LSF Sosialisasikan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Bali

DENPASAR, kanalbali.id – Lembaga Sensor Film (LSF) menyadari,  untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak negatif film dan iklan film, tidak cukup hanya dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

“Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan dan pengetahuan terhadap film dan iklan film melalui penguatan fungsi literasi. Sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya,” kata Noorca M. Massardi, selaku Wakil Ketua LSF RI, Kamis (7/11/2024) di Aston Kuta Hotel & Residence Jalan Wana Segara, Kuta Bali,

Literasi ini diwujudkan dalam bentuk pemasyarakatan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM).

Noorca menyampaikan LSF melakukan sosialisasi sudah lebih dari 5 tahun, pentingnya sensor film sebagai amanah Undang-undang, Nomor 33 2009 perfilman, karena film sangat berpengaruh besar terhadap perubahan dan peradaban budaya.

LSF dan KPI sangat berperan penting dalam melindungi dari dampak negatif film, sebagai yang kita ketahui film juga sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa.

Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indinesia (KPI) memiliki tugas yang beririsan, Lembaga Sensor Film bertugas meneliti, menilai dan menetapkan maka KPI melakukan pengawasan tayangan yang sedang tayang baik di televisi maupun radio.

LSF juga sudah melakukan lebih dari 120 kota dalam gerakan nasional budaya sensor mandiri (GNBSM), dan berharap gerakan ini dapat menjangkau lebih luas masyarakat dalam mensosialisasikan budaya sensor mandiri.

PJ Gurbernur Bali yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof . Dr. I Gede Arya Sugiartha, S,Kar., M.Hum. menyatakan,  penyensoran film merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009, dimana setiap produk khususnya film, yang beredar di masyarakat wajib tersetifikasi lulus edar dari lembaga berwenang, dalam hal ini Lembaga Sensor Film (LFS) RI.

“Kita semua menyadari bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan lulus sertifikasi sensor, untuk itu publik perlu mendapatkan edukasi perfilman secara inklusi, melalui penguatan fungsi literasi media, sehingga memiliki kepekaan dan kesadaran untuk memilih dan memilah film sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya,” katanya

Ketua Komisi II LSF Dr. Ervan Ismail, M.Si, Menjelaskan, Film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin. Negara bertanggung jawab memajukan perfilman. Film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional.

Oleh karena itu perlu dikembangkan dan dilindungi. Film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari konten negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa.(kanalbali/RLS)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.