
Penulis: Angga Wijaya
Tak semua luka tampak di mata. Di Bali, mereka yang pernah jatuh dalam jurang gangguan jiwa kerap pulih, tapi tetap dipeluk bayang-bayang stigma yang lebih sulit sembuh daripada penyakit itu sendiri.
“Sehat-sehat, ya…”
Beberapa tahun terakhir, ada hal yang membuat saya sedih sekaligus menjadi bahan pemikiran, saat misalnya keluarga atau kawan di akhir perbincangan—baik secara langsung maupun melalui pesan singkat—berkata, “sehat-sehat, ya…” atau “baik-baik, ya…” .
Kalimat itu di satu sisi merupakan ungkapan perhatian yang tulus, tapi di sisi lain—secara halus—juga menjadi pengingat bahwa saya pernah “sakit” atau setidaknya masih menjalani pengobatan hingga sekarang.
Andai mereka mau membaca buku atau membuka hati dan pikiran, sebenarnya konsep “sakit” dan “sehat” adalah sebuah kesepakatan, sebuah konsensus budaya masyarakat. Tak perlu jauh-jauh menelaah filsafat untuk membongkar hal tersebut.
Mari kita tengok keseharian kita: bukankah kondisi tubuh kita tak selalu sehat? Hari ini pilek, besok sembuh, seminggu lagi batuk, lalu kembali segar.
Dalam bahasa Indonesia bahkan ada istilah “kurang enak badan” yang seakan menegaskan bahwa sehat dan sakit bukanlah dua dunia yang terpisah, melainkan sebuah spektrum yang bergerak.
Lalu, apakah kebiasaan kita mendoakan orang dengan kalimat seperti itu salah? Tidak juga. Di sisi positif, mereka memang sedang mendoakan kita agar tetap sehat dan baik.
Namun, bagi seseorang yang dianggap “sakit”, ucapan itu bisa terdengar sebagai label atau cap yang kurang menyenangkan. Bahkan bisa menjadi bentuk glorifikasi atas sebuah penyakit: mengabadikan kondisi masa lalu sebagai identitas permanen.
Ingatan tentang pengidap penyakit mental di masa lalu—misalnya yang pernah berkata kasar, mengamuk, atau bahkan membahayakan—sering terbawa hingga masa sekarang, meski kenyataannya mereka telah pulih. Label itu tetap melekat, menempel di ingatan kolektif.
Jadi, sebaiknya bagaimana? Jawabannya: biasa-biasa saja. Melihat manusia sebagai manusia, dengan segala naik-turunnya. Kadang dalam kondisi baik, kadang tidak.
Seperti judul drama Korea yang terkenal: It’s Okay to Not Be Okay. Jangan terjebak dengan obsesi “berpikir positif” yang menolak sisi gelap kehidupan, seakan-akan manusia harus selalu bahagia dan sehat. Pada kenyataannya, hampir semua dari kita juga sakit, entah fisik atau psikologis.
Saya teringat kalimat seorang humanis spiritual: “Anda memang tidak sakit, tapi sehatkah Anda?”

Konstruksi Sosial
Di Bali, istilah “buduh” dalam bahasa sehari-hari sering dipakai untuk merujuk orang yang mengalami gangguan jiwa. Kata itu terdengar kasar, bahkan merendahkan, karena tak jarang diucapkan untuk mengejek atau merendahkan orang lain.
Padahal, dalam tradisi pengobatan Bali, lontar usada buduh memuat klasifikasi detail tentang sakit jiwa, yakmi perilaku menyendiri, berbicara sendiri, agresif, hingga gangguan kesadaran. Artinya, jauh sebelum psikiatri modern hadir, orang Bali sudah punya kesadaran bahwa kondisi mental manusia sangat beragam.
Namun, konstruksi sosial dan budaya kemudian membentuk “buduh” menjadi label negatif. Gangguan jiwa sering dipandang sebagai akibat karma buruk, kutukan leluhur, atau gangguan roh jahat.
Akibatnya, keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa kerap merasa malu, bahkan dianggap “bernoda” dalam struktur sosial banjar.
Sehat dan sakit dalam konteks ini bukan lagi urusan medis, tetapi persoalan citra keluarga, kehormatan, dan status sosial.
Maka tak mengherankan bila banyak keluarga memilih menyembunyikan anggota keluarganya yang ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), mengurung mereka di kamar, atau menitipkan pada balian agar “dibersihkan”.
Praktik pemasungan masih ditemukan di Bali, meskipun sudah dilarang oleh pemerintah. Di beberapa desa, ODGJ yang dianggap membahayakan dipasung karena keluarga tak punya pilihan lain. Stigma “gila” begitu kuat, sehingga masyarakat lebih memilih mengurung daripada memberi ruang untuk perawatan.
Yang lebih menyedihkan, label itu terus melekat bahkan setelah seseorang pulih. Seorang mantan ODGJ bisa saja kembali bekerja, berinteraksi normal, atau bahkan berkarya, tetapi tetap dicap sebagai “bekas orang gila”.
Stigma ini menutup kesempatan mereka untuk menikah, diterima bekerja, atau mendapatkan tempat yang layak di masyarakat.
Saya pernah mendengar kisah seseorang yang pulih dari skizofrenia, berhasil menamatkan kuliah, bahkan menulis buku.
Namun, dalam acara keluarga, masih saja ada yang berbisik: “Dulu dia pernah gila, kan?” Satu masa kelam dijadikan identitas seumur hidup. Itulah yang disebut sebagai labeling dalam ilmu sosiologi, ketika diagnosis medis berubah menjadi cap sosial yang sulit dihapuskan.

Tantangan Kesehatan Mental di Bali
Bali memiliki catatan yang unik sekaligus ironis. Berdasarkan Riskesdas, Bali termasuk provinsi dengan prevalensi skizofrenia tertinggi di Indonesia. Angka ini membuat kita mesti berhenti sejenak: mengapa di tengah citra Bali yang damai, harmonis, dan religius, kasus gangguan jiwa justru tinggi?
Salah satu jawabannya adalah tekanan sosial-ekonomi. Transformasi budaya, pariwisata yang menekan ruang hidup, serta gaya hidup modern yang memicu stres memberi dampak besar.
Namun, faktor yang tak kalah penting adalah kurangnya layanan kesehatan jiwa. Psikiater di Bali jumlahnya masih sangat terbatas dan terkonsentrasi di kota. Di pedesaan, keluarga sering kali hanya mengandalkan puskesmas yang minim tenaga ahli.
Selain itu, stigma juga terjadi di layanan kesehatan. Banyak keluarga takut membawa anggota ODGJ ke rumah sakit jiwa karena khawatir dicap oleh tetangga. Ada semacam “aib” bila ketahuan ada anggota keluarga yang berobat ke psikiater.
Padahal, gangguan jiwa seperti skizofrenia bisa dikendalikan dengan obat dan terapi, sama seperti penyakit kronis lainnya.
Suara Praktisi dan Aktivis
Psikiater Luh Ketut Suryani, sering mengkritik cara pandang masyarakat Bali terhadap kesehatan mental. Ia menekankan bahwa tekanan modernitas, turisme, dan perubahan sosial membuat orang Bali rentan mengalami gangguan jiwa. Namun, sayangnya, masyarakat lebih suka menutup mata daripada menghadapinya.
Di sisi lain, ada upaya dari praktisi seperti dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, di Bali Mental Health Clinic (BMHC) yang konsisten melakukan edukasi publik. Ia sering menyampaikan bahwa ODGJ bukanlah “orang gila” yang harus dijauhi, melainkan manusia yang sedang berjuang dengan kondisi medis.
Selain itu, beberapa komunitas juga hadir untuk mendampingi ODGJ. Mereka menggelar kegiatan kreatif, pelatihan kerja, hingga advokasi agar masyarakat lebih menerima. Langkah-langkah kecil ini memang belum bisa menghapus stigma sepenuhnya, tetapi menjadi secercah harapan bahwa kesadaran publik mulai tumbuh.
Saya sendiri pernah merasakan bagaimana label itu bekerja. Meski sudah pulih, bisa berkarya, dan menjalani hidup secara produktif, ada saja yang masih mengingat masa lalu saya dengan cara yang tidak nyaman. Kalimat sederhana seperti “sehat-sehat, ya…” bisa menjadi pengingat halus bahwa saya pernah sakit.
Label masa lalu itu menempel seperti bayangan. Padahal, manusia berubah, bahkan bisa tumbuh lebih kuat karena pengalaman sakitnya. Seorang yang pernah sakit jiwa bukan berarti akan selamanya begitu. Ia bisa kembali hidup normal, bekerja, jatuh cinta, menikah, bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Namun, stigma sosial lebih sulit disembuhkan dibandingkan penyakit itu sendiri. Jika obat bisa meredakan gejala, maka stigma adalah luka sosial yang terus digaruk oleh tatapan, bisikan, dan ejekan. Di sinilah peran empati menjadi penting: melihat manusia sebagai manusia, bukan sekadar diagnosis atau masa lalu.
Empati, bukan Stigma
Stigma gangguan jiwa di Bali adalah cermin bagaimana kita memandang sehat dan sakit. Di satu sisi, ada warisan budaya yang menganggap gangguan jiwa sebagai akibat karma atau gangguan roh. Di sisi lain, ada realitas sosial berupa pemasungan, diskriminasi, dan labeling yang menyulitkan pemulihan.
Kini saatnya kita belajar melihat lebih jernih. ODGJ bukanlah aib, bukan pula kutukan. Mereka adalah manusia yang sedang berjuang dengan kondisi medis, sama seperti orang dengan diabetes atau hipertensi. Bedanya hanya satu: penyakit mental lebih sering disalahpahami.
Jika Bali ingin tetap dikenal bukan hanya karena keindahan alam dan budayanya, melainkan juga karena kemanusiaannya, maka stigma itu harus diurai. Kita perlu menghadirkan ruang yang lebih inklusif, di mana pulih bukan hanya berarti sembuh dari gejala, tetapi juga bebas dari label sosial.
Akhirnya, mungkin kalimat “sehat-sehat, ya…” bisa kita ubah menjadi kalimat yang lebih sederhana dan manusiawi: “Semoga bahagia, ya…” Karena bukankah yang kita cari dalam hidup bukan sekadar sehat, tetapi juga rasa tenteram sebagai manusia yang apa adanya?
*) Penulis adalah penyintas skizofrenia paranoid, wartawan, penyair, dan esais asal Jembrana, Bali. Telah menulis 15 buku sejak 2018, dan aktif bekerja sebagai wartawan sejak 2015.