
DENPASAR, kanalbali.id – Akibat orientasi kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuham, selama 2 dekade terakhir ketimpangan penguasaan tanah kian parah. Studi yang dilakukan Bachriadi dan Wiradi pada tahun 2011 maupun Sajogyo Institute pada tahun 2019 menunjukan level rasio gini penguasaan tanah yang sama. Pada tahun 2003 rasio gini penguasaan tanah berada di angka 0,72. Sementara di tahun 2013, studi Sajogyo Institute menunjukkan rasio gini berada di angka 0,64.
“Artinya, selama 2 dekade terakhir gini rasio berada diatas ambang batas moderat, yaitu di angka 0,4, yang berarti ketimpangan distribusi (antar RTP dalam pertanian rakyat) adalah tinggi,” ujar Koordinator KPA Wilayah Bali Ni Made Indrawati didampingi Asti Noor -Working Group ICCAS Indonesia mewakili Koalisi Tenurial, saat jumpa pers, Jumat (22/9) di Denpasar
Penataan Kawasan Hutan yang sentralistik dan eksklusif atas nama konservasi turut memperbesar ketimpangan agraria dan pelanggaran hak asasi manusia. Tercatat, sejak 2015 s/d 2022 telah terjadi sebanyak 2.710 konflik agraria seluas 5.88 juta ha yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dengan estimasi luasan lahan sebesar 3,56 juta ha (Catahu, KPA: 2015-2022). Krisis agraria tidak seharusnya terjadi jika UUPA dijalankan dengan patuh.
BACA JUGA: Petani di Kawasan Warisan Budaya Dunia Tak Dapat Akses Air
Hal itu yang membuat Konferensi Tenurial 2023 digelar sebagaikesinambungan dari dua konferensi sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2011 di Lombok dan 2017 di Jakarta.
Kesinambungan ini penting terutama untuk merefleksikan bagaimana kondisi, masalah dan capaian perjuangan reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam sekaligus menyusun rekomendasi perbaikan kebijakan untuk pemerintahan berikutnya. Karenanya, pelibatan masyarakat, aktivis, dan akademisi menjadi bagian penting dalam rangkaian pra-konferensi.
Pergantian pemerintahan nasional yang akan terjadi mulai paruh akhir 2023 hingga kuartal awal 2024 menjadi momentum politik yang perlu diantisipasi masyarakat sipil melalui Konferensi Tenurial 2023. Karena itu pula, ‘suara dari bawah’ dan komitmen pada isu tenurial lintas sektor menjadi elemen penting untuk mendesakkan agenda strategis gerakan rakyat dan jaringan Koalisi Tenure sebagai landasan bagi kebijakan pembangunan nasional yang lebih pro pada keadilan tenurial.
Kondisi di Bali
Masalah pertanahan masih dominan di Bali. Konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun itu tersebar di empat kabupaten yakni Buleleng, Klungkung, Gianyar, dan Tabanan.
Contoh kasus tanah seperti yang terjadi di Desa Sumberklampok, Buleleng, Kasus eks pengungsi Timor Timur yang menempati kawasan hutan juga kasus di Pemuteran dll.
“Kalaupun ada yang sudah diselesaikan jumlahnya sedikit dan itupun belum sepenuhnya tuntas,” ujar Koordinator KPA Wilayah Bali Ni Made Indrawati didampingi Asti Noor -Working Group ICCAS Indonesia mewakili Koalisi Tenurial, saat jumpa pers, Jumat (22/9) di Denpasar.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadakan konferensi untuk membahas masalah-masalah reformasi Agraria di kawasan Bali dan Nusa Tenggara.
Indrawati mencontohkan pengungsi Timtim hanya ditaruh di kawasan hutan tanpa diberi lahan yang memadai bagi mereka untuk bisa hidup layak. “Bagaimana kalau hanya dengan tanah pertanian 5-10 are untuk bertani bisa memenuhi kebutuhan hidup. Padahal reforma agraria, tanah itu untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya. Ia juga menyoroti atas nama konservasi, kepentingan pariwisata telah menghilangkan hak-hak masyarakat.
Masalah lainnya seperti pelepasan tanah negara untuk perumahan warga. Namun pada kenyataannya, hanya setengah yang diberikan, sedangkan sisanya menjadi aset pemerintah daerah.
Juga terkait pemberian tanah oleh pemerintah daerah kepada masyarakat di sejumlah tempat, menurut Indrawati belum sepenuhnya bisa dinikmati karena proses penerbitan sertifikat membutuhkan biaya cukup besar sampai ratusan juta sehingga warga tidak mampu. (kanalbali/RLS)
Be the first to comment