
DENPASAR, kanalbali.id – Ogoh-ogoh setinggi delapan meter yang digarap oleh kelompok pemuda atau Seke Truna (ST) Cantika, dari Banjar Sedana Mertha, Kelurahan Ubung, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali, menjadi juara satu di Kecamatan Denpasar Utara, dengan tema atau judul Laksmi-Alaksmi.
Ogoh-ogoh ini, memperlihatkan dua karakter utama Dewi Laksmi yang digambarkan dengan cantik dan anggun dan karakter kedua atau dibawahnya yang melambangkan sifat buruk Dewi Laksmi.
“Kalau untuk judulnya ini Laskmi dan Alaksmi, filosofinya antara gelap dan terang atau kebaikan dan keburukan,” kata I Nyoman Darsana selaku perancang kontruksi Ogoh-ogoh Laksmi-Alaksmi, saat ditemui di Parade Ogoh-ogoh, Kasanga Fest 2024, di Lapangan Puputan Badung, Kota Denpasar, Jumat (1/3).
Nyoman Darsana atau dikenal Mang Chuplis mengatakan, untuk tahun ini ogoh-ogoh yang dibuat dirinya menjadi dua karakter. Karena, di tahun sebelumnya 2023, ST Cantika juga meraih juara satu dalam Kasanga Festival di tingkat Kecamatan Denpasar Utara.
BACA JUGA: Dihiasi Lukisan Pokemon, Pesawat Garuda Tampil Beda di Bandara I Gusti Ngurah Rai
“Jadi, ogoh-ogoh ini berbeda dari tahun sebelumnya karena sebelumnya cuma satu karakter untuk tahun sekarang saya kembangkan untuk menjadi dua karakter,” imbuhnya.
Selain itu, keunikan Ogoh-ogoh Laksmi-Alasmi ini adalah bisa bergerak dan melambung tinggi dengan menggunakan sistem hidrolik yang dirancang dengan baik.
“Jadi pergerakannya hanya pindah posisi saja dari yang belakang pindah ke depan, yang jongkok pindah lagi posisinya. Jadi, ogoh-ogoh ini dia bisa pinda posisi menggunakan hidrolik,” ungkapnya.
Sementara, pembuatan Ogoh-ogoh tersebut sekitar dua bulan dari awal Desember 2023 hingga hingga Januari 2024 dan mengabiskan dana sekitar Rp 70 juta.
“Kurang lebih dua bulan dari Desember awal 2023 hingga Januari. Kalau biaya hampir Rp 70 juta itu mulai dari konsumsi dan paling banyak menghabiskan (dananya) adalah menggunakan hidrolik dan bagian kontruksi yang dari besi,” ujarnya.
Selain itu, bahan yang digunakan dari pembuatan ogoh-ogoh ialah bahan ramah lingkungan atau bahan daur ulang. Seperti sisa anyaman bambu, sisa kertas atau koran bekas yang dilapisi dengan kornis untuk bentuk tubuh ogoh-ogoh.
“Bahannya saya pakai ramah lingkungan. Ada bahan daur ulang, anyaman bambu itu dari bentuk dasar nanti pakai kertas habis itu baru diberi kornis untuk finishingnya. Sebenarnya, di sini yang saya patenkan dari segi kontruksi karena ogoh-ogoh ini menggunakan hidrolik jadi otomatis kontruksi benar-benar sempurna sama paten. Soalnya ogoh-ogoh ini bisa tinggi sampai delapan meter,” ujarnya.
Sementara, untuk makna Ogoh-ogoh Laksmi-Alaksmi adalah melambangkan sebuah kemakmuran,”Harapan saya untuk tahun ini bisa masuk ke juara satu di Kota Denpasar, yang sebelumnya kan cuma juara satu se-kecamatan,” ujarnya.
Sementara, di tempat yang sama yang tak kalah menarik adalah Ogoh-ogoh dari ST. Eka Pramana dari Banjar Mertha Rauh, Desa Dangin Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Utara, yang menampilkan Ogoh-ogoh dengan tema Sura Kasuran. Ogoh-ogoh ini berhasil meraih nominasi juara tiga di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar.
Konsep ogoh-ogoh ini merupakan cerita filosofis, yaitu kisah Sura Kasuran merupakan bagian dari sapta timira atau tujuh kegelapan dan kejahatan bagi umat manusia.
“Ini maknanya tujuh kejahatan yang paling besar dari seorang manusia,” kata Made Risky selaku anggota ST. Eka Pramana.
Ogoh-ogoh dengan tinggi sekitar empat meter ini, menampilkan banyak karakter. Yaitu, menggambarkan sosok raja yang dikelilingi tiga sosok di kanan dan kiri serta belakang sebagai tiga contoh dalam tujuh sifat buruk, yaitu kebimbangan akan kekayaan, ilmu dan ketampanan.
Sementara, dibawahnya terlihat seorang rakyat yang terinjak-injak yang menggambarkan seorang raja yang sombong atau angkuh dan tak bisa melindungi rakyatnya,”Karena raja terlalu jahat maka dia ingin membunuh (rakyatnya),” ujarnya.
Risky juga menerangkan, bahwa untuk bahan-bahan Ogoh-ogoh Sura Kasuran adalah bahan yang ramah lingkungan menggunakan tisu, kayu, bambu dan untuk kontruksinya adalah besi dan mereka tidak menggunakan bahan styrofoam gabus.
“Ada dari bahan bekas juga memang konsep yang digunakan seperti itu untuk bahan ramah lingkungan. Kalau dulu gabus dan styrofoam sekarang tidak, karena bekasnya kan tidak bisa dipakai lagi, kalau ini bambu masih bisa walaupun sisa-sisa,” ujarnya.
Ia menyebutkan, bahwa pembuatan ogoh-ogoh sudah dilakukan sejak 2,5 bulan dan untuk biaya mengabiskan sekitar Rp 35 juta.
“Harapannya iya hanya ikut berpatisipasi karena baru pertamakali sih. Baru belajar, sama-sama belajar tidak ada target apa-apa. Kita sudah juara tiga untuk Denpasar Utara,” ujarnya.
Perlu diketahui, pementasan ogoh-ogoh dalam kegiatan bertajuk Kasanga Festival yang diadakan setiap menjelang Hari Nyepi dan menampilkan 12 ogoh-ogoh yang menang di empat Kecamatan di Kota Denpasar dan juga turut melombakan kembali ogoh-ogoh tersebut di tingkat Kota Denpasar. (kanalbali/KAD)
Be the first to comment