 
Penulis: I Made Pria Dharsana
TANAH pesisir Bali memiliki nilai strategis bagi kehidupan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya di Indonesia. Bagaimana dengan potensi konfliknya?
Wilayah pesisir Bali bukan ruang kosong, bukan ruang hampa, bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang sosial, spiritual dan identitas kultural masyarakat adat di Bali. Pesisir menjadi titik temu antara kehidupan laut, darat, dan manusia, sekaligus ruang paling rentan terhadap eksploitasi.
Pariwisata pesisir telah menjadikan Bali sebagai destinasi dunia, yang menjadi incaran para pemodal domestik maupun asing. Tanah Pesisir Pantai di Bali memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, perkembangan sektor ini juga menimbulkan persoalan agraria baru: karena tidak sepenuhnya tanah pesisir dapat di manfaatkan sebagai sarana akomodasi pariwisata, tentu akan mengambil, memanfaatkan lahan yang berbatasan dengan pesisir, baik tanah sawah maupun tanah hutan bakau atau sempadan jurang, tanah sempadan sungai.
Disinilah kemudian tidak dapat diabaikan terjadnyai alih fungsi lahan, komersialisasi ruang publik yang berlebihan, hingga dibeberapa daerah hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa hukum belum sepenuhnya berfungsi sebagai alat keadilan sosial, melainkan lebih sering menjadi instrumen legitimasi kekuasaan ekonomi.
Kerangka hukum pengelolaan pesisir diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Namun kedua Undang-Undang ini belum memiliki sinkronisasi yang jelas. Dalam praktiknya, batas antara wilayah agraria dan wilayah pesisir sering tumpang tindih, terutama di zona sempadan pantai yang justru menjadi objek utama pembangunan pariwisata.
Sebagaimana ditegaskan Maria S.W. Sumardjono, “pengelolaan sumber daya agraria, termasuk tanah pesisir, seharusnya menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan komersial. (Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial , dan Budaya Jakarta: Kompas, 2008) .
Pernyataan ini menjadi kunci bagi refleksi hukum agraria di Indonesia bahwa setiap bentuk penguasaan tanah harus tetap berlandaskan moralitas sosial dan keadilan ekologis
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Pesisir untuk Pariwisata Di Bali
Pemanfaatan tanah pesisir di Bali berakar pada sistem hukum agraria nasional. UUPA menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, dalam praktiknya, makna “kemakmuran rakyat” sering diterjemahkan menjadi “pertumbuhan ekonomi,” tanpa mempertimbangkan distribusi manfaat dan keberlanjutan lingkungan.
Tanah pesisir di Bali sebagian besar merupakan tanah negara yang dapat diberikan hak pakai, hak guna bangunan (HGB), atau hak pengelolaan (HPL). Di beberapa tempat ada yang sudah diberikan kepada desa adat sebagai sukbyek hak atanh tanah dengan status Hak Milik. Skema ini memungkinkan pemerintah daerah , desa adat bekerja sama dengan penanaman modal untuk membangun fasilitas wisata.
Walau secara hukum sah, praktiknya sering kali menimbulkan eksklusi sosial. Masyarakat lokal kehilangan akses ke pantai yang dahulu menjadi ruang publik. menjadi ilustrasi nyata. Melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, pemerintah mengubah status kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan untuk pariwisata.
Keputusan ini menuai penolakan besar-besaran dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan karena dianggap bertentangan dengan nilai ekologis dan spiritual Bali. (“ Kontroversi Reklamasi Teluk Benoa, ” diakses 5 Oktober 2025, https://www.kompas.com) .
Gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa bukan hanya perlawanan terhadap proyek pembangunan, tetapi juga perlawanan terhadap logika kekuasaan yang mengabaikan moralitas hukum.
Secara yuridis, pemanfaatan tanah pesisir diatur oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016, yang menetapkan jarak sempadan pantai minimal 100 meter dari pasang tertinggi .( Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Sempadan Pantai).
Namun, banyak proyek pariwisata justru berdiri melampaui batas tersebut. Ini menandakan lemahnya penegakan hukum dan adanya ketimpangan antara teks hukum dan praktik kekuasaan, peraturan hanya menjadi macan kertas yang mudah dilanggar.
Menurut Urip Santoso, “hak atas tanah tidak dapat dilepaskan dari fungsi sosial dan kewajiban menjaga kelestarian lingkungan.”(Urip Santoso, Hukum Agraria dan Penataan Ruang Jakarta: Kencana, 2018), Pemanfaatan tanah pesisir harus mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan lingkungan, bukan memperhadapkan keduanya.
Dalam banyak kasus, investor mendapat perlakuan istimewa melalui izin prinsip dan perpanjangan HGB di atas tanah negara, sementara masyarakat adat harus berjuang membuktikan hak ulayatnya. (Putu Gede Arya, “ Sengketa Tanah Adat di Kawasan Pesisir Sanur ,” Jurnal Ilmu Hukum Udayana 7, no. 2 (2023):.. Secara filosofis, hukum agraria Indonesia berlandaskan asas keadilan sosial, kebersamaan, dan kebangsaan.
Namun dalam praktik pembangunan pariwisata, asas ini cenderung dikaburkan oleh tekanan pasar global dan kebijakan neoliberal yang menempatkan tanah hanya sebagai komoditas ekonomi.
Padahal, tanah pesisir di Bali memiliki dimensi moral dan spiritual yang tinggi, yang di sucikan, sebagaimana konsep Tri Hita Karana di Bali yang menuntut keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan (I Made Sutha, “ Implementasi Tri Hita Karana dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Bali ,” Jurnal Kajian Hukum dan Pembangunan 10, no. 1 , 2024)
Persoalan hukum ini juga memperlihatkan tumpang tindih kewenangan antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah. Fragmentasi hukum menyebabkan ketidakpastian dalam pengaturan tanah pesisir.
Irawan Soerodjo menegaskan bahwa “sinkronisasi lintas sektor menjadi syarat mutlak dalam kebijakan pertanahan di wilayah pesisir agar tidak terjadi kekosongan hukum.” (Irawan Soerodjo, Kebijakan Pertanahan dan Keadilan Sosial , Malang: UB Press, 2020),
Dengan demikian, permasalahan tanah pesisir di Bali bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga persoalan keadilan struktural. Hukum sering kali beroperasi dalam logika kekuasaan memihak pada mereka yang memiliki akses politik dan ekonomi.
Dalam situasi seperti ini, moralitas hukum diuji: apakah hukum masih berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan, atau telah tunduk pada kekuatan capital. Selanjutnya, terkait dalam bingkai tema besar buku bersama yang merupakan “Percikan Pemikiran Makara Merah edisi ke delapan dalam rangka Dies Natalis FHUI ke 101 bertema; “ Refleksi atas Hukum, Kekuasaan, dan Moralitas di Indonesia” ) .
Bahwa persoalan tanah pesisir Bali adalah cermin hubungan kompleks antara norma, kekuasaan, dan etika publik. Hukum, idealnya, berfungsi sebagai ratio legis akal budi publik yang mengatur kehidupan bersama demi keadilan. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali menjadi instrumen kekuasaan (tool of power) yang melegitimasi kepentingan politik dan ekonomi.
Keputusan reklamasi Teluk Benoa, izin HPL di kawasan pesisir, atau proyek pariwisata besar yang mengabaikan masyarakat adat, menunjukkan bahwa hukum positif kerap kehilangan ruh moralnya. Peraturan dimanfaatkan bagi kepentingan pemodal dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar.
Di sinilah ujian bagi negara ,hukum Indonesia. Apakah hukum hanya menjadi alat administrasi kekuasaan, ataukah menjadi alat keadilan yang bermoral? Dalam kerangka Pancasila, kekuasaan negara harus tunduk pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Seperti diingatkan oleh Gustav Radbruch, hukum yang terlepas dari moralitas hanyalah “kehendak formal tanpa jiwa keadilan.” (Gustav Radbruch, Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht ,Süddeutsche Juristen-Zeitung, 1946),
Moralitas hukum menuntut agar setiap kebijakan pembangunan termasuk pemanfaatan tanah pesisir tidak semata-mata menguntungkan segelintir pihak, tetapi mencerminkan tanggung jawab sosial terhadap rakyat dan alam. Hukum yang adil bukan sekadar tertulis dalam peraturan, melainkan hidup dalam praktik kekuasaan yang bermoral.
Jika hal itu pun terjadi semakin jelas kita bisa memahami bahwa hukum adalah produk politik, karena hukum (baca: Undang-Undang, adalah produk politik yang dihasilkan dari kompromi Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat).
Dengan demikian, pengelolaan tanah pesisir Bali adalah miniatur dari kondisi hukum pertanahan nasional: di satu sisi, ada norma hukum yang progresif; di sisi lain, ada kekuasaan yang pragmatis; dan di antara keduanya, moralitas publik yang berjuang agar hukum tidak kehilangan makna kemanusiaannya.
Dalam persepektif pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, pemanfaatan pesisir untuk sektor pariwisata merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, bahwa negara dapat memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak Pengelolaan (HPL) diatas tanah negara sepanjang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan izin lokasi.
Adapun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menekankan pentingnya sinkronisasi tata ruang daerah dengan Rencana Zona Wilayah Pesisir 9RZWP3K) dalam kersngks ekonomi otonomi daerah.
Dalam dokumen pembinaan daerah, Mendagri menegaskan bahwa setiap pemanfaatan tanah pesisir harus menjaga akses public ke pantai serta menghormati hak ulayat masyarakat adat (desa pakraman). (Kemendagri, Pedoman Pentaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka otonomi Daerah Jakarta), Dirjen Pembangunan Daerah.
Namun dalam praktiknya, proyeks-proyek strategis nasional seringkali mengabaikan prinsip ini, sehingga pemerintah daerah tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap kekuasan dan pemodal besar yang biasanya deket dengan kekuasaan.
Kekuasaan dan Politik Ruang Di Pesisir Bali
Tak bisa ditampik bahwa elite yang deket dengan kekuasaan dan tentu pemodal besar memainkan peran sentral dalam menentukan arah pemanfaatan tanah pesisir untuk kepentingan pariwisata.
Pemerintah daerah dan pusat sering kali berada dalam posisi dilematis antara mendorong investasi pariwisata dan menjaga keseimbangan ekologis serta sosial. Dalam banyak kasus, kekuasaan ekonomi dan politik berpadu untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu,para pemodal sementara masyarakat lokal kehilangan akses terhadap ruang hidupnya (Peluso, N. L, Rich Forests, Poor People : Resources Control and Resistance in Java, Univercity California, 1995).
Fenomena privatisasi pantai dan pembangunan resort mewah , villa, di kawasan pesisir Bali menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan dapat menggeser makna ruang publik menjadi ruang komersial. Hal ini menimbulkan ketimpangan sosial dan memperlemah posisi masyarakat adat dalam mempertahankan hak ulayatnya (Ole, S, A Political Ecologi of Water Equity and Tourism : A Case Study from Bali, analisis of Tourism Reasearch , 39 ,2012).
Tantangan lain yang muncul adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan. Informasi publik mengenai penggunaan lahan sering kali tertutup, membuka peluang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika ruang publik berubah menjadi ruang ekonomi, nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat pesisir terpinggirkan.
Persoalan moralitas muncul ketika pembangunan pariwisata tidak lagi berorientasi pada kesejahteraan bersama, melainkan pada akumulasi keuntungan. Dalam konteks Bali, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga memiliki nilai sakral dan spiritual. Pemanfaatan tanah pesisir tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan moralitas lokal dapat mengakibatkan degradasi identitas serta disharmoni sosial (Picard, M, Bali Cultural Tourism and Touristic Culture . Singapura: Archipelago Press, 1996).
Disini peran pemerintah daerah dan pemuka agama dan adat di Bali harus memberikan masukan dan mengawasi ketat pengembangan pembangunan akomodasi pariwisata di pesisir pantai di bali, tidak malah membiarkan terjadinya pelanggaran Tata Ruang Bali.
Etika pembangunan seharusnya menempatkan manusia dan alam dalam hubungan yang saling menghormati. Prinsip Tri Hita Karana keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam dapat menjadi landasan moral dalam merumuskan kebijakan pengelolaan tanah pesisir yang berkelanjutan (Windia W & Dewi r.K, Analssis Tri Hita Karana Terhadap Pembangunan Keberlanjutan di Bali, Universitas Udayana, Bali, 2007)
Tantangan moral yang dihadapi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara modernisasi , tardisional dan pelestarian nilai-nilai lokal. Ketika pembangunan pariwisata terlalu berorientasi pada pasar global, nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal berisiko tereduksi menjadi komoditas budaya semata. Harus dipegang dan diteguhkan siapaun boleh dan dapat membangun di Bali tanpa merusak Bali.
Selain itu, tantangan ekologis juga semakin nyata. Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya pesisir menyebabkan kerusakan lingkungan seperti abrasi, pencemaran laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kondisi ini menuntut adanya pendekatan pembangunan yang lebih ekologis dan berkelanjutan, dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama, bukan sekadar objek pembangunan.
Pemanfaatan tanah pesisir untuk pariwisata di Bali mencerminkan paradoks pembangunan: antara kemakmuran dan ketimpangan, antara hukum dan kekuasaan, antara norma dan moralitas. UUPA dan UU PWP3K memberikan dasar hukum yang baik, tetapi pelaksanaannya belum mengarah pada keadilan substantif.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pesisir untuk pariwisata di Bali mencerminkan kompleksitas hubungan antar hukum, kekuasaan dan moralitas di Indonesia. Tantangan terbesr terletak pada ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai sosial budaya.
Lemahnya penegakan hukum, minimnya partisipasi masyarakat serta kurangnya transparansi dalam tata kelola lahan memperparah ketimpangan tersebut.
Untuk itu diperlukan sinergi antara regulasi yang adil dan tata kerlola yang transparan serta kesadaran moral kolektif agar tanah pesisir tidak hanya menjadi sumber keuntungan tetapi juga ruang kehidupan yang bermartabat bagi seluruh masyarakat Bali ( Antariksa, Keadilan Sosial dalam Pengelolan Wilayah Pesisir Indonesia , Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2020)
Untuk mewujudkan pembangunan pesisir yang berkelanjutan, maka diperlukan: 1. Harmonisasi antara hukum agraria dan hukum kelautan dalam satu kerangka kebijakan nasional; 2. Penguatan peran masyarakat adat dalam proses perencanaan dan pengawasan; 3. Penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran tata ruang pesisir; 4. Pengembalian moralitas dalam kebijakan pertanahan sebagai dasar legitimasi kekuasaan. ( kanalbali/ISTG )



 
		 
		