
Penulis: Angga Wijaya
Soe Hok-Gie pernah menulis dalam catatan hariannya bahwa demonstrasi adalah “alat untuk menyatakan sikap politik” bukan sekadar keramaian.
Baginya, aksi turun ke jalan adalah bentuk kesadaran kritis dan keberanian menghadapi risiko.
Dalam buku Catatan Harian Seorang Demonstran, ia menuliskan pengalamannya ikut demonstrasi dengan jujur, getir, dan penuh refleksi.
Gie bahkan mengingatkan bahwa demonstrasi bukan hanya untuk melawan kekuasaan, melainkan juga untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan nurani.
Saya sendiri masih ingat pengalaman tahun 1998. Saat itu, Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia bergejolak. Krisis moneter menghantam, harga melambung, mahasiswa memenuhi jalanan dengan spanduk, poster, dan suara lantang menuntut reformasi.
Saya ikut larut dalam suasana itu, meski hanya melalui berita di televisi atau membaca koran-koran dan tabloid politik yang terbit baru dan begitu masif.
Ada ketegangan sekaligus keberanian yang sulit dilupakan. Demonstrasi benar-benar hadir sebagai peristiwa nyata yang bisa mengubah arah sejarah bangsa.
Kini, lebih dari dua dekade kemudian, demonstrasi tetap ada tetapi wajahnya berubah.
Seperti kata Jean Baudrillard tentang simulakra, apa yang kita lihat hari ini sering kali bukan lagi realitas demonstrasi itu sendiri, melainkan citra, representasi, bahkan hiburan.
Orang bisa menyaksikan aksi massa tanpa harus hadir di lokasi. Cukup membuka ponsel, menggulir layar, menonton siaran langsung di Instagram, TikTok, atau YouTube.
Demonstrasi seakan dipadatkan menjadi tontonan singkat, penuh sorakan, kadang dramatis, kadang ironis, lalu lewat begitu saja di linimasa.
Jika dulu orang menunggu liputan koran esok hari atau siaran televisi malam, kini informasi datang seketika.
Demonstrasi menjadi event real-time. Ada yang menonton bukan untuk memahami tuntutan, melainkan sekadar mencari sensasi.
Seperti menonton konser atau pertandingan bola, orang lebih sibuk pada “momennya” ketimbang substansi. Inilah yang dimaksud zaman simulakra.
Demonstrasi tidak lagi selalu tentang perjuangan, tetapi tentang bagaimana ia ditampilkan, dipotong, dan dibagikan di layar.
Namun apakah ini berarti nilai perjuangan hilang? Tidak sepenuhnya. Masih ada kelompok yang serius, yang sungguh-sungguh membawa agenda perubahan.
Tapi sulit dipungkiri, ruang digital membuat semuanya bercampur.
Ada demonstrasi yang lahir dari keresahan otentik, tetapi ada pula yang terkesan dikemas untuk kepentingan lain, bahkan untuk kepuasan visual semata.
Pengamatan Lia Lestari, seorang pegiat spiritualitas dan peminat isu budaya, patut dicatat. Ia menulis di akun Instagram-nya tentang kemungkinan demonstrasi besar di Jakarta dan kota-kota lain yang tidak murni datang dari keresahan rakyat, melainkan ada indikasi campur tangan elit global.
Menurutnya, ada pihak yang ingin Indonesia jatuh ke dalam kerusuhan agar terjadi pergantian pemerintahan.
Pandangan ini memang tidak mudah diverifikasi, tetapi menunjukkan bahwa demonstrasi hari ini sering berada di wilayah abu-abu antara aspirasi rakyat dan permainan kekuatan besar.
Jika dibandingkan dengan era Soe Hok-Gie, nuansanya jauh berbeda. Gie mencatat dengan getir bagaimana aparat sering kali menindas mahasiswa.
Ia menulis tentang ketakutan dan luka, tentang teman-teman yang tertembak atau ditangkap. Demonstrasi adalah peristiwa penuh risiko yang dihadapi dengan keberanian.
Kini, sebagian risiko itu seakan berkurang, karena orang bisa tetap menjadi “peserta” hanya dengan menonton dan mengomentari dari rumah.
Tapi justru di situlah jebakannya. Demonstrasi berisiko menjadi simulasi perjuangan, bukan perjuangan itu sendiri.
Media sosial, dengan algoritmanya, memberi panggung yang unik. Slogan-slogan bisa viral lebih cepat daripada risalah tuntutan.
Meme lebih cepat menyebar daripada analisis panjang. Foto dramatis bisa lebih berpengaruh daripada kajian akademis.
Demonstrasi masuk ke dunia hiburan, menjadi konten. Kadang tragis, kadang lucu, tapi sering kehilangan konteks.
Saya jadi teringat kembali suasana 1998. Saat itu, informasi tidak semudah sekarang. Untuk tahu apa yang terjadi, kita harus hadir atau mendengar langsung dari teman.
Karena itu, keberanian turun ke jalan benar-benar terasa sebagai pilihan. Ada rasa takut sekaligus tanggung jawab. Demonstrasi bukan tontonan, melainkan pengalaman hidup.
Perubahan zaman membawa konsekuensi. Bukan berarti generasi sekarang tidak serius, tetapi cara mereka menyuarakan kritik telah berubah.
Demonstrasi digital, petisi online, trending topic, semuanya bagian dari wajah baru perjuangan. Tapi tetap ada pertanyaan penting apakah substansinya masih sama kuat, atau sudah tergeser oleh citra dan hiburan.
Baudrillard mengingatkan bahwa dalam simulakra, tanda dan realitas berbaur sampai tak bisa dibedakan. Demonstrasi hari ini kadang jatuh pada jebakan itu.
Antara aspirasi dan pertunjukan, antara perjuangan dan konsumsi tontonan. Dalam situasi ini, refleksi Gie tetap relevan.
Ia menulis bahwa mahasiswa tidak boleh menjadi “tukang sorak” dalam sejarah. Pesan itu kini bisa diperluas kita semua jangan hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku yang sungguh peduli pada nasib bangsa.
Pada akhirnya, demonstrasi harus tetap dipahami sebagai pernyataan sikap, bukan sekadar tontonan. Ia bisa menjadi simulasi, bisa juga menjadi realitas.
Tergantung bagaimana kita menghayatinya. Apakah hanya berhenti di layar ponsel, ataukah berlanjut dalam tindakan nyata untuk memperbaiki negeri. (kanalbali/AWJ)