
Penulis: Angga Wijaya
Saya masih ingat ketika sebuah tulisan panjang yang saya kirim ditolak oleh sebuah media.
Alasannya sederhana katanya saya hanya mengulang-ulang apa yang orang lain sudah tahu. Saya sempat termenung. Bukankah jurnalisme juga sering mengulang kembali hal-hal yang pernah terjadi.
Bukankah sejarah pun bekerja dengan cara serupa mengingatkan dan mengulang. Namun penolakan itu membuat saya berpikir lebih jauh tentang sesuatu yang sering luput dibicarakan, pagar tak kasatmata yang kita kenal sebagai politik redaksi.
Politik redaksi bukanlah istilah yang ringan. Ia hadir di balik setiap keputusan menerima atau menolak sebuah tulisan. Ia bekerja diam-diam kadang samar namun sangat menentukan.
Bagi penulis pagar itu kadang terasa sebagai pembatas yang tidak adil. Namun bagi media pagar itu dianggap perlu agar arah pemberitaan tetap sejalan dengan identitas dan tujuan mereka.
Saya sering membayangkan ruang redaksi sebagai sebuah dapur. Penulis datang membawa bahan mentah berupa ide dan naskah. Editor lalu menimbang apakah bahan itu cocok dengan menu yang ingin disajikan kepada pembaca.
Di titik inilah politik redaksi bekerja. Kadang bahan yang bagus sekalipun bisa ditolak hanya karena tidak sesuai dengan selera dapur. Perbedaan semacam ini jarang dijelaskan secara gamblang oleh redaksi.
Mereka hanya menyampaikan bahwa satu tulisan cocok sementara yang lain tidak. Alasan yang muncul di permukaan sering kali terdengar normatif sopan dan halus. Namun sesungguhnya ada alur ada arah ada pagar tak kasatmata yang mereka jaga.
Labirin Politik Redaksi
Bagi seorang penulis terutama yang berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari politik redaksi kadang seperti labirin. Kita menulis dengan jujur dengan sepenuh hati dengan keyakinan bahwa apa yang kita tuangkan penting untuk dibaca orang.
Tetapi ketika tulisan itu berhadapan dengan redaksi ia harus melewati saringan yang tak hanya menilai mutu kalimat tetapi juga relevansi dengan arah yang sedang dibangun media tersebut.
Media tentu saja bukan wadah kosong. Ia punya visi punya misi dan punya kepentingan. Semua itu dijaga dalam bingkai politik redaksi.
Saya sering membayangkan politik redaksi seperti pagar di sebuah taman. Dari luar kita melihat taman itu indah dan terbuka. Siapa pun boleh masuk siapa pun boleh menikmati bunga dan pepohonan di dalamnya.
Tetapi sebenarnya ada pagar yang mengelilinginya. Tidak semua orang bisa bebas membawa tanaman sendiri untuk ditanam di dalam taman itu. Hanya tanaman yang sesuai dengan selera sang pemilik taman yang boleh tumbuh di sana.
Begitulah cara politik redaksi bekerja. Penulis boleh membawa gagasan tetapi tidak semua gagasan akan ditanam dan dipelihara di halaman media tertentu.
Dalam praktiknya politik redaksi hadir dalam bentuk yang beragam. Ada media yang sangat terbuka pada isu-isu sosial tetapi kurang memberi ruang bagi tulisan reflektif. Ada yang seolah mendorong kritik namun menolak ketika kritik itu diarahkan pada lingkaran yang dekat dengan mereka.
Ada pula media yang tampak ramah terhadap gaya menulis bebas tetapi sebenarnya mengutamakan pola yang lebih sistematis agar mudah dipasarkan.
Semua itu membentuk corak yang khas. Penulis yang pernah berulang kali mengirimkan tulisan biasanya akan mulai mengenali pola itu meski jarang sekali redaksi mengucapkannya secara jelas.
Suara Hati Penulis
Sebagai penulis saya kerap berada di persimpangan antara menjaga suara hati sendiri dan menyesuaikan diri dengan pagar yang dibuat media. Di satu sisi saya ingin menulis dengan jujur tanpa harus membungkus gagasan agar sesuai dengan selera tertentu.
Tetapi di sisi lain saya tahu bahwa tulisan saya tidak akan sampai ke pembaca jika tidak melewati pagar redaksi. Dilema inilah yang membuat saya merenung panjang.
Apakah saya harus terus berpegang pada keyakinan pribadi ataukah saya perlu sedikit melenturkan gaya agar tulisan saya bisa lolos dan dibaca lebih banyak orang.
Politik redaksi juga berkaitan erat dengan bagaimana sebuah media ingin membangun citra dirinya. Ada media yang ingin dikenal sebagai ruang diskusi akademik sehingga tulisan yang ringan atau personal sering dianggap kurang berbobot.
Ada pula media yang ingin tampil sebagai media rakyat sehingga tulisan yang terlalu akademis justru dipinggirkan. Dalam setiap keputusan untuk menerima atau menolak tulisan ada arah besar yang dijaga.
Pagar tak kasatmata itu memastikan agar semua yang tampil di media tersebut sejalan dengan identitas yang mereka bangun.
Saya teringat pada satu pengalaman lain. Tulisan saya pernah diminta untuk dipangkas cukup banyak dengan alasan agar lebih ringkas. Namun setelah saya mengikuti permintaan itu tulisan tersebut tetap tidak dimuat. Jawaban yang datang pun normatif. Alasannya tulisan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Padahal kebutuhan siapa yang sedang dibicarakan. Pertanyaan ini membawa saya kembali pada gagasan tentang politik redaksi. Media tidak hanya menilai tulisan tetapi juga menimbang situasi arah dan kepentingan yang lebih besar dari sekadar isi tulisan itu sendiri.
Bukan Hanya Soal Menulis
Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa menulis untuk media bukan hanya soal menulis. Ia juga soal memahami pagar tak kasatmata yang dibuat redaksi.
Penulis tidak bisa sekadar menumpahkan isi hati lalu berharap semuanya akan diterima begitu saja. Ada strategi ada penyesuaian ada seni membaca arah media. Kadang penulis harus belajar dari penolakan.
Penolakan bukan berarti tulisan itu buruk. Bisa jadi tulisan itu hanya tidak sesuai dengan politik redaksi media yang dituju.
Namun politik redaksi bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai musuh. Ia justru bisa menjadi peta yang membantu penulis menavigasi jalan.
Jika kita memahami pagar itu kita bisa menyesuaikan cara masuk memilih jalur yang tepat dan tetap menjaga suara kita sendiri. Menulis dengan menyadari adanya pagar tak kasatmata bukan berarti kehilangan kejujuran.
Sebaliknya ia bisa membuat penulis lebih strategis lebih bijak dalam menentukan bagaimana dan di mana suaranya akan bergema.
Pada akhirnya saya melihat politik redaksi sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia kepenulisan di media. Ia bukan sesuatu yang harus ditakuti tetapi juga tidak bisa diabaikan. Penulis yang peka akan memahami bahwa setiap media punya warna punya pagar dan punya arah sendiri.
Tugas penulis adalah menemukan cara untuk tetap setia pada suaranya sambil menyesuaikan diri dengan ruang yang tersedia. Terkadang itu berarti menerima penolakan dengan lapang dada. Terkadang itu berarti menunggu saat yang tepat.
Dan terkadang itu berarti mencari media lain yang lebih sejalan dengan suara kita.
Politik redaksi memang pagar tak kasatmata. Ia tidak terlihat tidak selalu diucapkan tetapi terasa dampaknya.
Penulis yang jeli akan belajar membaca pagar itu bukan sekadar menabraknya. Sebab dengan begitu suara yang kita bawa akan menemukan tempat yang tepat untuk didengar.
Dan barangkali di balik pagar yang satu ada taman lain yang justru lebih subur untuk menumbuhkan gagasan kita. (*)