Energi Bersih dan Terbarukan di Bali, Harga Mati atau Cuma Mimpi?

Penulis: Ayu Sulistyowati

Nusa Penida pernah diimpikan sebagai daerah di Bali yang kebutuhan energi listriknya dipenuhi dengan energi bersih dan terbarukan.

Alkisah,  18 tahun lalu di awal Desember 2007 itu Bali menjadi tuan rumah Kerangka Kerja Konvensi tentang Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).

Sebagai bagian dari keinginan untuk unjuk gigi, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Presiden saat itu membangun sembilan pembangkit listrik tenaga angin (berupa kincir angin). Kapasitasnya mencapau 735 kilowatt dan SBY meresmikan bersamaan menjadikan Nusa Penida sebagai Desa Wisata Energi.

Hanya setahun kemudian, tetap hanya satu pembangkit yang berfungsi dari sembilan pembangit. Hingga 2025 ini, kesemuanya benar-benar hanya menjadi monumen.

Di tahun 2024, ambisi baru bertiup di Nusa Penida. Seperti diberitakan Kompas.com pada 9 September 2024, IESR bersama Pemerintah Provinsi Bali menargetkan Nusa Penida 100 persen menggunakan energi terbarukan (EBT) 2030.

Komitmen itu diwujudkan melalu penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara IESR dengan mitra-mitra di sektor energi, di Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di Jakarta, 5 September 2024.

Mitra tersebut di antaranya PLN, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Asosiasi Energi Angin Indonesia, PT Bali Kerthi Development Fund Ventura.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan kapasitas EBT di Nusa Penida, akan terus ditingkatkan untuk menggeser Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Kebutuhan investasinya terdatat 100 juta dollar AS.

Hasil analisis IESR dan Center of Excellence Community Base Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana, Nusa Penida memiliki potensi kapasitas EBT ini lebih dari 3.219 MW (3,2 GW).

Peluncuran peta jalan Bali nol emisi di Bali - IST
Peluncuran peta jalan Bali nol emisi di Bali – IST

Ambisi untuk Bali

Langkah di Nusa Penida mengawali ambisi Bali untuk mencapai penggunaan energi bersih 100 persen di tahun 2045. Pada pertengahan Bulan Juli 2025, Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Koalisi Bali Emisi Nol Bersih dan Institute for Essential Services Reform (IESR), meluncurkan Peta Jalan Bali Emisi Nol 2045 untuk sektor tenaga listrik.

Investasi yang perlu dipersiapkan lebih dari Rp 20 triliun per tahun di tahap pertama (2026-2029) saja. Biaya ini baru untuk sosialsasi merealisasikan peta jalan ini mulus.

Dalam peta jalan ini terbagi menjadi empat tahap untuk meraih 100 persen EBT. Tahap pertama (2025-2029) merupakan persiapan akselerasi.

Tahap kedua (2030-2034) memasuki di antaranya penyiapan energi hingga infrastrukturnya. Tahap ketiga (2035-2039) menuju pertumbuhan mandiri dan tahap terakhir itu 100 persen terwujud.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Bali Ida Bagus Setiawan mengatakan ini merupakan ambisi Bali emisi nol 15 tahun lebih cepat dari target pusat di 2060.

Ada banyak alasan mengapa pertumbuhan energi dan khususnya energi terbarukan diperlukan di Bali dan nyaris menjadi harga mati.

Pasca pandemi 2022 hingga 2024, pertumbuhan sistem tenaga listrik Bali meningkat rata-rata 16,3 per tahun. Pertumbuhan ini naik dua kali lipat 10 tahun sebelumnya, 8 persen. Hal ini menjadi salah satu yang melatarbelakangi peta ini perlu disusun.

Beban puncak listrik 2024 di Bali, dinas mencatat 1.200 Megawatt (MW) dari kapasitas pembangkit yang tersedia saat ini 1.460 MW.

Pemakaian listrik puncak terjadi, berdasarkan Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Bali tercatat selama 10 jam hampir setiap hari mulai dari jam 10 pagi Wita.

Ketersediaan listrik ini pun disedot lebih dari 60 persennya memenuhi kebutuhan industri pariwisata, seperti bisnis hotel.

Kapasitas listrik yang tersedia berasal dari dominasi energi fosil 1.120 MW atau lebih dari 75 persennya, di antaranya pebangkit gas dari mayoritas Gardu Induk Pesanggaran 688 MW, pembangkit (PLTU) Celukan Bawang terdata 380 MW dengan usia 30 tahun berakir di 2045 sejak 2015.

Cadangan kelistrikan Bali di 2025 tercatat 23 persen yang idealnya minimal 35 persen dari kapasitas tersedia. Tipisnya cadangan ini , menurut Bagus Setiawan, yang menjadikan mimpi  agar tercapai cadangan lebih dari 35 persen dan itu ditargetkan dominasinya berasal dari energi surya.

Alasan lainnya adalah  pengalaman buruk di bulan Mei 2025 terjadi Bali “pet” listrik dan kembali “byar” setelah enam jam kemudian.

Gangguan SKLT Jawa-Bali diduga menjadi penyebab utama “pet-byar” alias blackout-nyala lagi ketika itu. Dan ini pernah terjadi beberapa kali, di antarnya 2005 dan 1997.

Untuk menjadikan mimpi ini menjadi kenyataan, dibutuhkan komitmen politik yang kuat. Sayangnya,  Gubernur Koster hanya akan mengawal hingga 2030 dimana  kekuasaanya sebagai Gubernur pada periode kedua berakhir.  Apakah setelah itu  hanya kembali jadi mimpi? ( kanalbali/KYB)

 

Apa Komentar Anda?