‘Amongken Liangne, Amonto Sebetne’, Mindfulness Ala Bali

Foto: Krisna Yuda/Unsplash
Foto: Krisna Yuda/Unsplash

Penulis:  Angga Wijaya

SAYA pertama kali mendengar pepatah itu bukan dari buku, bukan dari ruang kelas, dan bukan pula dari seminar kebudayaan yang penuh istilah berat.

Ia datang begitu saja, lewat percakapan biasa, diucapkan dengan nada datar, seolah tidak sedang menyampaikan sesuatu yang penting. Padahal justru di situlah kekuatannya. Pepatah Bali memang jarang datang sambil menggedor pintu. Ia lebih suka mengetuk pelan, menunggu kita cukup hening untuk mendengarnya.

Amongken liangne, amonto sebetne. Seberapa besar rasa senangmu, segitu pula rasa sedihmu.

Pepatah ini sering disalahpahami. Ada yang menafsirkannya sebagai ancaman halus agar manusia jangan terlalu gembira, jangan terlalu bahagia, seolah hidup memang harus dijalani dengan rem tangan sedikit ditarik.

Tafsir semacam itu terasa terlalu moralistik, bahkan agak curiga pada kebahagiaan. Padahal, jika didengarkan lebih saksama, pepatah ini tidak sedang menggurui. Ia tidak melarang. Ia hanya mengingatkan.

Di Bali, banyak nasihat hidup tidak disampaikan dengan kata “jangan”. Ia disampaikan lewat konsekuensi. Bukan karena orang Bali gemar menghukum, melainkan karena hidup sendiri sudah cukup menjadi guru.

Pepatah ini tidak berkata, jangan terlalu senang nanti kamu celaka. Ia berkata lebih sunyi. Jika kamu memilih merasakan senang secara penuh, bersiaplah juga menanggung sedih secara penuh. Tidak ada yang salah dengan keduanya.

Dalam dunia yang kini gemar merayakan kebahagiaan sebagai pencapaian, pepatah ini terasa seperti suara yang datang dari arah berlawanan. Kita hidup di zaman ketika senang harus dibagikan, dipamerkan, dirayakan beramai-ramai.

Media sosial penuh dengan senyum, liburan, keberhasilan, dan pencapaian. Kesedihan, jika muncul, sering dianggap kegagalan pribadi. Sesuatu yang harus cepat diatasi, disembuhkan, atau setidaknya disembunyikan.

Foto: Polina Kuzovkova/Unsplash
Foto: Polina Kuzovkova/Unsplash

Pepatah ini tidak sejalan dengan logika itu. Ia tidak memosisikan sedih sebagai gangguan. Ia menempatkannya sebagai pasangan sah dari senang. Dan di titik inilah saya mulai melihat bahwa amongken liangne, amonto sebetne bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah sikap batin. Sebuah cara hadir di dalam hidup.

Belakangan, dunia modern mengenal istilah mindfulness. Sebuah konsep yang sering diterjemahkan sebagai kesadaran penuh pada saat ini. Ia diajarkan lewat aplikasi, pelatihan, retret, bahkan paket liburan.

Mindfulness menjadi teknik, menjadi metode, menjadi produk. Tidak ada yang salah dengan itu. Banyak orang tertolong olehnya. Namun, menarik untuk melihat bahwa jauh sebelum istilah itu populer, kebudayaan lokal telah lama mempraktikkan bentuk kesadaran yang serupa, meski tanpa label.

Pepatah ini adalah salah satunya.

Mindfulness ala Bali, jika boleh disebut demikian, tidak dimulai dari latihan pernapasan atau instruksi menutup mata. Ia dimulai dari kesadaran akan siklus rasa. Bahwa apa pun yang kita alami hari ini, entah itu kegembiraan atau kesedihan, tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu punya pasangan. Dan kesadaran ini membuat seseorang tidak terlalu reaktif.

Orang yang memahami pepatah ini tidak mudah mabuk ketika bahagia. Ia tahu, di balik rasa lapang itu, ada kemungkinan rasa sesak. Bukan untuk ditakuti, melainkan untuk diakui. Sebaliknya, ketika sedih datang, ia tidak merasa hidup sedang mengkhianatinya.

Ia tahu, kesedihan itu bukan anomali, melainkan bagian dari perjanjian tak tertulis yang sudah ia setujui sejak awal, ketika ia memilih untuk hidup sepenuh-penuhnya.

Ini bukan sikap pasrah. Ini sikap sadar.

Dalam kebudayaan Bali, kesadaran semacam ini sering dirangkum dalam kata eling. Eling bukan sekadar ingat. Ia adalah ingat sambil sadar, sadar sambil rendah hati. Eling bahwa hidup tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.

Eling bahwa rasa tidak bisa dipilih hanya satu. Eling bahwa manusia tidak pernah benar-benar berkuasa atas apa yang ia rasakan, tetapi bisa memilih bagaimana ia meresponsnya.

Pepatah amongken liangne, amonto sebetne bekerja di wilayah respons itu. Ia melatih jarak yang sehat antara manusia dan emosinya. Bukan jarak yang dingin, apalagi penyangkalan, tetapi jarak yang memungkinkan seseorang untuk tidak tenggelam.

Kita boleh merasakan senang, bahkan sangat senang. Kita juga boleh merasa sedih, bahkan sangat sedih. Yang diingatkan pepatah ini adalah, jangan kehilangan kesadaran di dalamnya.

Dalam pengalaman pribadi, saya sering melihat bagaimana orang-orang yang paling takut sedih justru adalah mereka yang paling rapuh ketika sedih itu datang. Mereka membangun hidup seolah-olah bahagia adalah satu-satunya tujuan, satu-satunya ukuran keberhasilan.

Ketika sedih menyusup, mereka panik, merasa gagal, merasa salah jalan. Padahal mungkin yang terjadi hanyalah hidup sedang berjalan sebagaimana mestinya.

Pepatah ini tidak menjanjikan hidup yang nyaman. Ia menjanjikan hidup yang jujur.

Kejujuran terhadap rasa adalah fondasi dari mindfulness yang sejati. Bukan mindfulness yang berusaha menenangkan segala hal, tetapi mindfulness yang berani melihat segala hal apa adanya. Dalam konteks ini, Bali tidak mengajarkan kita untuk selalu tenang. Ia mengajarkan kita untuk selalu sadar.

Kesadaran itu juga berkaitan dengan konsep keseimbangan yang sangat kuat dalam kebudayaan Bali. Bukan keseimbangan statis, melainkan dinamis. Seperti berjalan di atas tali, keseimbangan bukan berarti diam, melainkan terus-menerus menyesuaikan diri.

Hari ini mungkin lebih banyak liang, esok mungkin lebih banyak sebet. Tidak ada yang salah. Yang berbahaya adalah ketika kita berpikir salah satunya tidak seharusnya ada.

Pepatah ini juga mengandung kritik halus terhadap cara manusia modern mengelola emosi. Kita diajari untuk mengejar kebahagiaan seolah itu barang yang bisa disimpan.

Kita diajari untuk menghindari kesedihan seolah itu penyakit. Akibatnya, ketika sedih datang, kita sibuk bertanya, bagaimana cara cepat menghilangkannya. Jarang ada yang bertanya, apa yang ingin ia sampaikan.

Mindfulness ala Bali tidak tergesa-gesa menghilangkan apa pun. Ia memberi ruang. Ia mengizinkan rasa hadir, lalu pergi dengan sendirinya. Seperti upacara yang tahu kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri. Tidak ditahan, tidak dipercepat.

Saya membayangkan pepatah ini diucapkan oleh seseorang yang sudah lama hidup. Seseorang yang telah mencicipi senang dan sedih dalam kadar yang tidak kecil. Ia tidak lagi kaget oleh naik-turunnya perasaan. Ia tidak lagi mengutuk kesedihan, juga tidak memuja kebahagiaan secara berlebihan. Ia hanya tahu, hidup memang bekerja seperti itu.

Dalam dunia yang semakin bising, pepatah ini terasa seperti jeda. Ia tidak menawarkan solusi instan. Ia tidak menjual harapan palsu. Ia hanya mengajak kita untuk hadir sepenuhnya, dengan risiko sepenuhnya pula. Dan mungkin justru di situlah letak keberaniannya.

Mindfulness ala Bali, jika dirangkum dalam satu kalimat, mungkin bukan tentang menenangkan pikiran, melainkan tentang berdamai dengan kenyataan bahwa rasa selalu datang berpasangan. Kita tidak perlu memilih salah satunya. Kita hanya perlu cukup sadar untuk tidak terseret terlalu jauh oleh keduanya.

Pepatah ini, bagi saya, adalah pengingat bahwa hidup tidak harus selalu ringan agar bermakna. Kadang justru karena berat itulah kita belajar hadir. Dan kehadiran itulah yang membuat kita benar-benar hidup.

Amongken liangne, amonto sebetne.
Sebuah kalimat pendek, yang menyimpan latihan kesadaran sepanjang umur. (*)

  • Angga Wijaya adalah jurnalis dan penulis yang tinggal di Denpasar. Buku terbarunya berjudul Laki-Laki yang Menata Lukanya di Rak Buku.

 

Apa Komentar Anda?