Penulis: Angga Wijaya
Childfree adalah keputusan sadar sebuah pasangan untuk tidak memiliki anak.
Keputusan ini bukan disebabkan oleh kendala biologis, melainkan pilihan hidup yang diambil setelah pertimbangan panjang.
Istilah childfree mulai populer di Barat pada era tujuh puluhan, ketika pergerakan perempuan menempatkan kebebasan tubuh dan hak menentukan hidup sebagai bagian dari perjuangan mereka.
Namun jauh sebelum istilah ini mendapatkan nama yang formal, manusia di berbagai penjuru dunia sudah mengenal keputusan untuk tidak memiliki keturunan. Keputusan itu hadir pada para rahib, seniman, pemikir, dan kelompok spiritual yang hidup dengan pilihan berbeda dari arus utama masyarakat.
Di Indonesia, pembahasan mengenai childfree baru ramai dibicarakan setelah media sosial membuka ruang yang selama ini tertutup. Topik yang dahulu dianggap tabu kini dapat muncul tanpa harus bersembunyi di balik bahasa halus.
Dalam masyarakat yang sejak lama memadukan pernikahan dan keturunan sebagai dua kewajiban yang seolah tak bisa dipisahkan, keputusan childfree sering dianggap aneh. Tidak sedikit pasangan yang mengaku harus menanggung pandangan miring dari keluarga maupun lingkungan sekitar, ketika menyatakan tidak ingin memiliki anak.
Meskipun begitu, beberapa tahun terakhir terlihat perubahan yang cukup menarik. Pasangan muda, terutama yang tinggal di kota besar, mulai mempertimbangkan hidup tanpa anak sebagai pilihan yang mungkin relevan dengan kondisi mereka.
Tekanan ekonomi, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, serta pengalaman masa kecil yang rumit membuat sebagian orang tidak ingin mengulang pola yang sama pada generasi berikutnya.
Belum ada statistik resmi mengenai jumlah pasangan childfree di Indonesia, tetapi percakapan mengenai pilihan ini semakin luas dan tidak lagi berada di pinggir wacana publik.
Akan tetapi sebagian besar pembahasan childfree masih didominasi perspektif psikologis, sosial, atau ekonomi. Padahal dalam banyak kebudayaan keputusan memiliki atau tidak memiliki anak berkaitan erat dengan perjalanan spiritual seseorang.
Ada hubungan antara luka keluarga, karma leluhur, dan pilihan untuk menghentikan siklus tertentu. Di sinilah pandangan Lia Lestari seorang spiritualis muda memberi sudut pandang yang lebih dalam bagi mereka yang ingin memahami childfree bukan sekadar keputusan pribadi, tetapi juga perjalanan jiwa.
Memutus Karma Leluhur
Menurut Lia, pasangan yang memilih childfree sebenarnya sedang mengambil keputusan penting untuk memutus karma leluhur yang selama ini diwariskan. Dulu keputusan childfree sering dihujat.
Banyak orang menilai pasangan childfree egois, tidak mau memanfaatkan kodrat sebagai manusia, atau menolak norma yang telah berlaku selama turun temurun. Namun jika dilihat lebih dekat keputusan ini justru melibatkan kesadaran yang tinggi.
Banyak orang yang memilih childfree didorong oleh keinginan memutus rantai trauma dalam keluarga. Trauma tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari pola pengasuhan, kekerasan emosional yang tidak disadari, atau luka masa kecil yang tidak pernah sembuh.
Trauma itu diwariskan dari orang tua, lalu dari kakek nenek, dan seterusnya. Ketika seseorang tumbuh dengan luka yang belum selesai, ada kemungkinan besar luka itu berpindah ke anak berikutnya.
Pasangan childfree menyadari hal ini. Mereka tahu bahwa jika luka dalam diri mereka belum benar benar sembuh, maka anak yang lahir berpotensi membawa beban yang sama. Dengan memutus siklus itu melalui keputusan tidak memiliki anak, mereka menghentikan warisan trauma pada generasi selanjutnya.
Dulu cara berpikir seperti ini sering dianggap aneh. Kini semakin banyak orang yang memahami bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab spiritual.
Di mata Lia, keputusan childfree bukanlah keputusan yang lahir dari keegoisan. Justru di balik pilihan itu terdapat empati yang besar.
Seseorang yang memilih childfree berani mengambil jalan yang berseberangan dengan standar sosial demi menghindarkan anak dari lingkungan emosional yang belum siap.
Banyak orang mengikuti standar pernikahan tanpa benar benar memeriksa kesiapan batin mereka. Mereka menikah, lalu memiliki anak, lalu berusaha menjadi orang tua tanpa fondasi emosional yang cukup kuat.
Dalam masyarakat kita, menjadi orang tua sering dianggap sebagai hal yang otomatis. Padahal menjadi orang tua adalah proses spiritual dan emosional yang memerlukan kesiapan besar.
Tidak semua orang punya kesempatan menyembuhkan luka masa kecilnya sebelum mengasuh anak. Namun norma sosial sering kali tidak memberi ruang untuk mempertanyakan kesiapan itu. Pasangan yang tidak ingin punya anak dinilai menyalahi aturan tidak tertulis yang telah diwariskan sejak lama.
Ironisnya, orang orang yang paling keras menghujat pasangan childfree sering kali adalah orang yang membawa luka pengasuhan yang belum terselesaikan. Mereka merasa keputusan memiliki anak adalah sebuah keharusan, padahal keputusan itu lahir dari tekanan sosial, bukan dari kesadaran diri.
Pola pengasuhan yang keras atau dingin dianggap wajar karena sudah berlangsung selama bertahun tahun dalam keluarga. Akibatnya luka yang sama berpindah ke generasi berikutnya tanpa ada jeda untuk menyembuhkan.
Masyarakat kita tumbuh dengan berbagai norma yang dianggap suci dan tak boleh diganggu gugat. Salah satunya adalah keyakinan bahwa pernikahan tanpa anak bukanlah pernikahan yang utuh. Norma seperti ini mempersempit ruang berpikir seseorang.
Norma membuat orang lebih takut pada penilaian masyarakat daripada takut melukai anak yang lahir dalam kondisi keluarga yang tidak sehat.
Ketika seseorang memutuskan childfree ia seolah menantang norma itu. Namun, tantangan tersebut bukan untuk melawan budaya, melainkan untuk mempertanyakan apakah norma tersebut masih relevan dan sehat.
Dalam banyak kasus norma dibangun oleh generasi yang tidak pernah menyembuhkan luka mereka sendiri. Mereka mempertahankan pola asuh yang keras, tetapi tetap merasa memiliki anak adalah kewajiban. Padahal kondisi seperti itu berisiko melahirkan generasi baru yang memikul trauma lama.
Childfree mungkin dianggap langkah ekstrem tetapi ia membuka percakapan penting mengenai bagaimana manusia harus menyadari masa lalu mereka.
Dengan keputusan childfree seseorang menarik garis tegas bahwa luka tidak boleh diwariskan lagi. Masyarakat boleh menghakimi tetapi mereka tidak menyadari beban emosional yang mungkin ditanggung oleh seseorang yang memilih jalan tersebut.
Membutuhkan Keutuhan
Esai ini tidak bermaksud mengajak siapa pun untuk memilih childfree. Setiap orang punya jalan masing masing dalam hidupnya. Namun keputusan childfree mengingatkan kita bahwa memiliki anak bukanlah sesuatu yang boleh diambil tanpa pertimbangan.
Anak bukan simbol kesempurnaan pernikahan. Anak bukan alat kebanggaan keluarga. Anak adalah jiwa yang membutuhkan pengasuhan yang penuh cinta, kesabaran, dan kehadiran emosional yang utuh.
Jika seseorang memiliki anak hanya untuk memenuhi standar masyarakat maka yang paling menderita adalah anak itu sendiri. Banyak orang tumbuh dengan beban yang seharusnya tidak mereka pikul.
Mereka menanggung kemarahan orang tua, rasa takut yang tidak bisa dijelaskan, atau rasa tidak layak yang sesungguhnya berasal dari luka generasi sebelumnya. Semua itu membuktikan bahwa keputusan memiliki anak seharusnya tidak diambil karena tekanan eksternal.
Childfree menawarkan perspektif sebaliknya. Perspektif bahwa tidak memiliki anak juga dapat menjadi bentuk kasih sayang. Bahwa seseorang memilih untuk menghentikan lingkaran penderitaan dan memberi waktu pada diri sendiri untuk menyembuhkan luka yang ada.
Trauma leluhur dan karma keluarga bukanlah konsep yang harus dipahami secara mistis. Dalam psikologi modern fenomena ini dikenal sebagai trauma antargenerasi. Luka bisa berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan tanpa kata kata.
Trauma hadir dalam cara seseorang berbicara, mengasuh, marah, atau bahkan mencintai. Kalau tidak ada yang menghentikan pola itu maka pola tersebut akan terus hidup.
Dalam konteks ini childfree dapat dilihat sebagai keputusan spiritual yang mendalam. Ia bukan sekadar pilihan gaya hidup. Ia adalah bentuk penolakan terhadap warisan luka. Sebagian orang memilih untuk menyembuhkan luka mereka sambil tetap membesarkan anak.
Sebagian lagi memilih tidak memiliki anak agar tidak ada lagi jiwa yang masuk ke dalam lingkaran itu. Keduanya sah. Yang penting adalah kesadaran diri dalam menjalani pilihan tersebut.
Childfree bukan tren dan bukan pula sikap melawan masyarakat. Ia adalah salah satu jalan hidup yang ditempuh sebagian orang. Jalan itu mungkin tidak mudah tetapi ia lahir dari refleksi yang dalam.
Apa pun pilihan seseorang baik memiliki anak maupun tidak yang terpenting adalah kesadaran. Pilihan harus lahir dari pemahaman diri bukan dari tekanan sosial. Pilihan harus datang dari keterbukaan hati bukan dari rasa takut dianggap berbeda.
Pada akhirnya perjalanan spiritual manusia bukan tentang mengikuti apa yang dianggap wajar oleh masyarakat. Perjalanan itu tentang keberanian memilih jalan yang paling sesuai dengan pertumbuhan jiwanya. Dan dalam hal ini childfree adalah salah satu cermin untuk melihat sejauh mana seseorang benar benar memahami dirinya. (*)


