
DENPASAR, kanalbali. id – Susiawan, seorang pelukis senior akan menggelar pameran lukisan bertajuk ‘Sukma Painting’ mulai 28 Oktober mendatang di Tony Raka Gallery, Jalan Raya Mas, Ubud.
Ada sejumlah rahasia dibalik karya-karya seniman alumni Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Badnung (ITB) itu. Hal-hal yang melatarbelakangi gaya melukisnya yang cenderung mistis dan spiritualis dan jarang di temui pada karya pelukis lainnya.

Spiritualitas Berakar pada Kanda Pat
27 karya yang akan dipasang Susiwan itu berangkat dari pemahaman spiritualitas Kanda Pat, sebuah gagasan metafisis yang berkembang di Jawa dan Bali.
Susiawan adalah pelukis yang sudah bermukim di Bali sejak 2007. Sebelumnya, ia lama tinggal di Kanada bersama istrinya, Susan Allen. Pada 2020, Susiawan mulai mengerjakan karya-karya yang didasari penggalian “akar budaya spiritualisme lokal Hindu Jawa dan Bali”. Hasilnya adalah seri lukisan dan karya grafis bertema “Imaji Kanda Pat”.
Istilah “kanda pat” berarti “empat saudara”. Dalam kepercayaan tradisional Bali, kanda pat adalah empat saudara kandung mistis yang menemani setiap orang sejak dari dalam kandungan sampai meninggal dunia. Kanda pat juga dikenal di Jawa, tapi dengan nama lain, yakni ‘Sedulur Papat Lima Pancer’.
Ketika masih kecil, semasa tinggal di Solo, Jawa Tengah, Susiawan sudah mendengar tentang kanda pat dari lingkungan keluarganya. Di Bali, berpuluh-puluh tahun kemudian, Susiawan diperkenalkan lebih jauh dengan kanda pat oleh seorang rekannya.
Ia juga diantarkan ke sebuah pura yang dipersembahkan untuk kanda pat, yaitu Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengideran Dewata Nawa Sangha di Denpasar.

Melukis sebagai Meditasi
Susiawan mengakui, dalam proses berkesenian, ia menjadikan melukis sebagai upaya oleh spiritual seperti meditasi.
“Meditasi visual karena kekuatan garis warna dan gambar saya jadikan laku meditasi saya. Dalam prosesnya saya menggunakan gambar, saya merasa menyatu dengan ekspresi spiritual sehingga saya meniadakan batasan teknis dalam melukis,” ungkapnya, Selasa (25/10).
“Setiap mengawali proses berkarya, saya bersujud mengucapkan terima kasih yang dalam terhadap kuasa Tuhan Yang Esa, terhadap perjuangan sang bunda, terhadap dukungan sang Kanda Pat, terhadap Semesta, sehingga saya selamat dan rahayu. Ritual meditasi visual yang sangat sederhana ini menghantarkan saya ke keheningan yang damai dalam sapuan spontan kuas yang cepat dengan warna-warna yang tersedia,” tuturnya.
Garis dan warna merupakan unsur inti dari lukisan Susiawan. Bidang lukisan Susiawan berselubung serat garis dan warna yang dianyam secara intuitif mengikuti gerak jiwa. Serat garis dan warna mengalun ekspresif sekaligus ritmis dan meditatif. Menjelmakan suatu dunia yang bersahaja, tapi merebakkan aura misteri dan enigma.

Unsur Tradisi Bali
Susiawan tampak banyak menyerap unsur-unsur tradisi spiritual Bali ke dalam kerja seninya yang berorientasi spiritual. Seri lukisan “Imaji Kanda Pat” didominasi warna merah, hitam dan putih. Tiga warna tersebut mengingatkan pada warna gelang benang yang bermakna religius dan biasa dikenakan di pergelangan tangan kanan pemeluk agama Hindu-Bali.
Gelang triwarna ini dikenal dengan nama “Tridatu”. Warna gelang Tridatu melambangkan Tuhan dalam tiga manifestasinya, yaitu Dewa Brahma (merah), Dewa Wisnu (hitam), dan Dewa Siwa (putih). Gelang Tridatu juga menyimbolkan tiga fase kehidupan, yaitu lahir, hidup, dan mati.
Unsur visual yang juga tampil mencolok pada lukisan-lukisan Susiawan adalah pola-pola melingkar serupa pusaran arus. Pola-pola melingkar ini seperti mengisyaratkan tahap awal terbentuknya simbol sakral atau simbol mistis berbasis lingkaran yang biasa didapati dalam berbagai tradisi spiritual.
Garis-garis lengkung seakan menari kesurupan pada bidang lukisan Susiawan. Ruang terasa menggeliat hidup oleh ayunan maupun hempasan gelombang-gelombang energi. Tarian garis juga sering membentuk formasi yang sayup-sayup menggemakan karakter aksara Bali.
Guratan garis kaligrafis pada lukisan Susiawan terlihat seperti prototipe tulisan suci atau tulisan mistis dalam tradisi spiritual Bali. Di Bali, aksara memiliki kedudukan penting di dunia spiritualisme. Penekun spiritualisme seperti pendeta dan balian kerap memanfaatkan aksara untuk sarana penyembuhan, pelindungan, pemberdayaan, dsb. Pengguratan aksara untuk tujuan spiritual terdapat dalam praktik pembuatan jimat rajah maupun peneraan simbol suku kata mistis pada tubuh manusia.
Melawan Dominasi Kapitalisme
Proses Susiawan dalam berkesenian merupakan upaya melawan dominasi Barat atas komodifikasi seni yang begitu kapitalis tapi kering unsur spiritual.
Arief Bagus Prasetyo yang menjadi kurator pameran mengatakan, pada fajar modernisme seni di Eropa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, spiritualitas menduduki tempat penting dalam sejarah seni rupa. Spiritualitas berada di jantung modernisme.
Gagasan mistis banyak meresapi karya para perupa modernis ternama seperti Kandinsky, Malevich, Mondrian, Miro, dan Klee. Seiring perjalanan modernisme, terutama setelah kedatangan pascamodernisme, spiritualitas menjadi tersingkirkan dari lembaran sejarah seni rupa.
Seni rupa Susiawan merupakan bagian dari arus kontemporer yang mencari jalan baru ke terciptanya kehidupan lebih baik di tengah keresahan global akibat mimpi buruk kapitalisme, perang, wabah, perubahan iklim, dsb. Beririsan dengan pengalaman mistis, “lukisan sukma” Susiawan menawarkan oasis penyembuhan di tengah gurun gering kehidupan kontemporer.
Menariknya pada masa mahasiswa, Susiawan pun dididik dengan seni rupa barat yang mengabaikan spiritualitas. Logika dan rasionalitas menjadi acuan utamanya. Kini semua itu telah dilupakannya dan dimana pun dia berada di Indonesia selalu lebih menghargai akar tradisi yang bernuansa spiritualitas.
(Kanalbali/WIB)
Be the first to comment