AJI dan IJTI Bali Kecam Pelarangan Jurnalis Meliput People’s Water Forum

Penghadangan warga yang akan memasuki lokasi People's Water Forum - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali, menyesalkan pelarangan para jurnalis untuk meliput kegiatan Forum Air untuk Rakyat atau People’s Water Forum (PWF) yang digelar di Hotel Oranjje, Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar, Bali.

Sekretaris AJI Kota Denpasar, Wayan Widyantara alias Nonik mengatakan, AJI Denpasar mendapat laporan dari beberapa anggota dan jurnalis yang meliput PWF pada Selasa (21/5) siang, di Hotel Oranjje, di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, tempat digelarnya event tersebut.

Nonik juga menerangkan, selain panitia, pembicara, dan peserta PWF, jurnalis juga dilarang masuk ke Hotel Oranjje, dan sempat terjadi debat antara jurnalis dengan sejumlah oknum warga yang tidak jelas tersebut.

Selain itu, belum jelas apakah mereka dari organisasi masyarakat (ormas) yang sehari sebelumnya melakukan intimidasi dan kekerasan di lokasi yang sama.

“Mereka menutup wajah menggunakan kaca mata dan masker, dan menutup kepala menggunakan jaket bertudung. Ketika oknum yang melarang liputan ditanya berasal dari mana juga tidak menjawab, apa alasan pelarangannya mereka juga tidak menjawab. Akan tetapi, Satpol PP bebas keluar masuk. Sehingga ada dugaan mereka bagian dari negara atau kekuasaan,” kata, dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/5).

Selain itu, laporan lainnya, ada peretasan terhadap akun whatsapp beberapa jurnalis. Juga hilangnya sinyal di sekitar Hotel Oranjje yang diduga dipasangi jammer atau pengacak sinyal. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah termasuk bertentangan dengan kemerdekaan pers yang dijamin sepenuhnya oleh Undang-undang (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

Kemudian, Pasal 28 huruf F UUD 1945 menjamin sepenuhnya hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Kemudian, pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 40, Tahun 1999 tentang pers dengan tegas menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU Pers menegaskan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,”Maka, melarang pers melakukan kerja jurnalistik atau peliputan telah melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Pers yang menetapkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,” ujarnya.

Sementara, yang dimaksud dengan kemerdekaan pers, dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Lebih lajut, terdapat ancaman pidana bagi yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan peliputan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (1)

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta,” ujarnya.

Hal senada, juga disampaikan oleh IJTI Bali yang menyesalkan larangan peliputan acara PWF di Hotel Orange. Larangan itu, dikeluhkan sejumlah jurnalis televisi yang dilarang oleh sekelompok orang.

Jurnalis tvOne, Alfani Sukri mengatakan, pada hari pertama gelaran PWF terjadi ketegangan antara sekelompok orang dengan panitia penyelenggara. Tapi larangan liputan oleh sekelompok orang dengan alasan menjaga budaya Bali.

“Sejak awal digelarnya PWF di Hotel Orange Hayam Wuruk kita awalnya boleh masuk. Nah hari kedua kemarin, semua peserta yg akan hadir itu nggak boleh masuk. Termasuk semua wartawan yang ingin meliput kegiatan di dalam dengan alasan nggak jelas. Mereka yang menghalangi itu nggak jelas. Dasar mereka menjaga budaya dan keamanan Bali. Takut demo dan sebagainya. Lah trus kita para wartawan ini apa, kok sampai ikut di larang,” ungkap Alfani.

Alfani juga menyayangkan sikap polisi sebagai aparat keamanan, yang harusnya mengamankan kegiatan masyarakat.

“Yang kita sayangkan, memang peran polisi di mana. Kok bisa ormas yang ngamanin. Nah yang paling sedih itu, pernyataan Menteri PUPR bahwa PWF nggak mengganggu dan diperbolehkan. Eh dianggap wartawan ngarang- ngarang,” sesalnya.

Sementara, Ketua IJTI Bali, Ananda Bagus Satria juga menyesalkan larangan peliputan PWF. Dalam Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers menegaskan, bahwa pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Oleh karena itu, semestinya para jurnalis tidak dihalangi dalam melakukan tugas jurnalistik.

“IJTI Bali menerima laporan pengaduan dari anggota bahwa sejumlah jurnalis televisi juga jurnalis lainnya dilarang meliput acara PWF. Padahal jurnalis diundang oleh panitia. Karena itu, pihak lain tidak berhak menghalangi kerja jurnalis, termasuk semua peristiwa yang terjadi di lokasi. Ini bentuk ancaman bagi kemerdekaan pers di Indonesia,” tegasnya.

Bagus menjelaskan, demi keterbukaan informasi publik diatur dalam
Pasal 6 huruf a Undang-undang pers yang menegaskan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Dengan demikian, para pihak yang melarang pers melakukan kerja jurnalistik atau peliputan telah melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Pers yang menetapkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

“Publik berhak mendapatkan informasi termasuk kegiatan PWF di Bali yang berbarengan dengan gelaran WWF. Nah polisi sebagai aparat keamanan harusnya mengamankan kegiatan masyarakat. Bukan membiarkan ormas maupun kelompok lain untuk menghalangi kegiatan masyarakat,” katanya.

Bagus menegaskan, ancaman pidana bagi yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan peliputan, diatur dalam Pasal 18 ayat (1).

Bagus juga menambahkan, jika ormas ataupun kelompok lain dibiarkan menggagalkan kegiatan PWF, maka berpotensi terjadi gesekan yang bisa berdampak pada adanya korban.

“Harusnya aparat keamanan dari kepolisian bertugas mengamankan kegiatan masyarakat. Kalau dibiarkan ormas maupun kelompok lain seperti kejadian ini, maka potensi adanya korban misalnya terjadi penganiayaan yang tak bisa dihindarkan. Karena kejadian ini terjadi di kota dan tidak mungkin polisi tidak tau adanya keributan sejak hari pertama,” ujarnya.

Atas pelarangan liputan yang terjadi di PWF di Hotel Oranjje tersebut, AJI Kota Denpasar juga menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan seluruh aparatur negara termasuk Polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat untuk menghormati dan turut menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, berpikir, dan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

2. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan aparatur negara termasuk polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat untuk tidak menghalangi kerja-kerja jurnalistik dalam melakukan peliputan atau mencari informasi.

3. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan seluruh aparatur negara termasuk Polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat, menghentikan intimidasi terhadap jurnalis.

4. Mendesak Dewan Pers dan Komnas HAM RI mengusut penghalangan jurnalis dalam meliput acara PWF di Hotel Oranjje, Denpasar.

5. Mendesak Polri, dalam hal ini Polda Bali, mengusut penghalangan jurnalis dalam meliput acara PWF di Hotel Oranjje, Denpasar. ( kanalbali/ RLS )

Apa Komentar Anda?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.