
DENPASAR, kanalbali.id – Setelah ayahandanya Ida Cokorda Mengwi XII meninggal dunia pada 2000, sudah ada aspirasi agar Anak Agung Gde Agung mebhiseka menggantikan untuk menjadi raja di Puri Mengwi.
Namun tokoh kelahiran, 25 Mei 1949, menyatakan belum bersedia dan akhirnya diposisikan sebagai penglingsir Puri Mengwi.
Pentas Seni ABSTRAK VIII Jadi Ajang Bank bjb Tebar Rewards untuk Pengguna DIGI dan DigiCash
Nah, setelah menjalani Abhiseka Ida Cokorda pada Senin (7/7/2025), apakah mantan Bupati Badung akan menerima penyebutan raja? . AA Gde Agung tegas membantah tidak.
“Sebutan raja itu khan identik dengan istilah eksekutif atau pemerintahan. Kami taat konstitusi bahwa setelah masa kemerdekaan, maka kekuasaan raja sebagai penguasa wilayah itu sudah tidak ada,” katanya dalam jumpa pers Sabtu (6/7/2025).
Lebih jauh dia mengungkap, pada masa kolonial saat Puri Mengwi dipimpin oleh kakeknya Ida Cokorda Tirta (1911-1939) bahkan sudah menemui perwakilan pemerintah kolonial di Belanda untuk dijadikan rakyat biasa.
Peran seorang Cokorda setelah abhiseka, jelas dia, lebih kepada peran sosial dan budaya baik di lingkungan Puri maupun di kalangan masyarakat yang masih memiliki keyakinan secara spiritual dan kultural.
Dia mencontohkan tradisi ketika menghadapai hama tikus di kalangan petani di Badung dimana diharapkan seornag Cokorda bisa mengatasinya dengan mau turun ke wilayah pertanian melali upacara Nangluk merana.
Profil AA Gde Agung
Anak Agung Gde Agung adalah putra tunggal Ida Cokorda Mengwi XII dengan Ida Cokorda Istri, Putri Raja Karangasem.
Dalam usianya yang kini 76 tahun, Anak Agung Gde Agung telah menunaikan pengabdian melalui berbagai jalur, yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), kemudian beralih profesi sebagai notaris, dan atas permintaan serta dukungan masyarakat dari berbagai lapisan terpilih sebagai Bupati Badung masa bakti 2005-2010.
Sukses memimpin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gumi Keris di periode pertama, Anak Agung Gde Agung kembali dipercaya sebagai Bupati Badung masa bakti 2010-2015.
Selepas dari jabatan itu, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia periode 2019-2024.
Dinyatakan lolos tahap verifikasi administrasi sebagai Bakal Calon DPD RI di Pemilu Serentak 2024, Anak Agung Gde Agung memutuskan mengundurkan diri dengan alasan ingin menjalankan swadarma selaku Penglingsir Puri Ageng Mengwi pada Minggu, 5 Februari 2023.
Meski pengabdian lewat jalur pemerintahan dan politik berakhir, kewajiban Anak Agung Gde Agung kepada masyarakat, adat, agama dan budaya tidak akan pernah berakhir, bahkan semakin meningkat.
Lebih-lebih sebagai orang yang dituakan, sejatinya Anak Agung Gde Agung telah menjalani ritual “Pawintenan Agung“ di awal bulan Agustus 2005 sebelum dilantik sebagai Bupati Badung.
Pawintenan Agung merupakan upacara penyucian diri untuk membersihkan segala noda dan dosa serta pengukuhan seseorang sebagai pemimpin dalam bidang agama, adat, dan budaya.
Setelah mengikuti ritual Pawintenan Agung, maka seseorang secara resmi memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang agama, adat dan budaya.
( kanalbali/ RFH )