
Pernyataan Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan Manikaya Kauci
DENPASAR, kanalbali – Pada rapat paripurna antara pemerintah dan DPR RI tanggal 17 September 2019 telah dilakukan pengesahan Undang-Undang Sumber Daya Air. Proses ini ini seiring dengan pengesahan paket UU “pengaman investasi” yang juga ditandai dengan gelombang protes mahasiswa, pelajar.
“KRuHA mengamati modus operandi sistematis yang mengkooptasi proses pembentukan kebijakan dan berpotensi besar mengkriminalisasi partisipasi warga negara, melegalisasi impunitas pelanggaran hak – hak konstitusional warga negara oleh aktor non-negara (koorporasi), dan berkecendrungan mengakselerasi konflik horizontal dan antar otoritas publik diberbagai level (pemerintah pusat, daerah, desa dan organisasi komunitas warga. Paket RUU pro investasi tersebut mengandung masalah – masalah formal maupun material.
“Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dibentuk guna memperjuangkan hak-hak rakyat dan berfokus pada pelembagaan norma konstitusi yang ditafsir oleh Mahkamah Konstitusi mengenai air (hal yang dikenal dengan syarat-syarat konstitusional mengenai air. Proses pengesahan RUU SDA menjadi UU SDA lemah legitimasi politik, mengaburkan pokok persoalan dan ditandai dengan buruknya kinerja DPR RI, hanya dihadiri oleh segelintir anggota,” kata Sigit Karyadi dari KRUHA dalam diskusi pada Kamis (17/10) di Kubukopi, Denpasar.
Secara substansi, KRuHA menilai bahwa UU SDA yang baru tidak berbeda dari substansi UU SDA 7/2004 yang telah dibatalkan oleh MK. UU pengganti ini mencampuraduk-kan hak atas air dan pengusahaan air. UU pengganti tidak antisipatif terhadap berbagai perkembangan situasi yang melingkupi Indonesia pada khususnya dan Dunia pada umumnya.
Hal – hal tersebut merupakan indikasi-indikasi nyata bahwa DPR dan Pemerintah masih terjebak dalam cara pandang air dalam kacamata bisnis, air hanya dipandang dari sudut pemanfaatannya saja. Air adalah barang yang bisa dan harus digunakan atau dimanfaatkan dengan segera untuk memenuhi kepentingan yang seturut logika mereka.
Air tidak dilihat sebagai suatu siklus hidrologi dan pembentuk kehidupan sejak dahulu hingga di masa yang akan datang. Sebagai siklus hidrologi dan pembentuk kehidupan maka Penguasaan Negara dan Pengelolaan air pembahasannya tidak bisa dilakukan secara parsial dan sektoral, melainkan harus menyeluruh dari hulu sampai hilir.
Secara khusus, fokus pemanfaatan air pada satu sisi dan tekanan dari Putusan MK menjadikan UU pengganti berpretensi menciptakan pengaburan antara pengaturan hak dan kebutuhan mengakomodasi pengusahaan air sebagai hasil lobi-lobi dari para pengusaha air. UU pengganti tampak berusaha keras menghindari kesan menyerahkan tanggung jawab Negara kepada badan usaha swasta.
Namun, usaha tersebut justru menghasilkan inkonsistensi dan berkontradiksi antara bagian-bagian serta pasal-pasal satu dengan yang lain di dalam UU pengganti. Pengaturan hak atas air dan pengusahaan air saling bertumpang tindih. Sehingga usaha pemenuhan hak atas air misalnya dalam bentuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tetap disandingkan dengan upaya komersialisasi.
Artinya, hak atas air digunakan oleh DPR dan Pemerintah sebagai aturan yang bersifat abusive untuk melegalkan keterlibatan entitas bisnis (swasta) dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Contoh lainnya yakni menyandingkan bagian dari hak rakyat atas air seperti pertanian rakyat sebagai hal yang prioritas dengan kebutuhan pengusahaan yang bukan prioritas. Hal-hal tersebut jelas akan membuat UU pengganti gagal mengatasi persoalan pelanggaran hak atas air yang sekarang massif terjadi baik pada konteks perkotaan maupun pedesaan.
Secara keseluruhan, Undang-Undang Sumber Daya Air yang baru hanya menyebabkan pengaturan teknis bermasalah seperti tumpang tindih dan mencampur adukkan skala prioritas alokasi air, dan tetap menjadi modus komersialisasi.
Diskusi yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Bali, dengan tema “Diskursus UU Sumber Daya Air dan Tata Kelola Air” mengafirmasi hal-hal tersebut. I Made Juli Untung Pratama dari Walhi Bali. Ia menyatakan Bali sudah defisit air sejak tahun 1995.
“Masifikasi pariwisata dengan pertumbuhan hotel yang memanfaatkan air tanah memperparah defisit air tersebut.” Menurutnya, sejumlah wilayah di Bali berdasarkan sejumlah penelitian telah mengalami intrusi secara luar biasa karena pengambilan air tanah secara berlebihan. (kanalbali/RLS)