 331 kasus pada tahun 2021 menjadi 438 kasus pada tahun 2024, dan 93 diantaranya merupakan kekerasan seksual.
Urgensi tersebut diiyakan oleh Ni Luh Gede Yastini, Ketua KPAD Bali dengan menambahkan data terkait perkawinan anak di Bali. KPAD mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 368 permohonan dispensasi kawin anak di Bali naik dari 335 permohonan pada tahun 2023.
Ketika kehamilan remaja terjadi, seringkali perkawinan dianggap menjadi solusi sehingga hak-hak anak pun terampas karena statusnya.
“Anak perempuan ini sering dianggap beban yang akhirnya berpindah ke suami ketika ia menikah. Akhirnya ketika ia menikah, mereka jadi tidak melanjutkan pendidikannya,” ungkapnya.
Menurut Yastini, perlu ada keselarasan antara hukum adat dan hukum nasional untuk memastikan hak-hak anak tidak hilang saat terjebak dalam situasi kehamilan.
Berefleksi dari diskusi tersebut, Program Tantri akan berjalan selama 4 tahun dengan membawa tiga penekanan utama dalam setiap kegiatannya, yaitu:
Pemberdayaan Remaja untuk Bersuara: Remaja bukan hanya objek perlindungan, tetapi subjek perubahan. Tantri Project membuka ruang aman bagi mereka untuk menyuarakan pengalaman, harapan, dan solusi, sekaligus memperkuat kapasitas mereka dalam memahami hak-hak dan mekanisme perlindungan
Peluncuran Program Tantri pun ditutup dengan penandatanganan komitmen bersama oleh masing-masing peserta. Dengan ini, harapannya gerakan kolektif yang kuat akan menjadi langkah strategis dalam menjembatani kesenjangan sistem perlindungan anak dan perempuan di Bali, termasuk mendukung implementasi Tantri Project sebagai inisiatif yang menciptakan ekosistem perlindungan yang menyeluruh, responsif, dan berkeadilan. (kanalbali/RLS/RFH)


