
Penulis: Benny K. Harman
Tanggal 9 September 2025 menjadi hari yang penuh makna. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pendiri Partai Demokrat merayakan ulang tahunnya yang ke-76 bertepatan dengan HUT Partai Demokrat ke-24.
Namun, yang paling istimewa di acara HUT kali ini bukan perayaannyaa, melainkan sebuah karya seni yang lahir dari tangan beliau sendiri: sebuah lukisan kapal berlayar di lautan luas.
Momen itu menyentuh hati banyak kader dan undangan yang hadir. Saya yang duduk di barisan depan bersama kader2 utama lainnya mengira-ngira apa makna dan pesan lukisan tersebut.
Utk Kader, Partai, dan untuk negeri. SBY, seorang mantan presiden sekaligus seniman, memilih bahasa visual untuk menyampaikan pesan politik dan moral kepada kader2nya.
Sebuah kapal yang mengarungi lautan luas, di tengah ombak dan terpaan angin, menjadi simbol perjalanan panjang bangsa dan partai yang ia dirikan.
Makna dan pesan apa yang ingin beliau titipkan melalui lukisannya kepada para kader Demokrat, dan sekaligus kepada bangsa Indonesia?
Pertama, Kapal sebagai Simbol Perjalanan. Sejak dahulu kala, kapal melambangkan perjalanan, keberanian, dan keteguhan hati. Laut adalah ruang yang penuh ketidakpastian: tenang di satu saat, bergelora di saat lain. Begitu pula perjalanan politik bangsa dan partai.
Ada masa ketika angin bertiup searah, layar terbentang indah, dan kapal melaju kencang. Ada pula masa ketika badai menghadang, gelombang mengguncang, dan kapal seolah ingin karam.
Ketika SBY memilih melukis kapal, seolah ia ingin mengingatkan bahwa Demokrat adalah kapal besar yang sudah berlayar sejak tahun 2001, menembus gelombang reformasi, melewati pasang surut kepercayaan, hingga hari ini mampu bertahan selama 24 tahun.
Kapal itu mungkin pernah oleng, bahkan pernah dirompak, tapi tetap tegak, karena ada awak yang setia menjaga arah. Ada Ketum partai yang memimpin dan sukses dari badai.
Kedua, Lautan Luas adalah Metafora Bangsa dan Demokrasi. Lautan dalam lukisan SBY bisa ditafsirkan sebagai metafora untuk Indonesia sendiri: sebuah negara kepulauan yang terbentang luas, penuh potensi sekaligus tantangan.
Gelombang lautan adalah simbol dari krisis yang datang silih berganti: krisis ekonomi, korupsi, konflik politik, hingga persoalan lingkungan hidup.
Namun, lautan juga melambangkan ruang harapan. Di atas ombak, kapal tidak hanya diuji, tetapi juga ditempa. Ombak yang besar justru melatih awak kapal untuk lebih sigap, lebih kompak, dan lebih tabah.
Pesan SBY di sini jelas: Demokrat harus siap menjadi kapal yang kokoh, yang tak mudah karam diterpa badai politik, dan terus berlayar menuju dermaga cita-cita bangsa.
Ketiga, Nahkoda dan Awak: Solidaritas Kader atau togetherness atau kebersamaan. Setiap kapal butuh nahkoda, tapi kapal tidak akan pernah berlayar tanpa awak.
Lukisan itu mengingatkan bahwa kepemimpinan dan kebersamaan adalah kunci. Sehebat apa pun seorang nakhoda, ia tidak akan sampai ke tujuan tanpa awak yang solid, kompak, dan setia.
Bagi Demokrat, hal ini relevan. Selama 24 tahun, partai ini mengalami berbagai ujian: dari kemenangan besar pada 2009 hingga pasang surut perolehan suara dalam pemilu berikutnya.
Solidaritas kader sering diuji oleh godaan kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan. Pesan lukisan itu seakan berkata: jangan biarkan kapal ini pecah oleh ego dan kepentingan pribadi.
Keempat, Kapal dan Kompas.Menjaga Arah Perjuangan. Laut luas selalu menuntut kejelasan arah. Kapal yang berlayar tanpa kompas akan terombang-ambing, tersesat, bahkan tenggelam. Dalam konteks partai Demokrat, kompas itu adalah ideologi dan nilai dasar.
SBY sejak awal mendirikan Demokrat dengan filosofi nasionalis-religius, berpijak pada semangat demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan. Lukisan kapal dengan layar yang tegak menandai pesan bahwa Demokrat tidak boleh kehilangan arah kompas ideologisnya.
Gelombang kepentingan sesaat boleh menggoyang, tapi arah perjuangan harus tetap menuju cita-cita: mewujudkan Indonesia yang demokratis, adil, dan sejahtera.
Kelima, Lautan sebagai Ruang Kompetisi Politik. Selain melambangkan tantangan, lautan juga identik dengan ruang perebutan jalur perdagangan, sumber daya, dan dominasi. Di era politik modern, laut bisa dibaca sebagai panggung kompetisi politik yang luas, penuh manuver, dan tak jarang penuh intrik.
Di sinilah pesan lukisan SBY terasa kuat: Demokrat sebagai partai politik atau perkakasnya rakyat harus berani bersaing di lautan politik nasional, tanpa kehilangan jati diri, tanpa tergoda untuk sekadar menjadi pengikut arus besar oligarki kekuasaan. Kapal besar yang ia lukis bukan kapal yang mengikuti ombak, tetapi kapal yang membelah ombak menuju pelabuhan harapan.
Keenam, Resonansi dengan Perjuangan Demokrasi. SBY dikenal sebagai tokoh yang konsisten mengusung demokrasi, sejak era reformasi hingga kini. Dalam banyak kesempatan ia menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus dijaga dari ancaman oligarki, politik uang, dan otoritarianisme.
Dengan melukis kapal yang berlayar di tengah lautan luas, ia seolah ingin menegaskan bahwa perjuangan menjaga demokrasi tidak mudah. Ada gelombang besar—berupa godaan kekuasaan absolut, praktik korupsi, dan pelemahan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi justru di tengah ombak itulah, kekuatan sejati partai dan bangsa diuji.
Lantas adakah Pesan Moral untuk Kader Demokrat dari lukisan tersebut? Sangat Clear. Bagi para kader Partai Demokrat yang menyaksikan langsung proses melukis itu baik langsung maupun online, pesan simbolisnya amat jelas: Pertama, Jadilah awak kapal yang tangguh.
Jangan mudah goyah oleh badai politik. Kedua, Ikuti kompas nilai dan prinsip partai. Tanpa arah, kapal akan tersesat. Ketiga,Jaga solidaritas atau kebersamaan. Kapal hanya bisa berlayar bila semua awak bekerja sama, bukan saling menjatuhkan. Keempat, Terus berlayar. Walau perjalanan penuh tantangan, jangan pernah berhenti di tengah jalan.
Usia 24 tahun adalah fase kedewasaan bagi sebuah partai politik. Bagi Demokrat, ini momentum utk sedikit kontemplasi dan refleksi: apa yang sudah dicapai, apa yang perlu diperbaiki, dan ke mana arah perjuangan dibawa. Quo vadis?
Lukisan kapal SBY di tengah perayaan ini jelas memberi energi moral: bahwa Demokrat adalah rumah bersama, kapal besar yang harus menyeberangi lautan menuju cita-cita reformasi dan demokrasi. Kader diajak kembali pada akar, back to basic: menjadi partai tengah yang menjaga keseimbangan, mengutamakan kepentingan rakyat, menegakkan demokrasi dn negara hukum.
Bagi SBY sendiri, usia 76 adalah usia kontemplasi. Melukis menjadi caranya merenungkan hidup, mengenang perjalanan panjang, sekaligus menitipkan pesan. Kapal yang ia goreskan di kanvas adalah autobiografi simbolik: perjalanan seorang anak desa di Pacitan yang mengarungi lautan kehidupan, jatuh bangun, hingga akhirnya menggapai puncak sebagai Presiden RI ke-6.
Di usia senja, Pak SBY tidak berhenti berkarya, justru terus menyampaikan pesan melalui seni dan budaya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya lewat pidato dan kebijakan, tetapi juga melalui simbol dan karya seni yang membangkitkan inspirasi.
Apa arti lukisan itu bagi bangsa Indonesia. Saya kira, ia mengajarkan tiga hal.
Pertama, Demokrasi adalah pelayaran panjang. Bukan jalan singkat, melainkan lautan dengan ombak dan badai. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan untuk tetap berada di jalurnya.
Kedua, Kepemimpinan adalah soal arah. Tanpa kompas nilai, bangsa akan terombang-ambing. Kompas itu adalah Pancasila dan UUD 1945, yang menuntun kita menjaga persatuan dalam perbedaan.
Ketiga, Solidaritas atau kebersamaan adalah kunci. Sebesar apa pun kapal bernama Indonesia, ia akan karam menjadi the failed state jika para awaknya sibuk berkelahi sendiri.
Bagi saya pribadi, lukisan kapal berlayar di lautan luas yang dipersembahkan SBY di hari ulang tahunnya bukanlah sekadar karya seni. Ia adalah refleksi, doa, harapan, sekaligus pesan politik.
Bagi kader Demokrat, lukisan itu adalah ajakan untuk menjaga kapal partai agar terus berlayar, tidak menyerah pada ombak, dan tetap setia pada kompas perjuangan. Bagi bangsa Indonesia, ia adalah pengingat bahwa demokrasi adalah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, kebersamaan, dan kepemimpinan yang bijak.
Di usia 76 tahun, SBY hendak mengingatkan kita bahwa pemimpin sejati tidak pernah benar-benar berhenti berlayar. Mereka mungkin menepi sejenak, menatap cakrawala, melukis ombak dan layar, tapi di lubuk hati mereka tetap menyalakan api perjuangan.
Dan mungkin itulah pesan terdalam lukisan itu: Indonesia, seperti kapal besar di tengah samudera, harus terus berlayar—dengan kompas nilai yaitu Pancasila dan UUD 1945, solidaritas para tokoh, dan nahkoda yang setia. Jangan pernah berhenti, karena pelabuhan harapan ada di depan mata. ( kanalbali/IST )
- Penulis adalah Wakil Ketua Umum Partai Demokrat dan Anggota DPR RI