
Penulis: I Gusti Ngurah Karyadi (Aktivis dan Pengacara di Bali)
“Old Pirates, yes, they rob I.
Sold I to the merchant ships
minutes after they took I from the bottomless pit.
But my hand was made strong
By the hand of the Almighty
We forward in this generation triumphantly…”
(Redemption Song – Bob Marley)
Potongan syair lagu Bob Marley penulis gunakan untuk menggambarkan situasi dunia, nasional dan Bali kini. Sebuah era ‘gairah gelap, atau kegelapan’, seperti lukisan William A. Galston dalam: “Anger, Fear, Domination: Dark Passion and the Power of Political Speech” v(Yale, 2025).
Untuk itu, perlu penebusan (Redemtion), atau pembebasan (Dekolonisasi), dan/atau “Revolusi yang belum selesai”, kata Bung Karno, dalam pidato 17 Augustus 1965. Menjadi tugas sejarah untuk menyelesaikan, atau menuntaskannya, bukan sebaliknya: Mengadili, baik gagasan, tindakan, atau pun buku-bukunya.
“Redemption” dalam bahasa Inggris berarti penebusan atau pemulihan, yang dapat diartikan dalam berbagai konteks seperti penebusan (dosa), atau pemulihan sesuatu yang hilang, atau rusak.
Ada pun De-koloni-sasi menurut Wikipedia, yaitu proses penghapusan penjajahan oleh negara kolonial dan pengembalian kemerdekaan kepada wilayah yang sebelumnya dijajah.
Dan, Revolusi adalah transformasi cepat dan fundamental terhadap kelas, negara, etnis, atau struktur agama suatu masyarakat.
Proses pembebasan, dekolonisasi dan/atau revolusi, hanya dapat terjadi melalui kemerdekaan politik, dan dalam konteks yang lebih luas, mencakup upaya pemulihan budaya, ekonomi, dan pengetahuan yang mungkin telah terasing oleh kolonialisme atas “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya”.
Frantz Fanon, artikan De-koloni-sasi sebagai proses pembebasan nasional, kebangkitan nasional, pemulihan kebangsaan kepada rakyat, persemakmuran atau apapun istilah yang digunakan dan formula yang digunakan.
Proses dekoloniasi selalu merupakan fenomena kekerasan. Menurutnya, pada level apapun –hubungan antar individu, nama baru untuk klub apapun, bauran manusia dalam pesta, di kepolisian, di dewan pengarah bank-bank nasional atau swasta.
Dekolonisasi adalah penggantian ‘spesies’ manusia tertentu dengan ‘spesies’ manusia ‘lain’-nya. Dekolonisasi adalah salah satu konsep yang sering dimunculkan dalam buku Fanon, Frantz, “Bumi Berantakan” (The Wretched of The Earth), Jakarta: Teplok Press, 2000.
Penebusan, revolusi dan pembebasan berupaya mengubah tatanan dunia dan masyarakat, yang menurut Fanon jelas merupakan program kekacauan total. Untuk itu perlu diperhatikan bahwa proses termaksud tidak muncul sebagai praktek dari magis, gucangan alam, atau pemahaman yang bersahabat.
Sebaliknya, sebagai proses sejarah (historis). Dalam artian, pertemuan setidaknya dua kekuatan, atau kutub, yang tentu saja saling berlawanan (asimetris), disatu sisi berasal dari daerah/koloni dan kemudian didukung dan dipupuk untuk melawan Dinasti dan Oligarkhi, yang kolonial, kuasa dan menindas.
Perjumpaan pertama dua kekuatan ditandai dengan kekerasan dan eksistensinya: adanya ekspolitasi pribumi oleh luar/asing, yang dilakukan dengan bayonet dan meriam.
Penjajah dan pribumi adalah kenalan lama, yang terus bersaing hingga hari ini. Pada kenyataannya, penjajah benar ketika ia berbicara mengenai pengetahuan ‘mereka’ dengan baik.
Karena penjajah yang melahirkan keberadaan pribumi, dan yang kekalkan keberadaan dalam dinamika kuasa pribumi. Keberadaan penjajah, yakni propertinya, adalah berkat sistem hukum negara, yang masih kolonial.
Proses tersebut tidak pernah berlangsung tanpa menarik perhatian, karena ia mempengaruhi individu dan memodifikasi mereka secara fundamental.
Penerusnya itu mengubah penonton yang hancur bersama inesensialitasnya menjadi aktor-aktor istimewa, dengan sorotan besar lampu sejarah yang terpancar kearah mereka.
Melahirkan ritme alamiah, yang diperkenalkan oleh orang-orang baru, dan bersama ritme alamiah tersebut lahir pula bahasa baru dan humanitas baru. Namun legitimasi ciptaan ini sama sekali tidak berasal dari kekuatan magis (supernatural), dan telah menjajah manusia.
Selama proses yang sama dan bersama proses itu, harus waspada: Hal itu tidak mungkin untuk membebaskan diri darinya.
Karena itu dalam penebusan, dekolonisasi, dan/atau revolusi, ada kebutuhan akan panggilan utuh yang mempertanyakan situasi kolonial, dan paska kolonial.
Menurut Fanon, jika kita ingin mendeskripsikan dengan cermat, kita mungkin menemukan dalam kata-kata terkenal: “The last shall be first, and the first last”, atau yang terakhir akan menjadi yang pertama, yang pertama akan menjadi yang terakhir.
Sehingga, aplikasi dari kalimat ini kita berusaha untuk mendeskripsikan perjuangan Kemerdekaan 1945, atau Reformasi 1998 misalnya, itu apakah berhasil, atau sebaliknya: Sublimation, atau “kita menjadi apa yang kita lawan”.
Rezim penguasa seakan lupa peringatan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.
Situasi tersebut mestinya bangkitkan kenangan mengenai peluru panas dan pisau-pisau yang berlumuran darah untuk keluar dari kolonisasi, atau kuasa rezim yang datang silih berganti.
Karena jika ‘yang terakhir menjadi yang pertama’, ini hanya akan terjadi setelah melalui pertarungan sengit antara kedua protagonist tersebut.
Kehendak kuat untuk menempatkan yang terakhir pada ujung dan untuk menjadikan mereka mendaki anak-anak tangga pada kecepatan besar yang menjadi ciri suatu masyarakat yang terorganisasi, yang hanya dapat menang jika menggunakan semua cara untuk mengakhiri, termasuk menggunakan kekerasan, seperti kini dipertotonkan dalam aksi-aksi Kaum Gen-Z Bali, Indonesia, Nepal, atau di berbagai belahan dunia lainya.
Seperti yang dinyatakan oleh Fanon, dunia kolonial adalah dunia yang terbagi-bagi ke dalam kompartemen, atau bagian. Fanon menyatakan perlu diperhatikan dengan cermat sistem kompartemen ini, dengan memperhatikan secara cermat maka akan tersingkap garis-garis kekuatan yang tersirat di dalamnya.
Pendekatan terhadap dunia kolonial ini, tatanan dan latar geografisnya memungkinkan untuk menandai garis-garis di atas mana masyarakat yang terbebaskan, yang akan direorganisasi.
Dunia kolonial dan paska kolonial terpotong menjadi dua. Garis pemisah, dan batasnya terlihat dari barak dan kantor polisi. Di koloni, Polisi dan Tentara menjadi pejabat, perantara, juru bicara penguasa dan pribumi, yang menindas.
Dalam masyarakat kapitalis, sistem pendidikan dikualifikasi: apakah untuk orang kebanyakan/rakyat atau golongan elite? Struktur refleksi moral yang diwariskan dari ayah kepada anak, kejujuran pekerja yang diberi medali setelah lima puluh tahun mengabdi dan kasih sayang yang bersemi dari hubungan harmoni dan perilaku baik.
Di negara-negara kapitalis banyak guru moral, konselor dan “orang bingung” memisahkan mereka yang terjajah dari mereka yang berkuasa. Di negara-negara kolonial, dan paska kolonial, para tentara dan polisi melalui senjata memperingati pribumi. Teror dan Kekerasan sampai ke dalam pikiran bawah sadar kaum pribumi.
Kota koloni adalah kota yang dibangun sangat kukuh, terbuat dari batu dan baja. Kota yang gemerlapan, jalan dilapisi aspal, tak ada sampah. Kota koloni adalah kota yang berkecukupan pangan dan kota yang serba memiliki akses yang mudah, terisi barang-barang berkualitas baik.
Kota koloni dihuni oleh orang-orang kulit putih, arau orang asing, yang kini kian marak di Bali atau Indonesia.
Sebaliknya kota milik orang pribumi, atau kampung adat, desa, dan daerah perkampungan adalah tempat buruk yang dihuni oleh orang-orang yang memiliki reputasi sebagai rendahan, miskin, atau bahkan penjahat.
Orang-orang tumpang-tindih satu sama lain di dalam gubuk-gubuk. Kota pribumi kota yang lapar, tanpa roti, daging, sepatu, batu bara, atau bahkan tanpa cahaya. Kota pribumi adalah perkampungan yang tunduk, takluk, kota yang bergelimpangan lumpur. Kota orang-orang pribumi dan orang pendatang, yang miskin dan kotor.
Dunia yang terbagi ke dalam kompartemen ini, dunia yang terbelah menjadi dua ini, dihuni oleh dua spesies yang berbeda. Orisinalitas kolonial adalah bahwa realitas ekonomi, kesenjangan dan perbedaan tajam cara hidup tidak pernah menutupi realitas manusia.
Fanon menyatakan bahwa “ketika kita melihat dengan cermat kawasan dalam konteks kolonial, nyata sekali bahwa apa yang membagi dunia ialah dimulai dengan fakta atau bukan milik suatu ras tertentu, suatu spesies tertentu. Di koloni, struktur dan substruktur ekonomi juga merupakan suprastruktur.
Penyebab itu merupakan konsekuensi, anda kaya karena anda kulit putih, anda kulit putih karena itu anda kaya”. Hal inilah yang menurut Fanon bahwa mengapa analisis Marxis selalu terbentang setiap kali kita ingin mengatasi masalah kolonial. Segala sesuatu sampai pada dan termasuk masyarakat kapitalis, dijelaskan dengan baik oleh Marx.
Hamba budak berbeda dengan bangsawan, namun pada acuan hak ilahiah perlu untuk melegitimasi perbedaan menurut undang-undang. Di Koloni-koloni, orang asing yang datang dari negara lain menggunakan kekuasaannya dengan berbagai peralatan senjata dan mesin
Kekerasan yang mengendalikan tatanan dunia kolonial, dan paska kolonial yang tanpa henti menabuh genderang irama untuk penghancuran bentuk-bentuk sosial pribumi dan menghancurkan tanpa henti bentuk sosial peribumi dan mengahancurkan tanpa memperbaiki sistem acuan ekonomi, adat berpakaian dan kehidupan eksternal.
Kekerasan yang sama akan diklaim dan diambil alih oleh pribumi pada suatu ketika, setelah memutuskan untuk melawan dan mewujudkan sejarah pada dirinya sendiri.
Upaya menghancurkan dunia kolonial, dan paska adalah aksi mental yang sangat jelas, sangat mudah dipahami dan mungkin dilakukan oleh orang-orang terajajah. Menghancurkan dunia kolonial tidak berarti bahwa setelah batas dihapuskan, saluran komunikasi akan dibangun di antara dua zona itu.
Penghancuran dunia kolonial tidak lebih tidak kurang adalah penghapusan satu zona, dan penguburannya di kedalaman bumi atau pengusiran dari negara itu, bukan sebaliknya.
Tantangan dari pribumi terhadap dunia kolonial, dan paska kolonial bukanlah konfrontasi rasional terhadap suatu pendirian. Tantangan ini bukan merupakan risalah tentang hal-hal universal, namun afirmasi tak rapi atas ide asli yang dikemukakan sebagai hal universal.
Dunia kolonial adalah dunia ‘Manichean’. Para penjajah tidak hanya membuat batas fisik yang dijaga oleh polisi dan tentara, namun mengkonstruksi makna dan simbol-simbol bahwa orang-orang pribumi adalah: Personifikasi dari kejahatan, kekurangan nilai, tidak memiliki etika.
Bahkan Manicheisme ini sampai pada kesimpulan logisnya dan tidak memanusiakan pribumi bahkan menyebut mereka sebagai binatang, dan kebun binatangnya.
Sementara itu, dalam bahasa Fanon (Black Skins White Musk, 1952), Intelektual pribumi yang mengikuti kaum penjajah, akan memperjuangkan agar kaum penjajah dapat hidup berdampingan secara damai dengan kaum pribumi, dalam sebuah dunia baru.
Akan tetapi para intelektual tersebut tidak menyadari bahwa mereka adalah bagian dari dunia kolonial dan para penjajah tersebut tidak memiliki keinginan untuk hidup saling berdampingan dengan pribumi.
Kaum penjajah mengetahui bahwa tidak ada bahasa yang dapat menggantikan realitas sehingga orang-orang pribumi dapat menemukan identitasnya. Namun pada akhirnya, upaya dekolonisasi menyadarkan, bahwa warna kulit pendatang adalah ‘bukan nilai lebih’ dari warna kulit pribumi.
Penebusan, dekoloniasi, atau revolusi sering terjebak untuk mengubur keragaman (heterogenitas), dan menyatu berdasarkan atas basis suku, agama, ras dan adat istiadat (SARA).
Masyarakat pribumi berpandangan bahwa penebusan, dekolonisasi, atau revolusi dilihat dari tuntutan minimal: “apakah yang terakhir menjadi yang pertama”, atau sebaliknya. Pada negara-negara kolonial dimana perjuangan kemerdekaan dilaksanakan melalui kekerasan, suprastruktur yang dibangun kolonial dihapuskan oleh intelektual pribumi.
Selama perjuangan kemerdekaan tersebut, intelektual pribumi bersentuhan dengan masyarakat sehingga konstruksi identitas dan nilai-nilai kolonial menjadi tidak bermakna. Karena tetap saja dalam konteks kolonial seperti yang disebutkan sebelumnya dicirikan oleh dikotomi yang dikenakan oleh kolonialis pada seluruh orang.
Intelektual pribumi sepertinya belajar dari tuannya bahwa individu harus mengekspresikan dirinya sendiri sepenuhnya.
Kaum borjuis kolonial, dan paska kolonial telah menanamkan ke dalam pikiran pribumi ide tentang suatu masyarakat yang terdiri dari individu-individu di mana tiap orang menutup dirinya sendiri dalam subjektivitasnya sendiri.
Satu-satunya kekayaan adalah hak kekayaan individual (HAKI), dan bukan kekayaan kelompok atau komunitas.
Di negara kolonial, dan paska kolonial, dimana perjuangan sejati untuk memperebut kemerdekaan telah sampai di Pintu Gerbang. Dimana darah rakyat mengalir dan dimana lamanya periode perang bersenjata mendukung kembalinya golongan intelektual kepada basis dasarnya: Rakyat, sang pemegang kedaulatan tertinggi.
Namun, pengahapusan supersturktur yang dibangun oleh intelektual borjuasi kolonialis gagal total.
Kaum borjuasi kolonialis dalam dialognya yang narsistis telah menanamkan ke dalam pikiran intelektual terjajah bahwa kualitas dasar tetap abadi,
The King’s can do no wrongs, dengan: Dinasti dan Oligarkhinya. Untuk itu, mari kibarkan Bendera Hitam (A), One-piece, Rastafarian dan sejenisnya, dalam majukan kemenangan generasi, atau “generation triumphantly”, teriak Bob Marley’s. (kanalbali/IS)