Demokrasi Kaki Lima: Ketika Jalanan Menjadi Parlemen Rakyat (1)

Aksi mahasiswa dan driver Ojol di Mapolda Bali - IST
Aksi mahasiswa dan driver Ojol di Mapolda Bali - IST

Penulis: I Made Pria Dharsana

Dalam teori politik, demokrasi dimaknai sebagai sistem yang memberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, serta menjamin adanya partisipasi dalam proses pengambilan keputusan (Diamond, 1999: 15).

Namun, dalam praktik sehari-hari di Indonesia, sering muncul fenomena yang disebut oleh banyak kalangan sebagai “demokrasi kaki lima.”

Istilah ini merujuk pada situasi ketika rakyat merasa tak memiliki saluran efektif dalam lembaga formal pintu gedung Dewan tertutup atau tak ada harapan suara rakyat didengar, sehingga jalanan dijadikan arena utama untuk menyampaikan suara.

Demonstrasi, aksi massa, hingga unjuk rasa menjadi “bahasa politik” yang dianggap paling mudah bisa didengar oleh penguasa.

Fenomena ini tentu tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari rasa frustrasi, ketidakpuasan, bahkan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga perwakilan. Banyak sebab yang dapat mengakibatkan parlemen jalanan muncul, keterpurukan ekonomi karena PHK sebagian kelompok masyarakat, namun pemerintah malah menaikan pajak.

BACA JUGA: Demokrasi Kaki Lima: Ketika Jalanan Menjadi Parlemen Rakyat (1)

Kesulitan ekonomi sebagian dirasakan oleh rakyat tetapi anggota dewan malah mendapat tunjangan yang tidak masuk akal. Kurangnya empati pada penderitaan rakyat. Dalam konteks inilah, demokrasi kaki lima bukan sekadar gejala sosial, melainkan refleksi dari krisis representasi (Dahl, 1998: 37).

I Made Pria Dharsana, Pengamat sosial, hukum dan politik. Tinggal di Denpasar – IST

Demokrasi yang Menyempit

Demokrasi Indonesia secara formal telah memiliki berbagai instrumen: pemilu berkala, lembaga legislatif, partai politik, hingga mekanisme check and balance (Budiardjo, 2008: 120).

Namun, praktiknya seringkali jauh dari harapan. Partai politik yang seharusnya menjadi kanal aspirasi rakyat justru berubah menjadi kendaraan elite (Slater, 2010).

Aspirasi yang di dapat sebagai dukungan suara dalam pemilu berakhir saat anggota dewan dilantik, berhenti ketika  sumpah / janji telah diucapkan , bukan menjadi kewajiban untuk pemenuhan janji politik. Pemilu hanya jadi demokrasi prosedural, bukan substantif..

Ini satu soal yang mesti dievaluasi bukan karena banyaknya artis yang terpilih dan menduduki kursi dewan, tetapi rakyat juga memilih yang salah pilih, bukan memilih karena kapabelitas, integritas calon, tetapi memilih karena calon nya terkenal dan “memperoleh sembako”.

Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan memberatkan rakyat, sehingga rakyat merasa suaranya tidak pernah benar-benar sampai ke meja pengambilan keputusan.

Ketika harga kebutuhan pokok melambung, ketika kebijakan pembangunan merampas tanah petani, demi investasi tanpa ganti rugi yang layak.

Atau ketika regulasi berpihak pada korporasi, program pemerintah yang populis, namun tak berdampak kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Keluhan masyarakat kerap mendapati pintu parlemen tertutup. Dalam kondisi seperti ini, jalanan hadir sebagai “ruang publik alternatif.”

Jalanan Sebagai Parlemen

Sejak era reformasi 1998 hingga kini, jalanan menjadi saksi sejarah bahwa aspirasi rakyat masih bisa didengar jika disuarakan dengan lantang. Demonstrasi mahasiswa menumbangkan rezim Orde Baru, gerakan buruh mendesakkan regulasi ketenagakerjaan, hingga aksi masyarakat sipil menolak undang-undang kontroversial (Sarumpaet, 2000).

Semua itu menunjukkan bahwa jalanan menjadi instrumen efektif ketika jalur formal buntu. Ketika telinga anggota parlemen dan pemerintah tuli dan tak peduli dengan penderitaan rakyat. Kebijakan yang dihasilkan hanya menguntungkan elite dan investor dilingkaran penguasa.

Inilah yang disebut sebagai demokrasi kaki lima. Ia bukan demokrasi yang lahir dari ruang rapat berpendingin udara, melainkan demokrasi yang hidup dari keringat, darah , pengorbanan jiwa  rakyat di jalan. Jalanan menjadi parlemen, pengeras suara menjadi mikrofon rakyat, dan poster menjadi naskah politik yang lugas.

Ironi memang, para wakil rakyat yang duduk di parlemen pada kenyataannya sudah tak lagi dianggap oleh sebagian masyarakat karena seringkali tidak mendengar aspirasi yang mereka bawa. Pada akhirnya, jalananlah yang masyarakat jadikan sebagai parlemen. (kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?