Kedubes Inggris Dorong Kaum Difabel Manfaatkan Teknologi

Ginny Ferson selaku Ketua Divisi Ekonomi dan Digital Kedutaan Inggris - ACH

DENPASAR- Nicky Claraentia Pratiwi selaku Chief Operating Officer (COO) Thisable Jakarta Pusat menerangkan, bahwa penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 21 juta orang tetapi yang sudah berdaya atau bekerja hanya 1 hingga 5 persen.

“Kalau dari data Bappenas tahun 2018, jumlahnya penyandang disabilitas itu sekitar 21 juta atau 8,56 persen. Ironisnya, sekitar 1 atau 5 persen mungkin peyandang disabilitas itu yang sudah bekerja atau pun berdaya,” kata Nicky saat ditemui di acara “Tech To Impact, di Sanur, Bali, Senin (24/2).

Ia juga menyampaikan, sementara untuk usia produktif orang-orang disabilitas Indonesia sekitar 3,7 atau 3,8 persen. Namun, yang baru berdaya baru sekitar 10 persen yang baru memiliki kerja ataupun berdaya.

Menurutnya, masih banyaknya para disabilitas tidak diberdayakan karena adanya Gap dan juga terbatasnya skill yang dibutuhkan perusahaan. Namun, saat ini hal itu bisa diatasi karena adanya peluang di bidang IT yang bisa diisi orang-orang disablitas.

“Skillnya ini yang memang dibutuhkan oleh market. Sekarang itu, kebutuhan permintaan dibidang IT itu banyak jadi memang dibutuhkan sinergi dari berbagai instansi, khususnya instansi pemerintah yang memberikan perhatian untuk memulai berpikir mengenai pemberihan latihan dalam bidang IT teman-teman disabilitas,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan, untuk para disablitas selama ini bekerja di bidang yang sesuai dengan culture di daerahnya. Seperti di Jakarta dibidang vokasi yang bermitra dengan go life dan ada juga bekerja secara profesional di sebuah perusahaan.

Suasana seminar di Sanur, Denpasar = KAD

Kemudian, untuk di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat rata-rata bekerja menjadi buruh pabrik. Sedangkan, untuk dikawasan Jawa Timur seperti Malang dan Tuban, selain itu juga Bali serta di Indonesia Timur di bidang industri kreatif.

“Jadi kita harus paham kira-kira kekuatan dari sebuah daerah itu apa untuk memberdayakan teman-teman disabilitas dan itu kaitannya dengan peningkatan skill yang kita berikan,” ujar.

“Kalau di Semarang kita akan lebih meningkatkan skill call center karena rata-rata call center itu bukan di Jakarta tapi ada di Semarang dan Jogja. Jadi teman-teman disabilitas bisa bekerja di situ. Karena setiap daerah itu punya ke arifan lokal masing-masing,” ujar Nicky.

Sementara ditempat yang sama, Ginny Ferson selaku Ketua Divisi Ekonomi dan Digital Kedutaan Inggris menyampaikan dengan adanya seminar “Tech To Impact,” untuk pengusaha perempuan dan kelompok penyandang cacat dalam beberapa tahun terakhir ini bisa mendorong pemberdayaan masyarakat terutama bagi disablitas.

Ia juga mengatakan, sebagai pusat teknologi digital terbesar di eropa, Inggris adalah rumah bagi lebih dari 600 ribu perusahaan rintisan digital dan 70 unicorn yang menjadikan Inggris sebagai mitra strategis bagi Indonesia untuk mengembangkan perusaahan rintisan digital diberbagai bidang seperti pendidikan, keuangan, dan kecerdasan buatan.

“Melalui tech to impact, inclusion, improvement and collaboration. Kami ingin mendorong pemberdayaan masyarakat, terutama bagi
perempuan dan kelompok terabaikan untuk dapat memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya,” ujarnya.

“Karena teknologi memiliki kekuatan yang memberikan solusi, inovatif, terjangkau dan mudah untuk direplikasi, dalam penanggulangan masalah pembangunan global,” sambung Ginny.

Ia juga menyampaikan, pada tahun 2019, perusahaan teknologi Inggris mendatangkan investasi sekitar 5,5 miliar poundsterling dan berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi untuk startup di bidang pendidikan, keuangan, industri ramah lingkungan.

“Banyak peluang kerjasama untuk teknologi ramah lingkungan. Kemajuan digitalisasi yang pesat di Indonesia menjadi potensi sebagi negara dengan ekosistem paling aktif di dunia. Kami percaya Indonesia dapat memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital,” jelasnya.

“Kami ingin bantu mengembangkan kemampuan ketrampilan digital bagi perempuan dan disabilitas agar mereka mendapat pengetahuan dan akses yang sama. Kami mengerti terkadang kelompok ini kurang mendapat perhatian dan akses yang cukup,” ujar Ginny. (*).

Apa Komentar Anda?