I Made Kaek, Sebuah Pertemuan

Kolom Angga Wijaya: I Made Kaek, Sebuah Pertemuan - IST
Kolom Angga Wijaya: I Made Kaek, Sebuah Pertemuan - IST

Di sudut Sawidji Galeri, Denpasar, yang teduh oleh pohon-pohon, I Made Kaek duduk mengenakan kaos oblong putih.

Nafasnya terdengar lebih pendek dari biasanya, tubuhnya sedikit lebih kurus, tetapi matanya tetap tajam. Suaranya, meskipun baru pulih dari gangguan paru-paru yang sempat membawanya dirawat di rumah sakit, masih lantang.

“Seni itu bukan pekerjaan, tapi cara hidup,” katanya membuka obrolan pagi itu.

Kaek, pelukis yang dikenal karena penghayatannya terhadap ekosistem seni rupa Bali, menyambut saya dengan senyum tipis. Kami duduk di bale terbuka galeri itu, ditemani aroma kopi robusta dan udara pagi yang hangat. Sakit tidak menghalangi semangatnya bercerita, dan dari mulutnya mengalir kisah panjang tentang tanah kelahirannya, tempat seni tidak pernah mati.

“Dulu orang Bali itu petani. Tapi habis dari sawah, mereka bikin topeng, melukis, buat canang,” katanya. Menurutnya, seni di Bali tidak lahir dari sekolah atau pelatihan formal, tetapi dari aktivitas sehari-hari yang mengandung nilai estetika dan spiritualitas.

“Itu bentuk syukur kepada semesta. Karena kami diajarkan sejak kecil bahwa membuat sesuatu yang indah adalah bagian dari ibadah,” lanjutnya.

Kaek menyebut desa-desa seperti Batuan, Ubud, dan Kamasan sebagai contoh tempat seni tumbuh organik. “Gaya Batuan itu tidak lahir karena proyek. Itu lahir dari komunitas yang hidup,” katanya. Di desa, seni tidak berhenti di studio. Ia mengalir sampai ke warung, bale banjar, hingga pojok sawah.

Di Bali, ada istilah penggak—tempat rehat informal untuk minum kopi, mengobrol, atau sekadar melepas penat. Di tempat-tempat seperti inilah menurut Kaek, seni Bali mendapatkan ruhnya. “Di pengak, orang bisa curhat, bisa adu ide. Kadang dari obrolan di warung bisa jadi pameran,” ujarnya sambil tersenyum.

Komunalitas ini adalah nadi kesenian Bali. Sebelum istilah “kolektif seni” menjadi tren, orang Bali telah lebih dulu mempraktikkannya secara alami. “Kami tidak pernah berpikir itu kolektif. Itu cuma hidup bersama,” ujarnya.

Seniman Bali Made Kaek - Dok.Koleksi Pribadi
Seniman Bali Made Kaek – Dok.Koleksi Pribadi

Dari Tradisi ke Pasar

Ketika wisatawan mulai berdatangan ke Bali pada 1970-an dan 80-an, perubahan perlahan terjadi. “Orang luar mulai beli lukisan. Lalu muncul art shop. Lama-lama ada galeri, museum, sekolah seni,” ujar Kaek. Tapi semua itu tidak muncul karena skenario. “Bali tidak pernah merancang komersialisasi. Itu tumbuh karena kebutuhan,” katanya menegaskan.

Ia menyadari, banyak seniman yang akhirnya bisa hidup dari karya karena pasar. Tapi ia mengingatkan bahwa pasar hanyalah perpanjangan dari semangat, bukan sebaliknya. “Kalau niatmu hanya untuk laku, kamu akan kehilangan jiwanya,” katanya, sambil menunjuk lukisan bdi dinding belakangnya.

Made Kaek tentang Tantangan Zaman Digital

Obrolan kami kemudian bergeser ke dunia digital dan kecerdasan buatan (AI). Kaek menyebut keduanya sebagai tantangan besar seniman hari ini. “Sekarang semua orang bisa bikin gambar di HP. Bahkan AI bisa bikin lukisan,” katanya sambil tertawa sinis.

Namun ia tidak sepenuhnya antipati. “Media sosial bisa bantu promosi, iya. Tapi juga bisa bikin seniman jadi panik, selalu bandingkan diri. Kalau tidak hati-hati, kita hanya akan bikin konten, bukan karya,” ujar Kaek.

Ia percaya bahwa AI tidak bisa menggantikan pengalaman manusia. “Mesin tidak punya trauma, tidak punya cinta, tidak tahu rasa sawah saat pagi, atau bau dupa di pura,” katanya sambil menatap lukisan abstrak karyanya sendiri.

Made Kaek bersama karya sketsanya - IST
Made Kaek bersama karya sketsanya – IST

Kaek pernah tinggal di Yogyakarta, saat menjadi mahasiswa ilmu hukum sebuah universitas swasta terkenal.  belajar dari seniman-seniman seperti Nyoman Gunarsa dan Made Wianta. . Di sana, ia belajar tentang disiplin dan nyali. “Di Jogja saya belajar bertahan. Tapi di Bali saya belajar hidup,” katanya.

Ia akhirnya memutuskan kembali ke Bali karena merasa di sinilah ia menyatu. “Bali bukan sekadar tempat. Ini ruang di mana saya bisa dengar suara hati, bisa kerja tanpa pencitraan,” ujar Kaek.

Menurut Kaek, kesenian Bali tidak boleh dibekukan dalam nama pelestarian. “Kalau cuma dilestarikan, lama-lama jadi fosil. Kita harus rawat dan perbarui. Bukan mengubah bentuknya, tapi mengisi ulang rohnya,” katanya.

Ia menyarankan seniman muda untuk tidak takut bereksperimen, asal tetap bersandar pada akar. “Bali itu kaya simbol. Tapi jangan jadi tempelan. Pahami maknanya, lalu bicaralah tentang hari ini,” ujarnya memberi pesan.

Matahari mulai naik saat Kaek menutup percakapan. Suaranya masih jelas, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Saya mungkin lelah, tapi saya tidak akan berhenti berkarya. Karena selama saya bisa melihat cahaya, saya akan melukis,” katanya pelan.

Di Sawidji Galeri pagi itu, saya tidak hanya bertemu pelukis yang telah pulih dari sakit, tetapi juga seseorang yang terus memperjuangkan hidup melalui seni. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, suara I Made Kaek adalah pengingat bahwa seni sejati selalu tumbuh dari kehidupan—bukan dari tren, bukan dari pasar, tapi dari tanah, dari tubuh, dan dari cinta yang tidak pernah selesai. (*)

*) Penyair, esais, dan jurnalis Kanalbali.id

Apa Komentar Anda?