DENPASAR, kanalbali.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menggelar diskusi tentang serangan digital di tengah upaya memperjuangka kebebasan pers, pada Sabtu (28/5) malam. Diskusi ini merupakan bagian dari peringatan World Press Freedom Day (WPFD).
Bertempat di Warung Kubu Kopi, Denpasar – Bali diskusi menghadirkan pemantik diskusi Anton Muhajir (Safenet) dan Ketua AJI Denpasar Elviera Paramita Sandi.
Anton Muhajir mengatakan serangan digital terhadap aktifis, penggiat sosial serta jurnalis terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil monitoring dan pengaduan ke Safenet, pada tahun 2020 telah terjadi 143 insiden digital. Kemudian pada tahun 2021 tercatat mengalami kenaikan menjadi 293 kasus.
Menurutnya sasaran serangan biasanya menyasar jurnalis, aktifis atau organ masyarakat sipil (NGO) pada saat mencuat isu-isu tertentu. “Serangan cukup marak pada saat ramai Wadas melawan misalnya, begitu juga saat ramai omnibus law. Tahun ini puncaknya bulan April, waktu itu ada isu tolak tiga periode Jokowi,” kata Anton.
BACA JUGA:
- Gandeng Gojek, FEB Unud Gelar Workshop Pemanfaatan Peluang di Era Digital
- Jangan Asal Berselancar di Internet, Jejak Anda Sulit Dihapus
Serangan digital menurut Anton dilakukan dengan beberapa cara. Yaitu Doxing dan peretasan. Doxing adalah satu model kekerasan digital, dimana pelaku menelusuri data pribadi (korban) lalu dipublikasikan tanpa ijin dengan tujuan mencemarkan nama baik, termasuk untuk kriminalisasi.
Sementara peretasan, pelaku coba masuk atau mengambil alih perangkat atau akun korban. Misalnya akun media sosial seperti WHatsApp, Facebook atau Instagram.
“Biasanya ada yang bersifat percobaan masuk, WA paling banyak. Contohnya pada kasus Sasmito ketua Ajindo, pelaku berhasil kuasai dua akun FB dan IG. Dugaan kami itu terjadi ketika gunakan Wifi hotel yang beresiko tinggi,” tutur Anton.
Karena itu dia menekankan pentingnya kesadaran untuk peduli pada keamanan digital. Saat ini tidak bisa hanya berpikir secara konvensional, karena tantangan aktifis dan jurnalis mengalami perubahan. Jurnalis dan aktifis perlu pembekalan keamanan digital.
“Harus jadi kesadaran bersama, belum sadar sebelum jadi korban, biasanya sudah telat. Perlu sadari itu supaya lebih tangguh,” ucap Anton.
Sementara itu Elviera Paramita Sandi dalam pemaparannya mengatakan media tempatnya bekerja sempat nyaris jadi korban peretasan. Beruntung tim IT sigap dan bisa segera mengantisipasi.
Menurutnya, saat ini ancaman serangan digital makin nyata terhadap jurnalis dan aktifis. Apalagi dalam pekerjaan sehari-hari tidak lepas dari internet. “Cukup susah untuk bersembunyi karena aktifitas sehari-hari selalu berhubungan dengan internet,” kata Viera.
Jurnalis menjadi lebih rentan karena di berita yang disajikan mencantumkan nama penulis berita. Sehingga jika ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan materi pemberitaan maka akan dengan mudah melakukan penelusuran. Karena itu perlu dilakukan mitigasi untuk mengantisipasi datangnya serangan. Baik dengan pelatihan maupun penguatan sistem keamanan pada aplikasi yang digunakan.
“Mungkin perlu duduk bersama antara pemerintah, aparat dan masyarakat untuk perlindungan digital, sehingga data yang kita miliki bisa dilindungi. Sayang kita belum seperti di Eropa dimana data pribadi sangat dilindungi,” ucap Viera. (kanalbali/ROB)
Be the first to comment