Tragedi Wayang Nagasepaha: Ketika Pandemi Mengancam Tradisi

KADEK SURADI, Ketua Kelompok Pelukis Nagasepaha saat mengerjakan karyanya - IST

MATAHARI mulai tinggi. I Nyoman Netep, 60, baru saja menghirup tuntas dengan secangkir kopinya. Ia bergegas menggendong tas selempang. Di tas itu ia masukkan sekotak perhiasan cincin batu akik, juga sekotak pis bolong atau uang kepeng.

Bergegas ia menggeber sepeda motornya ke arah selatan. Pasar Pancasari menjadi tujuan. Di situ, ia menjajakan koleksinya. Bila sepi, ia kembali melaju ke arah selatan. Menuju ke Pasar Baturiti di Tabanan.

Nyoman Netep adalah salah satu pelukis wayang kaca tradisi di Desa Nagasepaha, Kabupaten Buleleng. Pada masa pandemi ini ia memilih beralih profesi. “Setelah dua bulan lebih tidak dapat orderan satu pun,” kata Netep saat ditemui di rumahnya pada Senin (13/8/2020).

Nyoman Netep saat mengerjakan karyanya – IST

Sebelum pandemi melanda, usahanya sebagai pelukis wayang kaca sebenarnya cukup stabil. Dalam sebulan, pria yang bermukim di Banjar Dinas Delod Margi itu, bisa menerima lima hingga tujuh pesanan lukisan wayang kaca.

“Dua hari lalu, ada yang pesan. Baru sekarang ini setelah corona. Tapi belum saya kerjakan karena sekarang masih ada persembahyangan purnama. Rencananya besok saya kerjakan,” ceritanya.

Pada masa pandemi, kondisi ekonomi keluarganya luluh lantak. Pada awal-awal pandemi, tak ada aktivitas berarti yang dilakukan. Tiap pagi dan sore hari, ia disibukkan dengan kegiatan mengasuh cucu. Dua kali dalam sehari, ia menyempatkan diri menjadi dalang dadakan. Menceritakan berbagai kisah yang pewayangan yang ia kuasai.

Jenuh berdiam diri di rumah, ia memberanikan diri menjajakan uang kepeng dan batu akik, hingga ke luar wilayah Buleleng. “Sehari dapat jualan Rp 50ribu itu sudah untung sekali. Belum potong uang bensin. Kadang sehari tidak ada yang beli. Kalau pas lagi untung, ya bisa sampai Rp 200ribu kotor sehari,” katanya lagi.

Bersyukur kebutuhan sehari-hari terbantu lewat Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) yang diberikan Pemerintah Desa Nagasepeha. Bantuan itu ia terima sejak tiga bulan terakhir. Namun untuk bantuan tahap kedua, ia belum menerima kepastian apakah akan mendapatkannya atau tidak.

Keahlian membuat wayang diwarisi turun-temurun di desanya – IST

Bukan hanya Nyoman Netep yang beralih profesi. Ketua Kelompok Lukis Kaca Desa Nagasepaha, Kadek Suradi juga harus alih haluan jadi tukang bangunan.

Terkadang ia melayani masyarakat yang sedang membangun rumah. Suatu kali ia melayani jasa pembuatan kolam ikan. “Yang penting keluarga di rumah bisa makan. Sekarang yang mau beli lukisan kaca jarang sekali, malah sempat tidak ada sama sekali. Kalau toh ada, harganya murah sekali,” ujar Suradi.

Suradi menuturkan, dulunya pada kondisi normal, ia bisa menghasilkan 20 buah hingga 40 buah lukisan kaca dalam sebulan. Bila dalam kondisi normal, dia bisa mendapatkan penghasilan Rp 4,5 juta per hari.

Ia tak menampik, para anggota kelompok kini terpaksa beralih profesi. “Saya sendiri jadi tukang. Teman-teman ada yang jadi buruh pengayah tukang, ada yang jualan batu akik, ada yang sama sekali tidak ada aktivitas. Saya khawatir ini akan berdampak pada kelangsungan lukisan wayang kaca,” keluhnya.

Dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Hardiman, juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. Masa pandemi berpotensi menyebabkan lukisan kaca tak diminati.

Selain melukis wayang Suradi juga bisa mengerjakan penataan taman dan kini menjadi pekerjaan sampingannya – IST

Bahkan bisa dikatakan terancam punah. Sebab pelaku lukisan kaca kini hanya sedikit. Tak lebih dari 15 orang. Masa pandemi menyebabkan pesanan sangat sedikit, bahkan hilang.“Kalau mereka tidak berkarya dalam waktu lama, pasti mencari pekerjaan lain. Akibatnya lukisan akan ditinggalkan karena tidak ada pesanan. Sementara dia butuh hidup, makanya cari pekerjaan lain. Kalau pekerjaan lain lebih menjanjikan, lukisan ini akan diabaikan. Pelestarian lukisan kaca ini akan mandeg,” kata Hardiman

Solusi yang harus ditempuh juga agak sulit. Idealnya perlu stimulan agar para seniman tetap berkarya. Masalahnya selama masa pandemi, hotel dan galeri yang menyediakan ruang apresiasi turut macet. Hal itu menjadi masalah tersendiri bagi para penggiat seni rupa.

“Kalau saya lihat sih yang di Nagasepeha ada juga yang tidak 100 persen berkarya. Artinya lukisan wayang kaca itu hanya sambilan. Kalau ada uang diterima, kalau tidak ada, ya mereka kerja di tempat lain. Mudah-mudahan ini tidak membuat mereka lupa dengan berkarya,” ungkapnya.

Sebagai seorang akademisi yang sempat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Nagasepaha, ia berharap agar pemerintah memberikan perhatian pada kondisi tersebut. Pemerintah diharapkan bisa memberikan dukungan program bagi para peukis wayang kaca agar tetap berkarya.

“Setahu saya di Dinas Kebudayaan Bali ada program seni virtual. Kalau di Kemendikbud ada dana apresiasi seniman. Mungkin mereka bisa dibantu lewat program itu. Kalau di kabupaten, saya kurang program seperti apa yang bisa ditawarkan. Yang jelas, ini butuh jalan keluar. Butuh semacam stimulus supaya mereka tetap berkarya, dan terbantu hidupnya,” demikian Hardiman. ( kanalbali/Mahardika )

Apa Komentar Anda?