Kutukan Ibu dalam Tinjauan Antropologi Budaya

Patung Malin Kundang di Pantai Air Manis, Sumatera Barat. Kisah tentang kutukan seorang ibu - IST
Patung Malin Kundang di Pantai Air Manis, Sumatera Barat. Kisah tentang kutukan seorang ibu - IST

Setiap memandang lengan kanan saya, rasa sedih diam-diam menyelimuti. Tangan saya cacat dan tak sempurna. Fraktur, dalam istilah kedokteran. Tapi lebih dari itu mengingatkan saya pada kutukan ibu.

oleh: Angga Wijaya

DULU,  saat mulai menginjak bangku SMP, saya mengalami patah tulang ketika ngebut naik sepeda BMX di sebuah lapangan bola di Negara, kota kecil di ujung barat Bali, kampung halaman saya.

Pagi hari itu, seorang kawan mengajak saya main basket. Kebetulan hari itu libur sekolah. Saya tak ikut main basket, memilih asyik dengan sepeda BMX yang kala itu sedang menjadi tren anak-anak kecil dan remaja. Sebelumnya, sepeda itu saya modifikasi dengan mengelas gir belakang, sehingga tak bisa bergerak mundur. Doortrap, istilahnya, dari bahasa Belanda kalau tidak salah.

Ketika itu, kami yang beranjak remaja suka ikut-ikutan apa yang teman lain lakukan. Wajar juga jika dilihat dari psikologi, identitas yang masih terus dicari oleh anak usia remaja, dengan mencoba menjadi ini dan itu.

Sepeda BMX tak hanya dipakai untuk balapan di jalan raya, tapi juga untuk atraksi “jumping-jumpingan”, begitu kami menyebutnya. Mengangkat stang sekuat mungkin sehingga roda depan “melayang” atau lompat sementara sepeda terus berjalan. Siapa yang paling lama jumping dianggap hebat.

Namun, saya tidak hanya jumping pagi itu. Bahkan, mirip pemain sirkus, saya berdiri di batang sepeda, sementara roda terus melaju. “Gila” juga saya saat kecil, jika kini mengingatnya. Hingga sepeda menabrak sebongkah batu, dan saya terpental.

Krakkk!—suara itu jelas. Lengan saya patah, lunglai menjuntai. Saya mengaduh keras, hingga teman saya datang panik. Saat diantar pulang, ibu dan ayah angkat saya terkejut sekaligus marah, membuat saya yang kesakitan tambah terpojok.

Saya tak dibawa ke rumah sakit. Kakak angkat saya, yang kala itu seorang guru dan cukup mapan, hanya melihat tanpa memberi solusi memadai. Ibu angkat kemudian membawa saya ke pengobat patah tulang tradisional.

Awalnya, keluarga pengobat itu mengaku tak sanggup, menyarankan kami mendatangi pengobat lain di ujung timur kota Negara.

Saat kami tiba, banyak orang mengantre. Ada yang keseleo, terkilir, bahkan patah tulang. Pengobat itu tua, bertubuh tegap, kumis melintang di atas bibir. Saat giliran saya dipijat sambil diajak bicara, rasa sakit luar biasa menjalari lengan kanan saya. Hampir menangis, saya berteriak tak tahan.

Sekitar 20 menit pijatan tahap pertama, lalu dua minggu kemudian saya harus kembali. Begitu seterusnya, hampir dua bulan lamanya. Sayang, kondisi lengan saya tidak membaik. Tulang siku yang terlepas dari sendi, tetap bengkok dan tak bisa lurus.

Saya bilang pada ayah angkat saya yang kasihan melihat bengkak setiap kali pulang dari pijatan, agar pengobatan dihentikan saja, yang artinya lengan saya cacat seumur hidup.

Mungkin jika dibawa ke rumah sakit, kondisi saya bisa lebih baik. Tapi hidup berjalan. Lengan cacat ini membuat saya minder, sering menarik diri dari lingkungan sosial, baik dengan keluarga maupun teman.

Meski seiring waktu saya mulai terbiasa, tatapan orang yang baru pertama kali bertemu saya tetap terasa menusuk. Tak sedikit yang bertanya mengapa tangan saya begitu.

Saya jadi teringat, sebelum kecelakaan itu, ibu angkat saya pernah marah mendengar saya memodifikasi sepeda BMX dan ikut “jumping-jumpingan”. Dengan muka tegang, ia berkata, “Awas ada nanti tanganmu kutung (patah)!”

Kalimat itu ia lontarkan dengan murka. Dan, entah kebetulan atau tidak, beberapa hari kemudian hal itu benar-benar terjadi.

Bukan soal menggugat masa lalu, saya hanya heran. Kata-kata dari seorang ibu, apalagi saat marah, mengapa begitu mudah dilontarkan tanpa memikirkan akibatnya.

Tinjauan Antropologi Budaya

Dalam budaya kita, ucapan orang tua sering diyakini punya daya magis yang bisa menjadi kenyataan. Seorang gadis yang suka memberontak “dikutuk” jadi perawan tua. Anak laki-laki yang membuat malu keluarga “dikutuk” tak selamat di jalan atau hidupnya penuh kesialan.

Dalam kajian Antropologi Budaya, kutukan (curse) bukan sekadar sumpah serapah. Di banyak kebudayaan di Indonesia, ia memiliki sejarah panjang sebagai sarana kontrol sosial dan moral. Kutukan biasanya dilontarkan oleh figur otoritatif, seperti orang tua, tetua adat, pemuka agama, yang diyakini memiliki kekuatan batin atau restu leluhur.

Folklore Nusantara sarat dengan cerita kutukan. Kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat mungkin yang paling populer: seorang anak durhaka dikutuk ibunya menjadi batu. Di Bali, ada cerita I Ketut Bungkling, rakyat jelata yang kerap membuat lelucon sinis kepada raja, namun pada akhirnya menerima akibatnya.

Di Jawa, ada kisah Roro Jonggrang yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bondowoso. Kutukan dalam cerita-cerita ini sering menjadi penegasan moral, bahwa siapa yang melanggar norma, akan menerima balasannya.

Secara antropologis, kutukan memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi normatif, yakni menegakkan nilai dan aturan. Kedua, fungsi sosial, sebagai peringatan agar generasi muda patuh pada otoritas dan tradisi.

Ketiga, fungsi psikologis, yakni menjadi pelepasan emosi pihak yang merasa dirugikan. Namun, ia juga bisa menjadi sumber trauma ketika diinternalisasi oleh penerima kutukan, seperti yang saya alami.

Dalam tradisi lisan, kekuatan kutukan sering dikaitkan dengan konsep performative speech. Artinya, ucapan yang tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga menciptakannya. Dalam kepercayaan tradisional, kata-kata yang dilontarkan dengan niat, emosi kuat, dan posisi sosial tertentu dianggap mampu memanggil kekuatan gaib atau restu leluhur.

Sayangnya, keyakinan ini bisa berdampak buruk ketika digunakan secara gegabah. Banyak kasus di mana anak merasa hidupnya “dirantai” oleh ucapan orang tua. Bahkan ketika secara rasional ia tahu itu hanya kata-kata, secara emosional ia tetap merasa terikat. Trauma ini bisa membentuk kepribadian; anak menjadi penakut, menarik diri, atau justru pemberontak.

Saya tidak tahu apakah kecelakaan saya murni kebetulan atau benar-benar “hasil kutukan” ibu angkat saya. Namun, yang jelas, kata-kata itu membekas lebih lama dari rasa sakit patah tulang. Hingga kini, setiap melihat lengan saya, ingatan itu muncul.

Mungkin, inilah alasan saya tertarik mempelajari hubungan antara bahasa, emosi, dan kekuasaan dalam budaya. Kutukan adalah salah satu bentuknya, bahasa yang bisa menjadi “senjata” atau “doa terbalik”. Ia adalah pengingat bahwa kata-kata tak pernah benar-benar hilang setelah diucapkan. Mereka tinggal di tubuh, di ingatan, dan kadang di takdir.

Hari ini, saya memilih untuk tidak melihat kutukan itu sebagai takdir buruk, tetapi sebagai pelajaran hidup. Bahwa kita harus berhati-hati dalam berbicara, terutama pada mereka yang kita cintai. Dan bahwa luka yang ditinggalkan kata-kata bisa sama dalamnya dengan luka yang ditinggalkan batu di lapangan bola bertahun-tahun lalu. (*)

 

*) Penyair, esais dan jurnalis lepas di Denpasar-Bali

Apa Komentar Anda?