Kikis Stigma dan Diskriminasi, ODHIV di Denpasar Harus Lebih Berani Terbuka

Niken Pratiwi seorang ODHIV yang memberikan testimoni pada Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2025 Kota Denpasar, Rabu (28/5/2025). Ia mengaku tidak pernahmengalami stigma karena berani terbuka - IST
Niken Pratiwi seorang ODHIV yang memberikan testimoni pada Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2025 Kota Denpasar, Rabu (28/5/2025)Ia mengaku tidak pernahmengalami stigma karena berani terbuka - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Kalangan Orang dengan HIV (ODHIV) harus lebih berani mengungkapkan statusnya kepada masyarakat untuk mengikis stigma dan diskriminasi.

Hal itu dinilai akan lebih cepat menciptakan pengertian yang benar mengenai kondisi yang mereka alami.

“Situasinya sudah berubah dibanding saat pertama saya dinyatakan positif bertahun-tahun lalu,” kata Niken Pratiwi seorang ODHIV yang memberikan testimoni pada Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2025 Kota Denpasar, Rabu (28/5/2025).

Salah-satu perubahan itu adalah dengan adanya obat Anti Retroviral (ARV) yang diberikan secara gratis oleh pemerintah yang berfungsi untuk menekan perkembangbiakan virus sehingga tidak sampai ke fase AIDS.

“Kalau minum obatnya disiplin seperti saya maka akan baik-baik saja. Hidup normal dan bisa bekerja,” katanya yang kini menjadi pendamping ODHIV di RS Wangaya, Denpasar.

Ia mengaku sudah tak mendapat stigma apapun di lingkungan kerja dan komunitasnya. Bahkan dia menjadi andalah ketika di rumah sakit ditemukan pasien yang positif HIV kemudian melakukan penyangkalan dan menolak minum obat.

“Jadi harus berani lebih terbuka. Jangan menstigma diri sendiri sebagai orang yang tak diterima di masyarakat,” tegasnya.

Ketahuan ODHIV Setelah Anaknya Diketahui Positif

Terungkapnya status Niken sebagai ODHIV berawal ketika anaknya berusia 4 tahun dan terus mengalami sakit diare terus menerus. Ia kemudian membawa pulang anaknya itu untuk menjalani pengobatan.

Dokter kemudian menganjurkan anaknya untuk menjalani tes HIV dan ternyata terbukti positif. Saat itu dia menyembunyikan status anaknya dan tidak segera melakukan tes karena takut suaminya akan menceraikan.

“Kalau soal penyebab penularan, bisa karena perilaku suami atau saya juga yang berisiko,” ujarnya. “Saat itu saya menyesal karena menularkan kepada anak dan memang belum ada program pencegahannya,” sebutnya.

Penyalaan lilin menandai MRAN 2025 di Kota Denpasar - IST
Penyalaan lilin menandai MRAN 2025 di Kota Denpasar – IST

Setelah cukup lama, akhirnya dia melakukan tes HIV dan terbukti kemudian bahwa statusnya pun positif. Pelan-pelan, ia pun kemudian mengajak suaminya untuk melakukan tes yang juga membuktikan adanya virus di dalam darahnya.

Mereka akhirnya berusaha untuk hidup normal dengan rutin menjalani pengobatan bersama anaknya. Sang anak kini telah menempuhkan Pendidikan sebagai mahasiswa sebuah universitas swasta di Denpasar.

“Teman-temannya sudah tahu dan bahkan mengingatkan anak saya kalau harus minum obat,” sebutnya.

Pada awalnya saat masih bersekolah dasar, Niken berusaha menyembunyikan status anaknya. Namun pada usia 11 tahun, teman-teman dan para orang tua murid mulai bertanya-tanya mengapa anaknya itu harus minum obat.

Akhirnya, Niken pun berterus terang dan dengan penjelasan yang baik mengenai virus HIV tidak terjadi stigma dan diskriminasi di sekolahnya.

Mengenai pengobatan anaknya itu, awalnya diberikan dalam bentuk puyer. Setelah cukup besar, obat diberikan dalam bentuk pil. “Kalau dia bertanya kenapa harus diminum tiap hari, saya bilang harus minum vitamin supaya sehat,” katanya.

Bahaya Self Stigma

Sementara itu kondisi kasus di Denpasar, secara akumulatif sejak 1987 sampai saat ini, terdapat 16.639 kasus. Rata-rata peningkatan tiap tahun adalah 800 kasus. Kasunya 96 persen dialami oleh mereka yang berusia produktif.

Saat ini di Denpasar jumlah ODHIV terdata sebanyak 11.842 orang yang masih hidup. Namun yang mengakses ARV hanya 8.367. Dari jumlah itu pun hanya 6.415 yang rutin menggunakan atau 54 persen.

Dalam kesempatan itu, Ketua Yayasan Kerti Praja, Desak Made Puti Pidari menyatakan, stigma dan self stigma membuat masalah HIV sulit diakhiri.

Stigma masih ditemui di berbagai tempat. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah self stigma yang menggerogoti kepercayaan diri ODHIV, enggan mengakses pengobatan dan takut bersuara akan hak-haknya.

Dia juga menekankan perlunya penguatan kembali peran komunitas agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya bersifat simbolik belaka.

Di sisi lain, peran itu juga menghadapi tantangan karena berkurangnya pendanaan global sehingga berbagai program komunitas telah berkurang. Sementara itu pembiayaan dari pemerintah sulit diharapkan apalagi dengan adanya efisiensi anggaran. ( kanalbali/RFH)

 

 

Apa Komentar Anda?