Bali “Pidan” ke “Jani” Melestari Keladi Togog (Tulisan 1)

Keladi yang memiliki nama latin Araceae, kembali diproduksi sebagai olahan pangan lokal di Bali. Salah satu jenis umbi keladi yang siap diolah oleh ibu-ibu anggota Gapokwatan Lumbung Rasa, di Tabanan, Selasa (15/10/2025). (Foto : Ayu Sulistyowati/KanalBali.id)
Keladi yang memiliki nama latin Araceae, kembali diproduksi sebagai olahan pangan lokal di Bali. Salah satu jenis umbi keladi yang siap diolah oleh ibu-ibu anggota Gapokwatan Lumbung Rasa, di Tabanan, Selasa (15/10/2025). (Foto : Ayu Sulistyowati/KanalBali.id)

Penulis: Ayu Sulistyowati

“Kaki-kaki, nini dija? Nini jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeedngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed…”.

Syair ini merupakan harapan yang dihaturkan saat umat Hindu Bali memberikan sesaji saat perayaan Tumpek Wariga, setiap 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.

Artinya,  kurang lebih : “Kakek-kakek, nenek di mana? Nenek di rumah sakit panas dingin menggigil. Menggigil lebat lebat lebat, lebat di utara, lebat di selatan, lebat di timur, lebat di barat, 25 hari lagi galungan, berbuah yang lebat”.

Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh/Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag merupakan salah satu hari raya Hindu Bali berkaitan dengan memuliakan serta memanifestasikan kesuburan alam melalui tumbuh-tumbuhan.

Umat memberikan permohonan dan pengharapan agar apa yang diupayakan merawat tanaman dapat bertumbuh hingga berbuah dengan lebat.

Tradisi ini menunjukkan  kedekatan warga Bali dengan tumbuhan hingga menjadikan pertahanan pangan itu telah dimulai dari “pidan” (sejak dulu) hingga “jani” (sekarang).

Tradisi di Pedawa

Desa Pedawa, Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu desa Bali Aga (salah satu desa yang dituakan di Pulau Bali-red) menjadikan keladi sebagai bahan pokok keseharian. Mulai dari kudapan, teman ngopi, hingga jadi lauk, keladi-lah jawabannya. Mulai mengolah daun, batang hingga umbinya.

“Nggih, tiyang (saya) sudah terbiasa memakan keladi ini sebagai jajanan maupun diolah menjadi lauk,” kata Wayan Sukrata, salah satu tetua (orang yang dituakan) Desa Pedawa, Jumat (10/10/2025).

“Beras justru seingat tiyang tidak menjadi bahan makanan utama ketika itu masih anak-anak. Coba saja, Anda bertanya ke beberapa orang seumuran tiyang di 70 tahun-an ini, keladi itu menjadi makanan favorit dan dekat dengan keseharian di sini (Bali),” katanya.

Keladi bagi Sukrata dan masyarakat dengan usia era baby boomer, itu daftar pertama teman ngopi, teman kumpul keluarga, kerabat, teman dan sahabat. Tak lupa teman “ngayah” (gotong royong) di acara keagamaan atau adat.

Berbincang bersama Sukrata, dengan topik pangan justru ia curiga leluhurnya menjadikan keladi sebagai bahan pangan pokok. Bukan beras dari buliran padi. Ia bersama keponakan berupaya melestarikan segala hal terkait kebiasaan leluhur dengan membangun Komunitas Kayonan.

Sate keladi menjadi andalan lauk yang dirasa Sukrata menuju kepunahan jika tidak lagi dipopulerkan.

Sate keladi ini berupa olahan umbi keladi yang dihaluskan, dibumbui base genep (bumbu rempah-rempah) yang dihaluskan, lalu dicampur hingga bisa dikepali memanjang melilit tusuk sate pipih dari bambu.

Setelah terlilit rapi, adonan keladi itu siap dibakar dan menjadi santapan lauk sate keladi. Gurih rasanya…

Pelengkap upacara agama

Keladi yang memiliki nama latin Araceae, merupakan tanaman yang penting dalam kehidupan warga Bali.

Peneliti UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali Tri Warseno, Ni Putu Sri Asih, dan Agung Kurniawan dalam seminar nasional  2023 menyebut, adanya tujuh jenis koleksi Aracaea yang biasa digunakan sebagai kelengkapan sesaji upacara adat atau keagamaan Hindu Bali.

Ketujuh jenis keladi “istimewa” itu menjadi taman tematik di Kebun Raya Eka Karya dengan sebutan Taman Panca Yadnya atau Taman Tanaman Upacara Adat Hindu Bali.

Dalam sesaji upacara itu umat memanfaatkan mulai dari daun, batang hingga umbinya, baik secara terpisah-pisah maupun utuh.

Hasil penelusurannya jenis keladi itu  Alocasia macrorrhizos (L.) G. Don., Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson, Colocasia esculenta (L.) Schott., Colocasia gigantea (Blume) Hook.f., Homalomena cordata Schott, Remusatia vivipara (Roxb.) Schott. dan Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi

Tabel Penggunaan Masing Masing Jenis Araceae dalam Upacara Keagamaan Hindu Bali

Sumber : Tulisan ilmiah Pelestarian Dan Pemanfaatan Jenis- Jenis Araceae Sebagai Tanaman Upacara Agama Hindu Di Kebun Raya “Eka Karya” Bali oleh Tri Warseno, Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan dari UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali, Februari 2013.

 

Foto Morfologi Keladi Togog atau Colocasia esculenta (L.) Schott

       a. Hibatus                                  (b) Daun                                                         (c) Tangkai daun

Sumber : Tulisan ilmiah Pelestarian Dan Pemanfaatan Jenis- Jenis Araceae Sebagai Tanaman Upacara Agama Hindu Di Kebun Raya “Eka Karya” Bali oleh Tri Warseno, Ni Putu Sri Asih, Agung Kurniawan dari UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali, Februari 2013.

Pandangan Parisadha

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali I Nyoman Kenak mengatakan beberapa tumbuhan keladi memang bagian penting pelengkap bebantenan (sesaji) upacara. Tumbuhan keladi ini dimanfaatkan dari daun, batang dan umbinya digunakan untuk pelengkap upacara keagamaan Hindu Bali.

“Keladi ini merupakan tanaman istimewa yang mewakili simbol suci. Penggunaannya di dalam bebantenan (sesaji)-nya pun disesuaikan dengan makna mewakili upacara itu sendiri,” jelasnya.

Kenak mencontohkan dalam upacara pernikahan Hindu Bali yang biasa dilakukan, ada bagian prosesi dari rangkaian kegiatan upacara tersebut “Mekalan-kalan” mempelai menanam pohon keladi persis di tanah belakang sanggah (tempat semacam berbentuk rumah-rumahan kecil ditempatkan lebih tinggi untuk menaruh sesaji persembahan) Kamulan.  Ya, itu keladi togog (Colocasia esculenta) dalam upacara perkawinan adat Bali digunakan dalam “suwun-suwunan” (sarana jinjingan).

Suwun-suwunan berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan simbol harapan agar keluarga baru dikaruniai keturunan dan subur. Pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

Daun keladi jenis lainnya, Colocasia gigantea (Blume) Hook.f. juga sering digunakan dalam acara “Magedong-gedongan. Yaitu, upacara yang dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan. Upacara itu menggunakan daun dari tumbuhan keladi jenis Alocasia macrorrhizos (L.) G.

Don atau keladi bekaja yang sudah dewasa. Ada pula, lanjut Kenak, Remusatia vivipara (Roxb.) Schott atau keladi ganjah di beberapa daerah digunakan sebagai alas nasi caru yang digunakan untuk menetralisir alam dari serangan mara bahaya.  ( kanalbali/IST)

BACA Lanjutannya: Bali “Pidan” ke “Jani” : Pilih Keladi atau Padi (Tulisan 2)

*Tulisan ini merupakan hasil liputan beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025”, yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

 

 

Apa Komentar Anda?