
ANJING buang kotoran sembarangan sempat dikabarkan bisa dicegah dengan menaruh botol merah alias botol berisi cairan merah. Ternyata cara itu gagal menangkal anjing.
Fakatnya, praktik menaruh botol berisi air untuk menghalau hewan memang bukan hal baru. Di Jepang, misalnya, sejak awal 1990-an tren “water bottle pet repellent” dipakai untuk mencegah kucing kencing di taman atau halaman rumah.
Di Amerika Latin pun sempat populer. Meski akhirnya dianggap “urban myth”, ia telanjur menyebar ke berbagai negara. Di Bali, warna merah memberi dimensi baru. Bagi sebagian orang, merah dianggap “berani” atau “angker” sehingga lebih “ditakuti” anjing.
Secara ilmiah, anjing tidak melihat warna merah sejelas manusia. Penelitian menunjukkan anjing memiliki penglihatan dikromatik; mereka lebih peka pada biru dan kuning, sedangkan merah dan hijau tampak sebagai gradasi keabu-abuan.
Indera utama anjing adalah penciuman dan pendengaran, bukan penglihatan warna. Jika ada botol berisi air merah, anjing mungkin sekadar mengendus sebentar lalu pergi, atau justru tidak peduli sama sekali.
Uji coba di Jepang pada awal 2000-an menunjukkan bahwa kucing tetap kencing di area yang dipasangi botol air. Artinya, tidak ada bukti ilmiah kuat bahwa botol air — apalagi berwarna merah — efektif mencegah anjing buang air sembarangan.
“Kalau setelah taruh botol lalu anjingnya jarang datang, orang merasa itu berhasil. Padahal bisa jadi kebetulan saja,” kata seorang dokter hewan di Denpasar.
Mengapa Tetap Dipakai?
Jawabannya sederhana, yakni, murah, mudah, dan “mujarab” menurut pengalaman pribadi. Faktor psikologis seperti bias konfirmasi ikut berperan.
Ketika seseorang percaya sesuatu akan berhasil, ia lebih mudah mengingat kejadian yang mendukung keyakinannya dan melupakan yang bertentangan. Selain itu, botol merah memberi kesan ada “penghalang” sehingga orang (dan mungkin pemilik anjing) enggan mendekat.
Ada pula faktor budaya. Warna merah di Bali identik dengan keberanian dan energi. Dalam konteks religius, merah kerap digunakan dalam upacara tertentu. Warna ini mungkin memberi aura “larangan” meskipun ditujukan untuk hewan.
Fenomena botol merah menciptakan wajah baru pada ruang publik Denpasar, Badung, dan Gianyar. Di satu sisi, warga merasa lebih berdaya menjaga kebersihan lingkungan.
Di sisi lain, deretan botol bekas memberi kesan semrawut pada trotoar dan halaman. Jika tidak dikelola, botol-botol ini sendiri bisa menjadi sampah plastik tambahan ketika sudah usang.
Pemerintah kota dan kabupaten sebenarnya memiliki program pengelolaan anjing liar dan kampanye “Bali Clean and Green”. Namun, implementasi di lapangan kerap tidak sejalan dengan kebutuhan warga sehari-hari.
Fenomena botol merah menunjukkan bagaimana masyarakat mencari solusi sendiri di luar kebijakan formal.
Solusi Alternatif yang Lebih Efektif
Jika tujuan utamanya adalah mencegah anjing buang air sembarangan, pakar menyarankan pendekatan yang lebih berbasis perilaku dan bau, bukan warna.
- Dialog dengan pemilik anjing: pasang papan pengingat atau ajak bicara tetangga agar membawa anjingnya dengan tali dan membersihkan kotorannya.
- Penghalang fisik: pasang pagar rendah, pagar tanaman, atau pot bunga berderet di titik yang sering jadi “toilet” anjing.
- Repelan berbasis bau: gunakan cuka encer, kulit jeruk, atau repelan komersial yang aman untuk hewan.
- Sprinkler sensor gerak: pemasangan sprinkler otomatis yang aktif saat ada gerakan bisa mengusir anjing dengan cara ramah — hanya percikan air tanpa menyakiti.
- Manajemen lingkungan: pastikan tidak ada sisa makanan atau sampah di area yang menarik anjing.
- Program komunitas: dorong kelurahan atau banjar bekerja sama dengan dinas terkait untuk sterilisasi, vaksinasi, dan pengelolaan anjing liar. (kanalbali/AWJ)