Redaktur Tidak Tidur, Sebuah Refleksi tentang Wartawan Plus Sastrawan

Ilustrasi - Redaktur = IST
Ilustrasi - Redaktur = IST

ADA satu redaktur yang agak sulit saya tebak karakternya; terutama saat kami berkomunikasi secara virtual. Selain wartawan, dia seorang penyair dan cerpenis. Sastrawan yang diperhitungkan di Bali.

Penulis:  Angga Wijaya

Saya pernah mengira dia pendiam karena cuek dan egois. Ketika mengirim pesan singkat dia jarang sekali membalas, kecuali jika ada hal penting sekali. Selain itu, tidak. Dia tak suka berbasa-basi. Jika pun berkata-kata atau membalas pesan, to the point. Tak mau bertele-tele.

Para seniman, kita tahu bersama, mereka unik. Redaktur satu ini juga begitu. Sifat dan karakternya yang pendiam mengundang banyak tanya. Sudah lama dia mengelola media online, setelah sebelumnya belasan tahun bekerja pada media besar di Bali.

Saya pun rajin mengirim tulisan berupa esai dan puisi ke sana, sejak 2018. Media itu pun menjadi wadah bagi kreativitas menulis saya. Juga, portofolio, karena semua tulisan tersimpan rapi sesuai nama penulis.

Dari awal saya tahu, media online tersebut tidak menyediakan honor bagi para penulis yang karyanya dimuat. Saya paham, tidak gampang mengelola media. Bukan berarti mereka pelit, tapi kondisi keuangan perusahaan memang belum mencukupi biaya operasional.

Redaktur sekaligus kawan saya itu pada awal-awal berdirinya media online tersebut, bekerja sendirian. Baru beberapa tahun lalu ia menerima staf magang bagi anak-anak muda dan mahasiswa dengan studi terkait. Termasuk, merekrut beberapa reporter atau wartawan yang rata-rata masih muda.

Pekerjaan redaktur itu tidak mudah. Tak hanya bertugas menggunggah berita atau tulisan ke website, tapi juga menyunting tulisan, memilah tulisan yang layak muat, termasuk juga kini pada era digital; mesti punya kemampuan teknis seperti SEO, desain, pengetahuan tentang traffic  media, dan hal-hal teknis lainnya yang jauh berbeda ketika hanya menjadi wartawan saja.

Belum lagi soal manajerial; memikirkan bagaimana perusahaan media terus berjalan, dengan mencari iklan atau kerjasama dengan pemerintah atau perusahaan swasta. Berat, tidak mudah. Semua itu biasanya membuat waktu kerja mereka tidak menentu.

Jam tidur berkurang, begadang hampir setiap malam—sementara tugas domestik baik sebagai ayah dan suami harus juga bisa dilakukan secara bersamaan; mengantar-jemput anak sekolah atau les, mengerjakan pekerjaan rumah, jalan-jalan saat libur bersama istri dan keluarga, dan lain sebagainya.

Redaktur jarang tidur bahkan tetap terjaga hingga dini hari, setelah semua pekerjaan redaksi selesai. Sementara pada pagi hari mereka harus bangun, beraktivitas lagi. Begitu setiap harinya.

Suatu siang, kawan redaktur itu mengirimi saya pesan singkat. Ia meminta nomor rekening saya. Meski agak terkejut, saya jawab sekaligus bertanya; apakah ini untuk pembayaran honor tulisan atau apa. Dia menulis bahwa dana yang akan ditransfrer ke rekening saya bukanlah honor, sebab media online miliknya tetap tidak memberi honor.

Dana itu sebagai ucapan terima kasih atas dedikasi penulis yang rajin serta konsisten mengirim tulisan ke medianya. Sebagai bentuk dukungan kepada penulis agar tetap bisa menghasilkan karya dan tulisan yang berkualitas.

Beberapa saat saya terdiam. Ternyata, karakter pendiam kawan redaktur itu “berbeda”. Ia lebih suka mengamati dan tidak banyak bicara. Khas mereka yang lahir dan besar pada budaya dimana tradisionalitasnya masih kental.

Jadi, seperti ungkapan Gusti Ora Sare di Jawa, Tuhan Tidak Tidur. Pun juga, para redaktur “tidak tidur” dalam makna bahwa mereka sebenarnya ingin membalas dedikasi penulis, tapi kondisi belum memungkinkan. Terutama tentang cash-flow, yang mesti dicermati dengan baik.

Kondisi Media Massa di Bali

Digitalisasi yang melahirkan disrupsi termasuk pada media massa, dalam sebuah diskusi tentang pers di Bali yang pernah digelar di Denpasar, disebutkan tidak terlalu berpengaruh pada bisnis media massa di Bali.

Pada media cetak seperti koran, kondisi tersebut memang membuat perusahaan media mesti mengurangi oplah, selain jumlah halaman mengingat ongkos cetak yang tidak murah. Hal itu dilakukan agar koran tetap terbit. Di Bali, media cetak menjadi pilihan instansi pemerintah. Lembar koran yang lebih mudah di-kliping menjadi salah satu alasan.

Mereka biasanya melakukan kerjasama dengan perusahaan media untuk memuat rilis pers pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Itulah yang membuat banyak perusahaan media di Bali tetap hidup.

Digitalisasi juga membuat media cetak membuat versi online atau daring. Jika pembaca ingin membaca berita secara langsung dan cepat, bisa melihat media online. Sedangkan jika ingin membaca yang lebih lengkap dan panjang dari misalnya sebuah peristiwa bisa membaca versi cetak atau koran. Ini sebagai sebuah adaptasi, jika perusahaan media ingin terus bertahan hidup

Salah seorang narasumber pada diskusi tersebut, pemilik media online dan cetak di Bali, sangat optimis, media massa bisa terus bertahan. Media cetak dan media online sejatinya bisa saling mendukung, tidak perlu “dibenturkan” karena masing-masing punya  pembaca setia dan fanatik.

Itulah sebabnya, kesimpulan diskusi tersebut, hampir tidak ada media massa di Bali yang bangkrut atau gulung tikar, termasuk juga gelombang PHK pekerja media seperti di luar Bali.

Harapan Masa Depan

Dua tahun terakhir, saya memilih untuk menjadi wartawan lepas. Kondisi saya yang amat terbatas membuat saya lebih nyaman jika bekerja dari mana saja (WFA). Tidak ada kewajiban datang ke kantor, target berita harian yang biasanya 4-5 berita/artikel. Menerima gaji bulanan mesti harus siap dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut.

Berbeda dengan sistem lepas, wartawan bisa bekerja untuk beberapa media, upah dibayar per berita, tidak ada target berita harian—yang membuat saya punya lebih banyak waktu untuk membaca buku, merenung, mencari ide tulisan, atau sekadar bertemu sahabat untuk minum kopi dan mengobrol tentang banyak hal, yang tak jarang menjadi pemantik dalam menulis.

Menjadi wartawan sekaligus sastrawan, saya sadari kemudiam, pola dan gaya kerjanya tidak berbeda jauh dengan seorang redaktur. Karakter idealis, perfeksionis dalam berkarya dan gaya keseharian kami hampir sama: jam tidur yang berbeda dengan orang kebanyakan, kesehatan yang rawan karena sering begadang, hingga waktu yang rasanya amat mahal sehingga kami jarang bercengkrama dengan keluarga, bahkan dianggap eksentrik bak seniman oleh orang lain.

Namun dari sana saya menemukan pelajaran, bahwa ketekunan, kesabaran, kecintaan secara total pada pekerjaan adalah aset dan modal yang berharga untuk berhasil dalam pekerjaan, dalam hidup.

Hasil yang tidak melulu bersifat materi—lebih dari itu; pertemanan luas, jaringan kerja yang baik, termasuk juga kepuasan batin terhadap apa yang dilakoni sejak lama. Terlebih lagi jika telah menghasilkan karya lain di luar pekerjaan jurnalistik, misalnya buku kumpulan puisi atau buku kumpulan esai.

Juga, buku tunggal misalnya tentang budaya, psikologi, atau filsafat karena wartawan dikenal suka membaca buku sehingga tergolong kaum intelektual. “Tidak tidur” kami jadi tak sia-sia. Termasuk juga, bisa bermanfaat bagi orang banyak, baik melalui karya maupun tindakan nyata. (*)

*) Penulis adalah seorang wartawan lepas, penyair, dan esais. Tinggal di Denpasar-Bali.***

 

Apa Komentar Anda?