
Suciwati, istri mendiang aktivis HAM Munir Said Thalib menilai, negara harus bertanggung jawab atas penuntasan kasus yang menimpa suaminya. Sebelum negara hadir, ia akan terus berjuang tanpa peduli siapapun presidennya.
“Sering kali saya ditanya, kenapa sih kok keukeuh untuk terus bicara kasus ini? saya jawab bahwa siapapun presidennya harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus Munir. Karena ini masalah hak asasi,” ujar Suciwati pada acara pembacaan hasil TPF Munir dan diskusi publik di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Minggu (10/2).
Ia berujar, sikap tegas negara untuk menuntaskan kasus Munir menjadi sangat penting karena menyangkut keberlangsungan generasi yang akan datang. Ia tak mau, apa yang ia alami saat ini menjadi warisan kelam terhadap generasi yang akan datang.
“Saya punya anak, teman-teman saya juga punya anak, sahabat saya juga punya anak. Saya tidak mau mereka merasakan seperti yang anak saya rasakan dan juga yang saya rasakan, ditinggalkan oleh suami dan bapak dari anak saya dengan cara yang keji. Hari ini anak saya masih bertanya, siapa yang membunuh bapak,” jelasnya.

Apalagi menurut Suciwati, saat ini Indonesia banyak sekali dihadapkan dengan Banyak aturan yang sama sekali tidak memihak ke masyarakat sipil. Aturan hanya dipersiapkan untuk para investor seperti yang tertuang dalam draf UU Omnibus Law Cilaka dan ataupun undang-undang yang lainnya.
“Tiba-tiba sekarang ada undang undang IT, terus ada undang undang Cilaka itu, ada Undang-Undang sapujagat siapapun bisa di ambil seenaknya sendiri. Ini negara hukum atau negara apa ya? Mulai dipukul, penindasan itu mulai ditancapkan. Jelas saya tidak mau anak saya kedepan hidup diruang seperti yang saya alami dulu,” jelasnya.
Maka dari itu, Suciwati menilai menjadi sangat penting mengingat sosok seperti Munir yang selama ini dikenal sebagai sosok yang terus berjuang untuk masyarakat sipil. sehingga ketika ada sistem hukum yang tak berpihak kepada masyarakat, semangat perjuangan itu akan terus berkobar.
Pada kesempatan itu, dilangsungkan juga pembacaan dokumen hasil TPF Munir yang melibatkan 6 orang pegiat sosial. Mereka membacakan dokumen TPF Munir yang terdiri dari lima bab secara bergantian.
Munir Said Thalib tewas dalam penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004 silam. Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat. Hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia menemukan Munir tewas karena racun arsenik.
Hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian menetapkan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi tersangka pembunuhan pada 18 Maret 2005. Majelis hakim Pengadilan Negeri Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005. Namun, setelah mendapat banyak remisi, Pollycarpus akhirnya bebas.
Mirisnya, hingga detik ini dalang pembunuhan Munir hingga saat ini tak terungkap. Dalam dokumen TPF disebut beberapa nama penting yang menjadi pejabat di badan intelijen. TPF dalam rekomendasi meminta kepolisian menindaklanjuti pemeriksaan kepada orang-orang tersebut. (ACH)
