Perkuat Pertanian, Pakar Unwar Sebut Jangan Alergi Bioteknologi

Pertanian padi masih mendominasi lahan i Desa Babahan, Penebel, Tabanan, Bali - NWA

DENPASAR, kanalbali.id –  Inovasi bioteknologi ramah lingkungan atau bioteknologi hijau dipandang sebagai solusi strategis dan revolusioner untuk mencapai ketahanan pangan nasional dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan di Indonesia.

“Adopsi bioteknologi di lapangan masih menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu kendala utama adalah penolakan dari sebagian masyarakat dan petani,” kata Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si., akademisi dari Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi (FPST), Universitas Warmadewa (Unwar), Sabtu (4/10/2025).

“Penolakan ini sering kali berakar pada kurangnya pemahaman yang memadai. Ada kekhawatiran dan persepsi negatif yang menyamaratakan seluruh bioteknologi dengan isu GMO (Genetically Modified Organism), padahal cakupan bioteknologi hijau jauh lebih luas, termasuk pengembangan pupuk hayati dan benih unggul non-rekayasa genetik,” paparnya  dalam seminar nasional bertema “Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Yang berkelanjutan.

Muliarta menjelaskan bahwa bioteknologi ramah lingkungan bukan sekadar istilah akademis, tetapi merupakan serangkaian aplikasi produk hayati dan teknologi proses yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada input kimia sintetis.

“Fokus utama kita adalah meningkatkan kesuburan tanah dan biodiversitas mikroba tanah, yang pada akhirnya menciptakan ekosistem pertanian yang lebih sehat dan tangguh,” ujar Muliarta.

Ia menambahkan, inovasi ini secara langsung mendukung terciptanya lingkungan bersih karena secara signifikan mengurangi pencemaran air dan tanah akibat penggunaan pestisida kimia buatan dan pupuk anorganik berlebihan.

Implementasi bioteknologi, seperti penggunaan biofertilizer dan biopestisida yang dikembangkan sesuai kebutuhan lokal, akan memperkuat kemandirian pangan di tingkat komunitas dan meningkatkan kesejahteraan petani.

“Bioteknologi adalah alat transformasi yang kuat untuk pertanian yang lebih inklusif dan ekologis, terutama bila disinergikan dengan model Community-Supported Agriculture (CSA),” tegasnya.

Meskipun potensi manfaatnya besar, Muliarta mengakui bahwa adopsi bioteknologi di lapangan masih menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu kendala utama adalah penolakan dari sebagian masyarakat dan petani.

“Penolakan ini sering kali berakar pada kurangnya pemahaman yang memadai. Ada kekhawatiran dan persepsi negatif yang menyamaratakan seluruh bioteknologi dengan isu GMO (Genetically Modified Organism), padahal cakupan bioteknologi hijau jauh lebih luas, termasuk pengembangan pupuk hayati dan benih unggul non-rekayasa genetik,” paparnya.

Selain faktor persepsi, tantangan implementasi lainnya meliputi masih minimnya pengetahuan dan keterampilan petani untuk mengadopsi dan mengaplikasikan teknologi baru secara efektif dan berkelanjutan.

Kebutuhan akan penelitian dan pengembangan bioteknologi yang harus relevan dengan kondisi agroklimat dan komoditas spesifik di masing-masing daerah. Kendala lainnya yaitu ketersediaan dan biaya awal untuk mendapatkan produk bioteknologi berkualitas yang terjangkau bagi petani komunitas.

Muliarta menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan komunitas petani.

“Kita harus terus memberikan Edukasi dan Pelatihan yang berkelanjutan, serta mendukung Riset dan Pengembangan yang berorientasi pada solusi lokal. Dengan transparansi dan pendampingan yang tepat, kita bisa mengatasi penolakan dan mewujudkan pertanian berbasis komunitas yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tutupnya.

Menurut Muliarta, petani di Bali contohnya telah melakukan inovasi dalam implementasi bioteknologi sejak lama. Inovasi tersebut bahkan telah diajarkan secara turun temurun, namun sayangnya belum dikaji secara ilmiah sehingga sering dianggap cara yang telah jadul.

Ia mencontohkan konsep penjernihan air dengan tanaman di kawasan Subak yang umum disebut sebagai andongan. Padahal dalam ilmu modern saat ini teknik tersebut umum disebut sebagai metode fitoremediasi.

Begitu juga konsep pemanfaatan mikroba untuk melakukan dekomposisi limbah petrtanian yang umum disebut “bebereka”. Jika dicernati konsep beberekan tersebut adalah konsep dasar dari sistem pengomposan anaerob karena ditimbun di bawah tanah.

Sementara Dekan FPST-Unwar, Prof. Dr. Ir Luh Suriati, M.Si mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi modern seperti pemetaan satelit, sensor tanah, dan aplikasi berbasis data telah membawa perubahan signifikan dalam cara bertani.

Namun, tidak boleh melupakan pentingnya kearifan lokal. Dengan mengintegrasikan teknologi modern dengan praktik tradisional yang berkelanjutan, dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan lebih efisien dalam penggunaan sumber daya.

“Inovasi teknologi pertanian berbasis kearifan lokal sangat penting untuk dikembangkan, karena dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah ada, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam produksi pertanian” papar Suriati.

Suriati menekankan penting untuk menyadari bahwa teknologi tidak selalu berarti modernisasi yang mahal. Kearifan lokal sering kali menawarkan solusi yang sederhana namun efektif.

Misalnya, teknik irigasi tradisional yang telah dilakukan oleh petani selama berabad-abad dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan teknologi irigasi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Dengan memahami dan menghargai kearifan lokal, dapat menciptakan inovasi yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga dapat diterima oleh masyarakat.

“Mari kita bersama-sama mencari cara untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dengan kearifan lokal, sehingga kita dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih berkelanjutan dan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat” ujarnya. (kanalbali/RLS)

Apa Komentar Anda?