Flexing dan Jurang Sosial yang Kian Menganga

Ilustrasi flexing - Foto: Freestock.com
Ilustrasi flexing - Foto: Freestock.com

Penulis: Angga Wijaya

Flexing adalah kata yang belakangan ini akrab di telinga kita. Ia berasal dari bahasa Inggris yang berarti pamer atau mempertontonkan sesuatu.

Di era media sosial, istilah ini makin populer untuk menyebut perilaku orang yang suka memamerkan kekayaan, barang mewah, liburan ke luar negeri, atau gaya hidup glamor.

Sebenarnya pamer bukanlah hal baru. Sejak dulu manusia sudah punya kecenderungan untuk menunjukkan status sosial. Bedanya, dulu pamer hanya bisa disaksikan oleh tetangga, keluarga, atau lingkungan sekitar. Kini, dengan sekali unggah di Instagram atau TikTok, jutaan pasang mata bisa melihat dalam hitungan detik.

Fenomena flexing seringkali dianggap remeh, sekadar hiburan visual di layar ponsel. Namun jika kita perhatikan lebih dalam, flexing bukan hanya soal gaya hidup individu, melainkan juga cermin dari ketimpangan sosial yang semakin nyata di Indonesia.

Di satu sisi, ada pejabat dan artis yang sibuk menunjukkan kemewahan, di sisi lain ada rakyat kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Jurang inilah yang membuat flexing terasa mengganggu, bahkan berbahaya, karena berpotensi memicu kecemburuan sosial dan krisis kepercayaan terhadap institusi.

Media sosial telah menjelma panggung besar tempat orang menampilkan versi terbaik dirinya. Dari sekian banyak motivasi, flexing lahir dari kebutuhan akan validasi. Ada orang yang merasa lebih percaya diri ketika mendapat pujian atas barang mewahnya. Ada pula yang memanfaatkan flexing sebagai strategi branding, terutama kalangan artis dan influencer.

Mereka menjual gaya hidup, karena itulah yang laku di pasar pengikutnya. Flexing bisa dipandang sebagai mekanisme pemasaran, tapi juga tidak bisa dipisahkan dari hasrat gengsi dan ingin terlihat lebih tinggi dari orang lain.

Bagi publik, flexing bisa menimbulkan dua reaksi. Ada yang melihatnya sebagai inspirasi, bukti bahwa kesuksesan bisa diraih asal bekerja keras. Namun tidak sedikit yang justru merasa minder, tertekan, bahkan frustasi karena merasa hidupnya jauh dari standar kemewahan yang ditampilkan di layar. Perasaan ini berlapis, sebab sebagian besar flexing tidak menunjukkan realitas utuh.

Tidak jarang mobil mewah hanya hasil sewaan, tas branded hasil pinjaman, atau liburan mewah yang dibayar dengan utang. Namun citra tetaplah citra. Ia punya kekuatan untuk memengaruhi persepsi orang banyak.

Flexing oleh Pejabat Publik

Ketika flexing dilakukan oleh pejabat publik, masalahnya menjadi jauh lebih serius. Seorang artis mungkin berhak menggunakan hasil jerih payahnya untuk membeli apa pun yang ia mau, walau cara pamer tetap bisa diperdebatkan. Namun bagi pejabat, kemewahan yang dipamerkan kerap dianggap bersumber dari uang rakyat. Di tengah kondisi banyak warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, flexing pejabat bisa dilihat sebagai pengkhianatan terhadap amanah.

Beberapa waktu lalu, kita membaca berita tentang aksi penjarahan rumah beberapa anggota DPR saat terjadi kerusuhan. Fenomena ini memang kompleks dan tidak bisa hanya disebabkan oleh satu faktor. Namun ada benang merah yang jelas. Flexing yang dilakukan segelintir pejabat selama ini telah memperlebar jarak sosial antara penguasa dan rakyat.

Ketika amarah publik meledak, rumah-rumah mewah para wakil rakyat menjadi sasaran empuk. Dalam psikologi massa, simbol kemewahan itu berubah menjadi simbol penindasan. Masyarakat yang frustrasi merasa punya pembenaran untuk melampiaskan kekesalannya.

Ucapan kontroversial dari pejabat yang menyebut rakyat dengan istilah merendahkan, seperti “tolol sedunia”, hanya menjadi pemicu tambahan. Akar persoalannya jauh lebih dalam, yaitu jurang kaya miskin yang kian melebar. Flexing pejabat, baik dalam bentuk unggahan media sosial atau gaya hidup sehari-hari yang terlihat mencolok, menjadi bukti visual dari jurang itu. Ia tidak bisa dipisahkan dari krisis kepercayaan terhadap elit politik.

Sementara itu, di dunia hiburan, flexing artis menjadi tontonan sehari-hari. Tas seharga ratusan juta, mobil sport terbaru, pesta ulang tahun anak di hotel bintang lima, atau liburan eksklusif ke Eropa dan Amerika. Semua itu ditampilkan dengan penuh percaya diri. Penonton awam seringkali terhanyut, merasa hidup sederhana mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dunia artis.

Flexing artis secara tidak langsung menormalisasi gaya hidup semu. Seolah-olah kesuksesan harus ditunjukkan dengan barang mahal. Padahal, realitas di luar layar jauh berbeda. Mayoritas masyarakat Indonesia masih berjuang untuk mencukupi kebutuhan makan, pendidikan, dan kesehatan.

Flexing sebagai Kapital Simbolik

Dalam kerangka teori sosial, kita bisa meminjam gagasan Pierre Bourdieu tentang kapital simbolik. Flexing bukan sekadar pamer barang, melainkan juga upaya untuk menunjukkan dominasi kelas. Barang mewah adalah simbol status. Dengan memamerkannya, seseorang seakan berkata bahwa ia berada di kelas sosial yang lebih tinggi.

Di sinilah masalahnya. Ketika simbol-simbol itu ditampilkan secara berlebihan di tengah ketidakadilan struktural, publik tidak hanya melihatnya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai bentuk penindasan simbolik.

Flexing memperlihatkan jurang kaya miskin secara kasatmata. Di ruang publik digital, jurang itu seolah semakin nyata, bukan lagi sekadar data statistik. Bagi masyarakat yang merasa tertinggal, tayangan kemewahan itu bisa menimbulkan frustrasi. Pada titik tertentu, frustrasi bisa berubah menjadi amarah kolektif. Penjarahan rumah pejabat saat kerusuhan hanyalah salah satu contoh konkret. Ia menunjukkan bagaimana simbol kemewahan bisa menjadi pemicu ledakan sosial.

Pelajaran dari Flexing

Pertanyaannya, apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini?

Pertama, flexing bukanlah sekadar masalah individu. Ia adalah cermin dari ketidaksetaraan sosial yang makin parah di negeri ini. Selama ketimpangan pendapatan tidak diatasi, flexing akan selalu tampak menyakitkan bagi mereka yang berada di bawah.

Kedua, pejabat publik harus lebih berhati-hati dalam menampilkan gaya hidup. Bukan berarti mereka tidak boleh hidup nyaman, tetapi ada tanggung jawab moral untuk menjaga perasaan rakyat. Empati bisa diwujudkan dengan kesederhanaan, bukan dengan pamer kemewahan.

Ketiga, artis dan influencer sebaiknya lebih bijak dalam memilih apa yang mereka pamerkan. Flexing yang mendidik mungkin terdengar kontradiktif, tetapi bisa dilakukan. Misalnya, memamerkan proses kerja keras di balik pencapaian, berbagi pengalaman jatuh bangun, atau menunjukkan aksi solidaritas sosial. Dengan begitu, publik tidak hanya melihat hasil akhir berupa kemewahan, tetapi juga perjalanan yang inspiratif.

Keempat, masyarakat sendiri perlu lebih melek media. Tidak semua yang terlihat di media sosial adalah realitas. Banyak flexing yang hanya pencitraan. Jika kita bisa membangun kesadaran kritis, flexing tidak lagi membuat kita minder, melainkan bisa kita lihat sebagai panggung sandiwara. Edukasi media sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dari budaya pamer.

Akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa flexing di Indonesia bukanlah sekadar hiburan atau fenomena ringan di media sosial. Ia adalah gejala serius ketimpangan sosial yang makin nyata. Ketika jurang kaya dan miskin semakin lebar, flexing berubah menjadi bahan bakar yang menyulut api kecemburuan sosial. Ledakan kemarahan bisa terjadi kapan saja jika jurang itu terus dibiarkan.

Flexing pada akhirnya adalah panggung simbolik yang menyingkap luka lama bangsa ini. Selama flexing masih menjadi tontonan utama, selama kemewahan pejabat dan artis lebih sering dipertontonkan ketimbang empati dan solidaritas, jurang kaya-miskin akan terus terasa menganga. Dan jurang itu, cepat atau lambat, bisa menjadi bara yang meledak dalam bentuk krisis sosial. (*)

  • Penulis adalah penyair dan jurnalis tingggal di Denpasar, Bali
Apa Komentar Anda?