Oleh Wayan Sudarmaja
SEBENTAR lagi akan dilaksanakan ratusan pilkada serentak di seantero nusantara. Para kandidat sibuk adu siasat. Konsultan politik banjir order. Berdasarkan pengamatan, bukan penelitian, biasanya ada beberapa pola yang dimainkan untuk menggaet suara pemilih
.Politisi itu ternyata profesi. Profesi tertua adalah pelacur. Yang kedua politisi. Apakah ada pelacur jadi politisi jawabnya ada. Di Perancis. Apakah ada politisi yang melacurkan diri, jawabnya banyak politisi terlibat skandal sex menyebabkan karier nya terpuruk.
Dua duanya butuh personal branding. Dua Duanya butuh gaya. Dua duanya tebar pesona untuk menarik target. Politisi punya gaya,jasa dan dosa.
Bila dipilah dan dipilih maka dapat dikelompokan menjadi, gaya timbangan. Yakni, politisi yang berusaha menjaga keseimbangan antara politisi senior dan yunior. Yang muda tetap dibina, disupervisi, didampingi, diawasi dan dibina.
Kepala dilepas ekor dipegang. Formal ada ketum pajangan,f aktual Dewan pembina sebagai ketum bayangan.
Kedua, politisi mandor. Dipasang mandor untuk mengawasi gerak gerik ketua umum dalam mengambil kebijakan partai.
Lalu ketiga, politisi primadona. Ketua partai sekedar juru bantah dan juru sanggah opini. Dewan pembina atau Dewan Penasehat tukang koreksi dan pemutus kebenaran.
Keempat, politisi super hero. Dibuat kegaduhan politik, kemudian dalanglah yang tampil sebagai super hero, penyelamat partai dengan beri petunjuk, arahan, mantra ideologi oleh pendiri yang wise, bijak, santun dan akomodatif.
Kelima, politisi bergaya Aktor. Dibuat hiruk pikuk melalui cawe cawe konstituen disuguhi tontonan drama politik. Kesan lebih diutamakan dari pada pesan programatik. Dia paham betul bahwa rakyat kita lebih doyan tontonan dari pada analisis akademik atas fakta.
Lalu keenam, politisi bergaya jaim. Penampilan, ucapan, pakaian,selalu dijaga agar ada jarak dengan rakyat. Pemimpin beda dengan yang dipimpin. Harus ada jarak agar wibawa tetap terjaga. Jaim, selalu jaga image. Sisa feodalisme menampilkan pemimpin tidak boleh banyak mengumbar kata kata. Cukup bahasa isyarat,sanepo.
Ada juga yang ketujuh, yakni politisi sinterklas yang suka bagi bagi hadiah, duit, fasilitas berupa ijin tambang agar terjadi ewuh pakewuh akrena hutang budi.
Kedelapan, politisi carmuk. Datang kesemua acara yang dihadiri banyak orang. Bawa wartawan, bawa humas untuk nulis press release.
Kesembilan politisi gosif data. Berpijak pada hasil jajak pendapat.
Kemudian kesepuluh, politisi Warung kopi. Suka buat isu yang tanpa dasar. Analisa tanpa kerangka teori,tanpa basis data. Berdebat tanpa argumen yang jelas. Ada juga gaya semangka berdaun sirih. Mengatakan yang tidak mungkin Kalau saya menang, saya akan begini begitu.
Kesebelas atau yang terakhir politisi yang arogan,tidak bisa mengendalikan emosi,rebutan ngomong dalam debat. Seperti yang terjadi baru baru ini terhadap Rocky Gerung.
Yang jelas rakyat suka pemimpin yang rendah hati. Mampu memberi solusi. Tidak korupsi tidak nepotis.Yang mencerdaskan. Beretika. Tidak melo dramatik, membuat diri dikasihani dan seterusnya.
Membuat kesan difitnah, dianiaya,kemudian tampil tokoh protagonis. Politik disebut ilmu dan seni, karena tidak semua bisa dipelajari. Perpaduan teori dan praktek. Keterampilan dan pengetahuan. Pemimpin butuh wawasan,rekam jejak,dukungan,perencanaan, jaringan, integritas,popularitas dan isi tas. (kanalbali/IST)
Tentang penulis: Wayan Sudarmadja. Lahir 9 Juni 1955. S1 Fakultas Hukum UGM.S2 FH UGM. Pernah menjadi PNS di Departemen Kehutanan Jakarta, sekarang sebagai Advokat dan Konsultan Hukum Bisnis. Pernah menjadi Anggota Panitia Pemilihan Umum 1999. Wakil Sekjen Partai Keadilan Persatuan Edy Sudradjat. Tim Ahli DPR- MPR waktu Amandemen UUD 1945. Sekarang Pendiri Rumah Budaya Bedulu dan Kolektor buku lawas, komik jadul dan kartun langka.
Be the first to comment