Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku, Refleksi tentang Hidup Saya

Angga Wijaya - IST
Angga Wijaya - IST

Penulis: Angga Wijaya

SATU bulan terakhir saya menulis naskah buku bergenre self-empowerment untuk sebuah penerbit alternatif di Yogyakarta. Awalnya saya hanya berniat mengirimkan naskah kumpulan esai dalam program penerbitan gratis yang mereka adakan.

Tiap awal bulan penerbit itu mengumumkan daftar naskah yang lolos. Naskah saya tidak termasuk di sana.

Namun beberapa hari kemudian saya mendapat pesan dari editor. Ia menulis singkat, “Kami tertarik dengan cara Anda bercerita. Apakah Anda bersedia menulis buku pengembangan diri berdasarkan pengalaman hidup Anda sebagai penyintas skizofrenia?”

Saya membaca pesan itu beberapa kali, antara percaya dan tidak. Lalu saya jawab, bersedia.

Fee penulis lepas yang ditawarkan tidak besar, tapi pantas dan bagi saya kesempatan ini jauh lebih berharga daripada nominal apa pun.

Ini pengalaman pertama saya menulis buku tunggal nonfiksi berdasarkan kisah hidup pribadi setelah sekian tahun hanya menulis esai puisi atau artikel lepas.

Judul sementaranya Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku.

Sejak hari itu saya mulai menulis. Saya rutin berkomunikasi dengan editor, mengirimkan bab per bab, menerima revisi saran dan umpan balik yang kadang tajam tapi hangat.

Saya merasa seperti sedang menulis dengan seseorang yang paham bukan hanya tata bahasa tapi juga luka.

Menulis buku ini berbeda dengan menulis esai atau puisi. Kali ini saya menulis tentang diri sendiri, menelusuri ulang masa-masa yang lama saya kubur.

Dan seperti yang pernah ditulis Dee Lestari dalam Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, proses semacam ini rasanya seperti “menyelam ke septic tank kotoran sendiri” kalimat yang dulu membuat saya meringis sekaligus mengangguk.

Ungkapan itu muncul dalam percakapan tokohnya Bodhi yang sedang berbicara tentang proses mengenali diri, bahwa untuk benar-benar memahami siapa kita, kadang kita harus masuk ke tempat paling busuk dalam diri sendiri, ke trauma kebohongan dan luka-luka yang kita sembunyikan dari dunia.

Menulis semacam itu bukan pekerjaan yang bersih. Ia kotor, melelahkan, tapi juga menyembuhkan.

Dan begitulah saya rasakan selama menulis buku ini.

Kunjungan Pertama ke Psikiater

Saya membuka bab pertama dengan kisah kunjungan pertama saya ke psikiater dua puluh tahun lalu. Saat itu saya baru lulus SMA. Saya dibawa kakak ke Denpasar dengan alasan berlibur padahal untuk berobat.

Saya ingat betul suasana ruang tunggu yang putih dingin dan steril. Ketika giliran saya masuk saya berkata kepada psikiater paruh baya itu, “Tuhan telah mati.”

Kalimat itu yang saya pinjam dari Nietzsche keluar begitu saja dan seketika ruang itu sunyi. Saya tidak tahu mengapa mengucapkannya.

Mungkin karena pada masa itu saya merasa kehilangan makna apa pun. Saya tak tahu siapa saya anak siapa saya dan mengapa dunia terasa begitu asing.

Dalam buku Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku bagian ini menjadi semacam pintu masuk menuju perjalanan panjang memahami diri dan penyakit mental yang saya derita, skizofrenia paranoid.

Prolog dan bab pertama buku ini menampilkan kisah tentang keluarga keterasingan dan keyakinan yang runtuh. Kegemaran membaca sejak kecil membuat saya terbiasa menatap dunia melalui kata.

Tapi di balik itu ada hal yang tak pernah saya ceritakan secara utuh sebelumnya, saya adalah anak angkat. Kebenaran itu saya ketahui bukan dari mulut orang tua melainkan dari ejekan teman sebaya.

Sejak itulah saya belajar bahwa luka tidak selalu terlihat. Ada luka yang hidup di bawah kulit yang hanya muncul lewat mimpi atau tulisan.

Menulis buku ini adalah semacam upaya menata luka-luka itu. Saya menuliskannya bukan sebagai catatan medis atau laporan perjalanan, tetapi sebagai bentuk kesaksian.

Bahwa penyintas gangguan jiwa bukan hanya statistik, bukan sekadar ODGJ dalam berita-berita yang kering dan sensasional.

Kami adalah manusia yang hidup dengan realitas yang rapuh tapi terus berusaha memahami arti waras dalam dunia yang sering kali justru tidak sehat.

Pulang Kampung ke Jembrana

Dalam bab-bab berikutnya, saya menceritakan peristiwa besar tahun 2009 ketika saya resmi didiagnosis mengidap skizofrenia paranoid setelah mengalami delusi berat.

Suara-suara di kepala menyuruh saya berlari, bersembunyi, melarikan diri dari ancaman yang hanya saya dengar sendiri.

Saya dirawat di RSJ selama dua minggu. Setelah keluar dunia saya berubah total, kuliah kandas hubungan keluarga renggang dan harga diri saya runtuh.

Lima tahun saya tinggal di kampung halaman di Negara Jembrana. Saya disebut orang gagal orang gila mantan mahasiswa yang hilang akal.

Dalam buku ini saya tidak menutupinya. Saya menulis dengan sadar bahwa stigma adalah bagian paling tajam dari penderitaan mental. Orang bisa pulih dari halusinasi tapi tidak mudah pulih dari pandangan orang lain.

Namun saya juga menulis sisi lain dari cerita itu, bahwa saya akhirnya menemukan kedamaian dalam hal-hal kecil, mengantar cucian laundry berbincang dengan ayah-ibu kandung sambil menyeruput kopi membaca buku-buku lama di sore yang sepi.

Dalam kesederhanaan itu saya belajar bahwa pulih bukan berarti menjadi seperti dulu tapi menerima diri yang baru.

Sebagai penulis saya tahu bahaya sentimentalitas. Tapi ketika menulis tentang gangguan jiwa sentimentalitas terkadang justru menjadi bentuk kejujuran.

Buku ini bagi saya bukan sekadar catatan penyintas melainkan perjalanan eksistensial, bagaimana saya memaknai hidup setelah kehilangan arah iman dan rasionalitas.

Kembali ke Denpasar

Dalam Bab Enam saya menulis tentang keputusan kembali ke Denpasar setelah lima tahun pemulihan. Dari seorang gadis asal Jakarta yang saya kenal lewat Facebook saya menemukan kembali semangat untuk hidup.

Saya mendapat pekerjaan sebagai wartawan tabloid budaya lalu perlahan menata hidup. Dari situ pula saya terlibat dalam pendirian Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia KPSI simpul Bali bersama dr I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, psikiater yang banyak membantu saya.

Bagian ini adalah salah satu yang paling optimistis dalam buku, bagaimana seseorang bisa bangkit dari titik terendah dan menemukan kembali tempatnya di masyarakat.

Tapi bahkan di tengah keberhasilan saya menulis tentang kejujuran bahwa stigma tidak pernah benar-benar hilang.

“Orang bisa menerima kita sebagai penulis,” tulis saya, “tapi begitu mereka tahu kita penyintas gangguan jiwa pandangan itu berubah.”

Jika saya diminta menilai buku ini secara jujur saya akan menyebutnya bukan buku motivasi tapi buku kesadaran.

Ia tidak menawarkan langkah-langkah praktis seperti tujuh cara menjadi bahagia atau formula sukses hidup sehat mental. Buku ini adalah perjalanan batin yang terbuka dan berani.

Secara struktur naskah ini disusun dengan kesadaran literer yang kuat. Ada kesinambungan antara bab-babnya, dari prolog yang puitik kisah masa remaja hingga fase pemulihan yang penuh refleksi.

Bahasa yang digunakan cenderung tenang dan jernih tidak meledak-ledak meski membawa emosi yang dalam.

Kejujuran dan Kesederhanaan

Daya tarik utama buku ini ada pada kejujuran dan kesederhanaannya. Ia tidak menggurui tidak mendramatisasi.

Sebagai pembaca kita diajak mengikuti perjalanan seseorang yang menata hidupnya bukan dengan keajaiban tapi dengan disiplin kecil, minum obat menulis dan belajar memaafkan.

Saya kira itu yang membuat buku ini melampaui sekadar kisah penyintas. Ia adalah catatan eksistensial tentang manusia yang belajar berdamai dengan pikirannya sendiri.

Ketika saya menulis bab berjudul Sunyi dan Stigma saya berhenti lama di depan layar. Saya ingin menulis dengan kepala dingin tapi sulit.

Saya menulis tentang mahasiswa Bali yang bunuh diri karena perundungan tentang penulis muda Korea yang depresi lalu mengakhiri hidupnya. Saya menulis dengan marah tapi juga dengan sedih.

Saya tahu stigma adalah monster yang tidak bisa dibunuh hanya dengan satu buku. Tapi saya percaya setiap tulisan adalah bentuk perlawanan kecil terhadap ketidaktahuan.

Dalam konteks masyarakat kita membicarakan gangguan jiwa masih dianggap tabu. Bahkan di kampus di ruang redaksi di keluarga kita masih takut membicarakan yang sakit.

Padahal sebagaimana saya tulis di buku ini, yang disebut gila sering kali berawal dari hati yang tidak diurus.

Saya ingin buku ini menjadi ruang aman bagi siapa pun yang merasa sendirian dengan pikirannya. Bahwa tidak apa-apa untuk lemah untuk minum obat untuk bicara pada psikiater. Tidak ada yang salah dengan mencari pertolongan.

Menulis Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku membuat saya memahami satu hal, menulis bisa menjadi terapi tapi juga ujian.

Saya menulis bukan untuk menunjukkan saya telah sembuh melainkan karena saya tahu menulis adalah satu-satunya cara agar saya tidak tenggelam lagi.

Setiap kali saya mengetik satu paragraf saya seperti memindahkan sebagian beban dari kepala ke kertas. Seperti kata psikiater saya dulu, ia bukan kehilangan akal ia hanya kehilangan tempat untuk menaruh kesedihan.

Tempat Menaruh Kesedihan

Kini saya punya tempat itu, tulisan.

Tulisan-tulisan yang dulu saya anggap sebagai pelarian ternyata adalah cara jiwa berbicara. Setiap puisi, setiap catatan, setiap bab dalam buku ini adalah bentuk percakapan dengan diri sendiri.

Menulis membuat saya tidak lagi takut melihat masa lalu. Bahkan ketika saya harus menyelam ke septic tank kotoran sendiri, saya tahu di dasar yang paling busuk pun ada cahaya kecil yang membuat saya tetap hidup.

Sebagai refleksi ,saya menyadari bahwa proses menulis buku ini bukan hanya tentang menata kenangan tapi juga menata makna. Saya kembali membaca Nietzsche tapi kali ini dengan pemahaman berbeda.

Dulu saya mengutipnya dengan kebingungan dan kegelisahan, Tuhan telah mati. Kini saya tahu kalimat itu bukan tentang ketiadaan Tuhan melainkan tentang manusia yang kehilangan makna karena berhenti mendengarkan dirinya sendiri.

Dalam ruang psikiatri, dua puluh tahun lalu, saya mencari Tuhan dengan cara yang aneh melalui diagnosis pil dan air mata.

Tapi kini saya menemukannya dalam hal-hal sederhana, dalam wajah istri saya yang sabar dalam komunitas kecil yang saling mendukung dalam keberanian menulis cerita ini.

Menulis membuat saya percaya bahwa Tuhan tidak pernah mati. Ia hanya bersembunyi di balik luka-luka yang belum selesai kita rawat.

Kalau saya harus merangkum seluruh pengalaman ini dalam satu kalimat mungkin begini, hidup saya adalah perjalanan panjang dari malu menuju penerimaan. Dari sembunyi menuju berbagi. Dari diagnosis menuju keberanian.

Saya tidak tahu apakah buku ini akan menjadi bacaan popular, tapi saya tahu buku ini penting.

Penting bukan karena nama saya tercetak di sampulnya tapi karena di dalamnya ada ratusan suara yang tidak terdengar, suara mereka yang hidup dengan gangguan jiwa yang terus berjuang agar tetap dianggap manusia.

Saya menulis buku ini untuk mereka, untuk kita semua yang pernah merasa kehilangan arah tapi masih ingin hidup satu hari lagi.

Kini naskah buku itu hampir rampung. Saya menatap file di layar laptop dengan perasaan campur, lega takut sekaligus haru.

Di rak buku kamar saya enam belas buku karya saya terdahulu berdiri rapi. Tapi buku ini berbeda. Ia bukan sekadar karya, ia adalah cermin.

Mungkin karena itu saya menulis judulnya demikian, Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku. Sebab di setiap buku yang saya tulis selalu ada bagian diri saya yang tertinggal di sana, sebuah luka yang tidak ingin saya sembunyikan lagi.

Dan ketika saya menutup laptop, saya tahu menulis telah menyelamatkan hidup saya sekali lagi.

  • Angga Wijaya adalah jurnalis dan penulis yang tinggal di Denpasar. Buku terbarunya berjudul Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku.

 

Apa Komentar Anda?