Penulis: GN Mahardika *
POLITIK pertanian Indonesia, dalam arti luas meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan, jika ditelaah dari praktik kebijakan selama puluhan tahun, justru lebih dekat dengan politik konsumsi dibanding politik produksi.
Ketika harga beras, gula, daging, atau komoditas penting lainnya naik dan dianggap mengancam daya beli masyarakat, respons tercepat pemerintah hampir selalu sama: membuka keran impor.
Kebijakan ini memang efektif menurunkan harga dalam jangka pendek, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa orientasi utama pertanian kita lebih diarahkan pada stabilitas konsumsi, bukan keberlanjutan produksi dan kesejahteraan petani.
Pola ini memiliki akar historis panjang. Pada era Orde Baru, stabilisasi harga pangan diposisikan sebagai elemen stabilitas politik. Swasembada beras 1984 memang menjadi capaian monumental, tetapi tidak berumur panjang karena tidak diikuti modernisasi irigasi, inovasi benih berkelanjutan, atau penguatan kelembagaan petani.
Memasuki era Reformasi, liberalisasi perdagangan membuat arah kebijakan pangan semakin condong pada impor sebagai instrumen stabilisasi harga yang cepat dan mudah dieksekusi.
Dalam perekonomian agraris seperti Indonesia, kenaikan harga komoditas pada dasarnya bukan hanya persoalan inflasi, tetapi juga peluang kemakmuran. Ketika harga gabah, gula, atau produk hortikultura naik dalam batas yang wajar, petani sebagai produsen langsung menerima manfaatnya.
Pendapatan petani meningkat, daya beli mereka naik, konsumsi rumah tangga pedesaan tumbuh, dan sektor-sektor lain—dari ritel, transportasi, hingga jasa—ikut merasakan efek berantai (trickle-down effect) tersebut.

Ekonomi desa bergerak, dan ekonomi nasional memperoleh stimulus tambahan. Namun dalam praktik kebijakan kita, logika trickle-down ini sering terputus sebelum sempat bekerja.
Hingga kini, pola yang sama terus berulang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengimpor 4,52 juta ton beras pada 2024—melonjak sekitar 47 persen dibanding 2023.
Pada komoditas kedelai, impor tetap tinggi, mencapai 2,67 juta ton pada 2023, mayoritas berasal dari Amerika Serikat. Impor gula pun konsisten berada di kisaran jutaan ton per tahun. Angka-angka ini menegaskan bahwa ketergantungan impor bukan sekadar solusi darurat, tetapi telah menjadi bagian permanen dari arsitektur pangan nasional.
Setiap kali impor dipilih, sinyal yang diterima petani hampir selalu sama: ketika produksi tidak mencukupi, negara akan mengambil jalan cepat melalui pasar internasional. Pesan ini melemahkan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi.
Investasi pada teknologi, benih unggul, atau perluasan lahan menjadi berisiko karena harga dapat anjlok sewaktu-waktu ketika impor masuk dalam jumlah besar. Pada titik ini, petani berubah menjadi aktor marginal—diperlukan saat panen, tetapi tidak pernah menjadi pusat perhatian dalam perumusan kebijakan.
Lebih jauh, sejarah panjang tata kelola impor juga menunjukkan adanya ruang rente dalam pemberian izin impor. Karena izin ini terbatas dan sangat menentukan siapa yang dapat memasok pasar domestik, izin impor menjadi aset ekonomi sekaligus politik yang bernilai tinggi.
Stabilitas harga menjadi alasan publik, tetapi distribusi keuntungan dari izin impor kerap menjadi manfaat privat. Struktur insentif semacam ini menjelaskan mengapa ketergantungan pada impor sulit dihentikan: status quo menguntungkan kelompok tertentu.
Untuk keluar dari lingkaran konsumsi dan rente, Indonesia membutuhkan pergeseran paradigma besar dari politik konsumsi menuju politik produksi. Ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh.
Pertama, pemerintah perlu membangun buffer stock nasional berbasis produksi domestik, bukan impor. Cadangan pangan strategis harus dibeli pada harga wajar yang menguntungkan petani sehingga insentif produksi menguat. Upaya ini sekaligus mengurangi kebutuhan impor ketika pasokan menurun.
Kedua, tata kelola impor harus direformasi secara menyeluruh. Mekanisme perizinan impor membutuhkan transparansi penuh, audit independen, dan publikasi kuota secara berkala untuk meminimalkan ruang rente. Distribusi izin harus berbasis data kebutuhan nyata, bukan kepentingan aktor tertentu.
Ketiga, peningkatan produktivitas harus menjadi agenda utama: modernisasi irigasi, riset benih nasional, teknologi pasca panen, dan penguatan kelembagaan petani. Program bantuan alat sebaiknya digantikan dengan investasi jangka panjang yang konsisten dan terukur dampaknya.
Keempat, kebijakan harga harus diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan petani dan konsumen. Skema price corridor—batas bawah untuk petani dan batas atas untuk konsumen—dapat menjadi titik temu yang menjaga stabilitas tanpa mengorbankan salah satu pihak.
Kelima, regenerasi petani harus menjadi prioritas nasional. Akses lahan, pembiayaan rendah bunga, dan pelatihan teknis bagi petani muda menjadi syarat mutlak untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian.
Rekomendasi ini mungkin tidak memberikan hasil instan, tetapi merupakan fondasi yang diperlukan agar Indonesia keluar dari ketergantungan impor yang tidak kunjung selesai. Selama respons utama pemerintah terhadap kenaikan harga adalah impor—bukan peningkatan produksi domestik—maka kritik bahwa politik pertanian kita adalah politik konsumsi akan selalu memiliki dasar.
Politik konsumsi memang dapat meredakan kegelisahan hari ini, tetapi tidak mampu membangun kedaulatan pangan di masa depan. Politik produksi membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan keberanian mengambil langkah jangka panjang.
Namun hanya melalui jalan itulah Indonesia dapat berdiri di atas kekuatan sendiri, dan memungkinkan trickle-down effect kemakmuran benar-benar mengalir kepada petani—bukan hanya kepada pasar. (***)
- Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana


