AIR menjadi tema sentral penyelenggaraan Festival Bali Jani ke IV. Apakah ini wahyu yang tiba-tiba turun dari kahyangan untuk penggagasnya?.
Adakah ini jawaban orang Bali sendiri (baca : pemerintahnya) terhadap kelompok para (kebanyakan bule!) pecinta Bali yang “cerewet” berteriak-teriak soal Bali krisis air, terutama air bersih, sejak bertahun-tahun lalu?.
Tetap Giat Belajar di Balik Jeruji Besi, Warga Binaan Lapas Narkoba Bangli Terima Pembagian Rapor
Ataukah hasil protes para pelanggan PDAM di Bali yang tetap setia membayar walaupun air yang didapat keruh jika musim penghujan atau mengalir kecrat-kecrit di musim kering atau bahkan bisa mati sama sekali sampai harus ada (penggede) yang menelpon kantor PDAM?
Ataukah karena ketahuan air Bali lebih banyak “dirampok”, disedot oleh hotel-hotel maha bintang yang bertaburan lengkap dengan sumur-sumur bornya yang mega meter dalamnya?
Atau karena baru tahu juga bahwa puluhan sungai dan anak-anak sungai di seantero Pulau Bali tinggal kenangan?
Ada yang beralih hanya menjadi selokan, sungai kering, tempat pembuangan sampah bahkan hilang sama sekali tinggal cerita kakek buyut, misalnya bahwa Tukad Badung dulu bisa dilayari perahu-perahu niaga sampai ke Suwung atau Benoa?
Ah, semoga bukan semata karena hal-hal itu jika di tahun ini, air diusung menjadi tema hajatan Bali kontemporer, Bali kekinian yang bernama Festival Bali Jani.
Pastilah penggagasnya melihat lebih jauh lebih dalam lagi, lebih “ngeri” dari itu. Dan benar saja, mari baca bagaimana air dibahasakan menjadi tema tahun ini : Jaladhara Sasmita Danu Kerthi.
Terjemahan maknawinya adalah “air sumber peradaban”. Ya, air. Rupanya Bali Jani IV ingin mengajak kita semua ke masa puncak spiritual Bali saat sistem kepercayaannya dikenal sebagai agama Tirta, yang menempatkan air sebagai unsur pokok di mana seluruh ritus kehidupan manusia Bali bertumpu.

Dari pemuliaan air secara spiritual ini mengejawantah ke sistem sosial ekonomi budaya, antara lain melahirkan tata kelola air bernama subak. Dari air sebagai fungsi pensuci, pengruwatan, pelebur mala dan dosa hingga air sebagai penopang inti kehidupan itu sendiri.
Kita tahu, berabad-abad yang lalu, kotaraja Kerajaan Majapahit adalah kota air. Tata kotanya adalah tata kota yang memanfaatkan dan merekayasa anak-anak sungai sebagai “jalan raya”, jalan penghubung di mana sampan dan perahu menjadi moda transportasi utama selain jalan daratan untuk pedati-pedati.
Kita juga tahu, bagaimana tokoh-tokoh Bali mendaftarkan Agama Tirta, sebagai agama yang layak diakui saat founding father membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila khususnya sila 1, sebagai dasar negara.
Namun karena dianggap terlalu lokal dan tidak masuk dalam daftar agama-agama mainstream (harus ada “nabinya” atau pendirinya, harus ada “kitab sucinya”!) maka pengakuan sebagai agama tidak diperoleh.
Akhirnya demi Sila 1 Pancasila, dari agama Tirta, berubah nama menjadi agama Hindu Bali, lalu agama Hindu Dharma dan akhirnya bergeser ke yang lebih dekat mainstream : agama Hindu! Walaupun sebenarnya tidaklah terlalu tepat.
Sampai kini kita mendengar betapa “Hindu” di Bali berbeda bahkan secara signifikan dengan “Hindu” India, yang dipercaya sebagai tanah kelahiran agama Hindu. Hal ini terutama terkait sistem kepercayaan terhadap leluhur yang khas “milik” orisinal Bali.

Lepas dari hal itu kita mendapati bahwa penamaan sebagai Hindu tersebut tidak mengubah apapun pandangan Bali bahwa air adalah tirta dan tirta pastilah air!
Selain mengajak kita berselancar ke era Bali sebagai Prawali atau jaman leluhur akulturasi Hinduisme, Festival Bali Jani IV dengan tema air juga rupanya mengajak kita menelisik temuan mutakhir geologi, geografi dan sumber-sumber alam bumi Bali.
Para ilmuwan menengarai bahwa sumber mata air seluruh Bali ternyata adalah danau. Episentrumnya adalah Danau Batur, kemudian Beratan, Buyan dan Tamblingan.
Walau masih hipotesis, keberadaan danau-danau ini mengindikasikan bahwa Bali bukanlah pulau, melainkan sebuah puncak gunung yang lereng dan kakinya jauh terhujam di dasar laut.
Dalam pada itu prasasti-prasasti abad 8 hingga 12, tentang Danau Batur, seperti dikuatkan kembali oleh temuan ini.
Disebutkan bagaimana para penduduk desa sekeliling danau Batur saat itu dibebaskan dari segala kewajiban atau tepatnya dilarang bercocok tanam apalagi menambang pasir, demi menjaga “kesucian” danau Batur.
Untuk itu mereka berhak mendapat jaminan hidup atau santunan dari desa-desa atau wilayah Bali lainnya. Penduduk Wingkang Ranu, sebutan untuk desa-desa yang mengitari super vulkano Batur ini bertugas sebagai penjaga kawasan suci di mana air “bertahta”.
Ini mirip dengan tugas suku Lewi di Israel kuno, yang dari 12 suku Israel, dikhususkan untuk bertugas melayani bait Allah. Suku-suku Israel lainnya berkewajiban menanggung hidup mereka.

Ajakan Bali Jani IV untuk memandang air ini rupanya klop dengan program kerja Gubernur Bali, Wayan Koster, dengan jajarannya, “kabinet” Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Kegencarannya menghidupkan kembali tradisi tumpek, perayaan dan peringatan akan hubungan harmonis dengan alam, sesama dan roh suci, membangun Bali kembali dari hulu, dan salah satu hulu tersebut adalah air.
Salah satu butir program kerja “kabinet Koster” adalah danu kerthi, menyangkut penataan air dan sumber-sumbernya, bebas sampah dan polusi air, irigasi, revitalisasi subak dan sebagainya.
Seluruh butir kerja ini masuk dalam agenda parade karya seni, khususnya animasi, di Festival Bali Jani IV berupa pemutaran film animasi Bondres Tata Titi karya animator-animator Bali, di bawah naungan Yayasan Pustaka Visual.
Selain animasi, tema air ini diwujudkan pula dalam karya seni lainnya, seperti seni rupa Megarupa Ranu-Wiku-Waktu, Teater, Sastra dan sebagainya.
Memang sudah barang tentu kita semua berharap, memuliakan air ini tidak berhenti di upacara-upacara keagamaan saja, tidak berhenti di upacara-upacara festival budaya.
Kita lebih sangat berharap, dengan festival Bali Jani IV ini, air di Bali kembali mendapat respon dari segenap masyarakat peyakin dan pecinta Tirta untuk betul-betul bersikap bertindak memuliakan air dalam kehidupan sehari-hari.
Jika memang percaya air adalah sumber peradaban. Sebaliknya jika air tidak di posisi mulia lagi, maka peradaban yang katanya bersumberkan air itu hanyalah masa lalu yang kehilangan masa depan oleh kegamangan di masa kini. Jadi jelaslah, festival Bali Jani IV bukanlah sekadar “mengupacarai” air.
Ia adalah perayaan atas rasa syukur kita telah “diairi” oleh air yang mulia itu, yang adalah sumber itu. Ia adalah penanda giat bekerja berkarya untuk dan oleh air ! Ia adalah bagian tak terpisahkan dari kerja nyata bagi air yang telah diperjanjikan dalam pakta integritas Nangun Sat Kerthi Loka Bali!
Dan sebagai tambahan catatan pinggir, Bali Jani IV ada di bulan musim penghujan. Beberapa titik banjir di beberapa wilayah juga “pamer diri” turut menyambut perhelatan tersebut.
Air meluber ke jalan raya tentulah bukan sebuah perayaan yang kita harapkan. Atau barangkali ini harus dibaca sebagai bentuk partisipatoris sang air yang hendak dirayakan itu?
Apapun itu, selamat merayakan air bagi kita semua! Salam jaladhara sasmita danu kerthi!. (kanalbali/IST)



Be the first to comment