Penulis: Ayu Sulistyowati *
BAGI Bali, keladi begitu bermanfaat dari sisi sosial maupun budaya, mudah didapatkan, ditanam, maupun diolah serta harganya pun murah.
Keladi memiliki harga jual di bawah Rp 10.000 per kilogramnya. Sedangkan, beras padi (bukan organik) dengan harga sekitar Rp 18.000 per kilogram sebagai bahan pokok yang dianggap utama dan mewah.
“Dulu, seingat tiyang ketika masih kecil dan ketika sudah mengenal nasi dari beras, memakan olahan keladi itu entah mengapa dianggap termasuk orang miskin. Padahal, tiyang pernah mengalami kejayaan keladi menjadi makanan utama, lauk dan jajanan teman ngopi, seperti dikukus atau diolah lainnya. Daun dan batangnya juga bisa dimasak menjadi sayur berkuah berbumbu basa genap (rempah-rempah),” tutur Sukrata.
Di Desa Pedawa, menurut Sukrata, daerahnya bukan penghasil tanam padi. Mereka berkebun. Tanah mereka seperti umumnya darah tropis. Dan dengan semakin tinggi harga beras per kilogramnya dalam beberapa tahun terakhir, membuatnya ia bersama keluarga lainnya serta masyarakat kembali untuk peduli ke pangan lokal warisan leluhur.
Menurut Sukreta, tanaman keladi yang bisa menjadi pangan itu rata-rata bisa tumbuh di tanah kering sekalipun. Tanaman ini, lanjutnya, juga bisa bertumbuh sepanjang tahun, tanpa perawatan sekalipun pula.
Keladi mampu bertahan di kondisi cuaca ekstrem serta tanah yang tidak terlalu subur. Sehingga budidayanya dapat diterapkan di daerah yang kurang air. Di Bali, keladi togog dan keladi untuk pangan (karena ada keladi jenis tanaman hias) ini tumbuh baik di daerah selain Buleleng, yaitu Karangasem di salah satu kabupaten di Bali, yang rawan kekeringan setiap tahunnya.
Sayangnya, belum ada data pasti berapa luasan dan produksi keladi di Bali, meski masuk dalam tabel pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga, sulit untuk membandingkan data perkembangan pertumbuhan tanaman ini dari tahun ke tahun.
Sementara pada data padi, luas panen dan produksi padi di Provinsi Bali, dari 2000 hingga 2024, menurun berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2000, luas panen padi di Bali tercatat 133.219 hektar dengan produksinya sebesar 826.975 ton gabah kering giling (GKG).
Selanjutnya sesuai tabel Luas Panen dan Produksi Padi di Bali Tahun 2023-2024, dari data BPS, kesemuanya menurun. Dalam waktu 24 tahun kemudian, dari luasan panen 133.219 hektar menjadi 103.000 hektar atau berkurang 30.000-an hektar. Begitu pula hasil panennya menurun dari 826.975 ton menjadi 635.470 ton atau berkurang 191.505 ton.

Berkurangnya lahan dan produksi padi, menurut Sukreta, bisa menjadi peluang mengedukasi masyarakat sekitar tempat tinggalnya untuk kembali ke pangan lokal.
“Ya, tidak mudah menjalankannya karena generasi sekarang, kan, belum terlalu mengenal pangan lokal. Karena sudah banyaknya variasi pangan dari luar daerah kami,” ujarnya.
Uji kandungan keladi vs beras gabah
Mengenai kandungan gizi, keladi togog berdasarkan hasil penelitian tim dari Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana (2022), menyebutkan hasil uji menunjukkan keladi ini memiliki kandungan antioksidan yang paling tinggi dibandingkan dengan umbi lainnya.
Terdapat pula kandungan gizi lainnya yaitu protein, lemak, karbohidrat, fosfor, kalsium, zat besi vitamin. Maka dapat dijadikan pengganti beras.
Hasil penelitian tersebut keladi togog mencatat kapasitas antioksidannya 17,24 Mg/L. Sedangkan dibandingkan dengan salah satu umbi lainnya, seperti singkong mencatat 12,32 Mg/L.

Tabel Analisa Kandungan Gizi Keladi dan Umbi-umbian lainnya – Sumber : Hasil penelitian “Keanekaragaman Tanaman Umbi-Umbian Yang Berpotensi Sebagai Pangan Alternatif Di Kecamatan Rendang Dan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” oleh Indah Tria Hoky, Ida Ayu Astarini, Made Pharmawati dari Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana (2022)
Tabel Aktivitas Antioksidan Beras di Indonesia

Sumber : ARTERI, Jurnal Ilmu Kesehatan, Analisis Kandungan Gizi Beras dari Beberapa Galur Padi Transgenik Pac Nagdong/Ir36, oleh Dina Fitriyah, Muhamad Ubaidillah, Fariza Oktaviani, Politeknik Negeri Jember dan Universitas Jember (2020).
Jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan beras putih seperti pada Tabel Aktivitas Antioksidan Beras di Indonesia, antioksidannya 18,40 persen.
Dalam artikel menyebutkan beras yang dikonsumsi oleh masyarakat, umumnya tidak memiliki nutrisi penting karotenoid yang menunjukkan aktivitas pro vitamin A. Antioksidan itu tinggi dari jurnal ini menyebutkan dari beras merah dan hitam.

Keladi Pengganti Beras
Perbedaan setiap kandungan gizi juga didapat dari berbagai jenis umbi-umbian berbeda. hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, di antaranya intensitas cahaya, kelembaban, pH tanah, unsur hara.
Departemen Kesehatan di 2005, pernah merilis kandungan karbohidrat pada keladi cukup tinggi. Dan, dapat menjadi salah satu sumber karbohidrat potensial dan tidak menutup kemungkinan keladi dapat dijadikan pangan substitusi bagi beras. Kandungan karbohidrat pada beras yaitu 79,34 gram, jika dibandingkan dengan kandungan karbohidrat pada umbi talas sangat rendah yaitu 23,68 gram.
Maka kandungan gizi talas yang rendah dibandingkan dengan beras sangat baik untuk diet para penderita diabetes serta dapat menjaga kolesterol darah tetap rendah, bagi yang sedang dalam program penyembuhan dari gangguan kolesterol dan yang tinggi
Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras (2020-2024) dari Badan Ketahanan Pangan 2020 (sekarang Badan Pangan Nasional), menargetkan program diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat pengganti beras dari hulu ke hilir. Di dalamnya Bali menduduki peringkat ke-7 provinsi se-Nusantara yang mengkonsumsi talas. Peringkat tertinggi ada di Papua Barat (Gambar Grafik Sebaran Konsumsi Talas di Indonesia).
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah menjelaskan pada Workshop Daring Jurnalis untuk Mendorong Pangan Berkelanjutan “Bicara Pangan, Bicara Masa Depan”, 30 Agustus 2025, bahwa berbicara pangan lokal itu tak luput menelusuri gastronomi makanan dari perspektif beragam.
Baginya, justru ini menariknya membahas pangan lokal sebagai kekuatan diversifikasi dan ketahanan pangan.
Bisa jadi, lanjut Said, justru makan khas lokal masing-masing sejak dulu ada sebelum beras menjadi pangan (yang) utama. Hingga kemudian, masyarakat setempat tanpa sadar menggeser kedudukan pangan lokalnya.
Sejumlah daerah pun mulai menyadari dan ingin kembali menghidupkan pangan lokal itu sebagai ketahanan pangan dan melawan punah serta lupa. Sudah saatnya pangan lokal kembali menjadi kebanggaan di setiap daerah masing-masing. Bahkan, pangan lokal itu justru bisa jadi bertahan dengan perubahan iklim apa pun, musim apa pun.
Seperti halnya yang dikatakan Kenak, Sukrata serta lainnya terkait dari perspektif budaya atau gastronomi pangan lokal Bali, keladi memiliki beragam jenis dan secara turun temurun masuk dalam pelengkap utama banten (sesaji) untuk upacara adat/keagamaan Hindu Bali, salah satunya di Bali Aga, hingga menjadi olahan pangan yang tetap bernutrisi.
“Ya, begitulah leluhur mengajarkan kehidupan kepada kami, menghargai tumbuhan dan segala cipta-Nya di bumi ini,” kata Kenak. (bersambung)
BACA Tulisan Terkait: Bali “Pidan” ke “Jani” Melestari Keladi Togog (Tulisan 1)
*Tulisan ini merupakan hasil liputan beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025”, yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.


