
Penulis: Angga Wijaya
SETELAH banjir yang terjadi pada Rabu kemarin, usai dua hari hujan tanpa henti mengguyur sebagian wilayah Bali, langit Kota Denpasar pada Kamis (11 September 2025) tampak cerah.
Obrolan warga di pinggir jalan, di kos-kosan, di kantor, juga di rumah masih seputar bencana banjir. Duka dan air mata bagi keluarga korban, simpati dari masyarakat terhadap mereka yang berpulang dan keluarga yang rumahnya menjadi korban banjir terus mengalir, dalam unggahan atau komentar di media sosial, dan juga grup-grup WhatsApp.
Pejabat pemerintah lokal juga telah langsung datang ke lokasi banjir—menyampaikan rasa belasungkawa dan simpati terhadap keluarga korban banjir.
Petugas lapangan, BPBD, Dinas PUPR terjun langsung ke lokasi banjir bahkan sampai malam hari, hingga Pemadam Kebakaran dengan sigap membersihkan sisa-sisa lumpur di lokasi rumah-rumah dan jalan-jalan yang terendam banjir sebelumnya.
Para aktivis, intelektual, penulis, wartawan, dan influencer sibuk menulis dan membuat konten sebagai wadah kegelisahan, lengkap dengan pandangan masing-masing.
Termasuk, memberi kritik kepada pemerintah lokal tentang tata kota yang buruk, mitigasi bencana yang rendah, alih fungsi lahan bahkan pada kawasan yang dulunya dikenal sebagai jalur hijau—hingga kebijakan yang dinilai belum optimal, termasuk soal penanganan sampah yang dinilai kontroversial, bahkan kurang “cerdas”.
Misalnya, gagasan “pengelolaan sampah dari masyarakat yang membuang sampah” atau “sampah menjadi tanggung jawab individu” membuat kita bertanya, apa gunanya ada pemerintah jika tanggung jawab pengelolaan sampah dilemparkan sepenuhnya pada warga?
Seusai banjir besar, hidup terus berjalan. Warga tetap bekerja, berdagang, aparatur sipil maupun karyawan swasta kembali ke kantor masing-masing. Ingatan tentang banjir masih membekas dan tentu saja akan memudar seiring rutinitas dan algoritma media sosial yang berganti dengan peristiwa serta isu-isu baru.
Macet
Apa yang merisaukan warga selain banjir? Tentu saja, kemacetan lalu lintas. Ini masalah klasik yang tidak hanya membayangi Kota Denpasar dan sebagian wilayah Kabupaten Badung, tetapi juga banyak kota-kota lain di Indonesia.
Bedanya, di banyak tempat lain, transportasi publik seperti bus kota, mikrolet, bemo, atau bahkan becak masih menjadi pilihan masyarakat. Di Bali? Warga seakan enggan naik transportasi publik. Padahal, di era 1990-an hingga awal 2000-an, sistem transportasi publik di Bali masih cukup hidup.
Terminal-terminal di Denpasar dan kota-kota kabupaten di Bali berfungsi dengan baik. Jalur transportasi publik seperti bemo dan bus antarkota dalam provinsi terintegrasi dengan cukup rapi.
Semua itu ada sebelum “serbuan” kendaraan pribadi—baik sepeda motor maupun mobil—yang datang dengan sistem kredit, baik baru maupun bekas. Pemerintah kemudian memilih mendukung tren ini atas dasar mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Konon, pajak dari kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang terbesar kas daerah.
Tidak mengherankan, jalanan di kota maupun desa kini sesak dengan kendaraan pribadi. “Budaya” konsumerisme masyarakat Bali menambah pelik situasi. Sepeda motor dan mobil, dari harga murah hingga sangat mahal, bertebaran di jalan raya. Kini, dengan kondisi kemacetan lalu lintas yang menjadi momok, “benang kusut” sistem transportasi seakan sulit diurai.
Kehadiran dan inisiatif pemerintah pusat dengan mengoperasikan Bus Trans Metro Dewata sebenarnya memberi alternatif bagus untuk mengurangi kemacetan. Meski sempat terhenti karena masalah dana, pemerintah provinsi Bali kemudian mendukung operasionalnya dengan sistem urunan antara provinsi, kota, dan kabupaten. Itu sebuah langkah maju.
Namun, realitas di lapangan tetap keras kepala. Banyak warga merasa naik bus tidak praktis. Jadwal tak selalu tepat waktu, jarak halte dengan rumah atau tempat kerja cukup jauh, dan budaya mobilitas di Bali memang sudah terlanjur berpihak pada kendaraan pribadi.
Lebih dari sekadar alat transportasi, motor atau mobil di Bali adalah bagian dari gaya hidup dan gengsi sosial. Naik bus dianggap “tidak keren”, bahkan kadang dipandang sebagai simbol keterbatasan ekonomi.
Di sinilah masalahnya. Pemerintah boleh saja gencar mengkampanyekan transportasi publik, tetapi tanpa ada insentif dan perubahan budaya, sulit mengubah perilaku masyarakat. Apalagi, tata kota yang ada kurang memberi ruang ramah bagi pejalan kaki maupun pesepeda.
Trotoar sempit atau rusak, jalur sepeda minim, sementara parkiran motor menjamur di mana-mana. Kita seperti diajak berpikir bahwa jalan raya memang hanya untuk kendaraan bermotor.
Jika banjir mengingatkan kita pada rapuhnya ekosistem dan tata kota, maka macet adalah wajah sehari-hari dari krisis yang lebih dalam, yakni kegagalan membangun sistem transportasi yang berkelanjutan.
Macet bukan sekadar persoalan waktu terbuang di jalan, tetapi juga menyangkut polusi udara, stres sosial, dan pemborosan energi. Bali yang menjual diri sebagai destinasi pariwisata dunia ironisnya justru menawarkan pengalaman buruk dalam mobilitas sehari-hari.
Lebih jauh, banjir dan macet sama-sama lahir dari cara pandang yang menempatkan pembangunan fisik di atas kelestarian lingkungan dan kualitas hidup. Sungai dipersempit demi perumahan dan vila, sawah dikonversi jadi jalan atau mal, jalur hijau berubah fungsi demi akomodasi turis.
Dalam logika yang sama, jalan dilebarkan bukan untuk memberi ruang bagi pejalan kaki atau bus, melainkan untuk memfasilitasi bertambahnya jumlah kendaraan pribadi.
Jalan Keluar
Apakah ada jalan keluar? Selalu ada, meski tak mudah. Kita perlu keberanian politik untuk menegakkan tata ruang dan menolak alih fungsi lahan yang serampangan. Kita perlu konsistensi dalam mengelola sampah dan air hujan, bukan sekadar membagi tanggung jawab ke pundak warga.
Dan yang paling penting, kita perlu mengembalikan marwah transportasi publik sebagai kebutuhan bersama, bukan pilihan terakhir. Pemerintah harus berani memberikan subsidi, meningkatkan kenyamanan dan ketepatan waktu, sekaligus memberi disinsentif bagi penggunaan kendaraan pribadi—entah lewat pajak tinggi, parkir mahal, atau pembatasan akses di jalan tertentu.
Di tengah semua itu, warga juga ditantang untuk merevisi cara pandangnya. Apakah gengsi lebih penting daripada kelancaran bersama? Apakah kenyamanan sesaat lebih utama daripada keberlanjutan jangka panjang? Banjir dan macet mengajarkan kita bahwa konsekuensi dari pilihan hidup kolektif akhirnya harus ditanggung bersama.
Setelah banjir, langit memang cerah. Namun, di jalan-jalan Denpasar dan Badung, langit cerah itu segera berubah jadi deru knalpot dan antrean kendaraan yang mengular. Habis banjir, terbitlah macet. Sebuah ironi Bali modern yang seolah tak kunjung menemukan jalan pulang ke akarnya sendiri. (kanalbali/IST)