
DENPASAR, kanalbali.id – Istilah hipnotis sering dikaitkan dengan tindak kriminal seperti yang terjadi pada kasus di Pasar Galiran Klungkung, Bali.
Ada banyak laporan mengenai orang yang menjadi korban kejahatan (seperti pencurian atau penipuan) dan mengaku “dihipnotis” oleh pelaku.
Dalam kasus-kasus ini, korban sering kali tidak menyadari apa yang mereka lakukan, menyerahkan barang berharga, atau memberikan informasi pribadi.
Menurut pakar hipnotis, Grand Master AA Lanang Ananda, pengertian masyarakat sering kali rancu karena tidak memahami makna sebenarnya dari kata hipnotis.
“Pemahamannnya bias karena banyak pertunjukan di TV yang berlebihan mengesankan seseorang yang dihipnotis bisa diperintah semaunya, padahal itu benar-benar hanya pertunjukan,” katanya.
“Dalam kasus kriminal kebanyakan yang terjadi adalah manipulasi psikologis atau teknik sugesti cepat yang memanfaatkan kelengahan korban,” katanya yang kini menjabat Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Perkumpulan Komunitas Hipnotis Indonesia (PKHI) Provinsi Bali.
Hal itu dimungkinkan karena pada dasarnya otak kita hanya bisa menerima perintah antara 4-6 perintah dalam satu waktu.
Perintah yang lebih banyak akan menciptakan kebingungan dan kepanikan sehingga pada saat itulah kelengahan bisa terjadi dan dimanfaatkan pelaku criminal.
Hal itu sebabnya dalam kasus pencopetan atau penipuan biasanya dilakukan lebih dari satu orang dengan pembagian tugas untuk menciptakan kekacauan pikiran.
Situasinya menjadi lebih buruk ketika korban memiliki bawaan psikologis yang gampang mengalami kepanikan atau bahkan riwayat kesurupan.
“Kasus di Klungkung juga seperti karena korbannya sendiri mengakui gampang panik dan sering merasa blank, ini dijelaskan juga oleh keluarga yang lain,” tegasnya.
Teknik pengacauan pikiran itu mirip dengan trik-trik ilusi dan tidak selalu melibatkan hipnotis dalam konteks medis atau terapeutik.
Dia menjelaskan, hipnotis bukanlah kendali penuh atas seseorang, melainkan proses sugesti yang hanya efektif jika orang tersebut bersedia atau berada dalam kondisi yang memungkinkan. Ketidaktahuan ini membuat masyarakat mudah percaya bahwa hipnotis bisa digunakan untuk tujuan jahat.
Sementara itu, ada pula beberapa pelaku kejahatan berpura-pura sebagai ahli hipnotis untuk mendapatkan kepercayaan korban dan kemudian melakukan penipuan.
Untuk mengatasi kejahatan semacam itu, menurut Lan, seseornag harus selalu memiliki kontrol diri yang baik menghadapi berbagai kemungkinan di sekitarnya.
Bagi yang sering mengalami panic attack atau serangan kepanikan lebih agar selalu didampingi dalam moment-moment yang penting dan rawan tindak kejahatan. ( kanalbali/RFH)