Tampilkan Pelukis Difabel, Pesta Kesenian Bali Rayakan Inklusivitas

Oleh: I Ketut Angga Wijaya

Komang Sudiartha beserta salah-satu karyanya - IST

LELAKI  43 tahun itu tak bisa menyembunyikan kegembirannya. Ia mengirimi teman-temannya tangkapan layar poster pengumuman seniman yang lolos pada ajang Bali Kandarupa 2024. Ajang ini adalah pameran seni rupa bergengsi, sebagai rangkaian dari Pesta Kesenian Bali ke-46, yang berlangsung pada 15 Juni hingga 13 Juli 2024.

Komang Sudiarta, nama lelaki itu. Ia juga akrab dipanggil Loster, kelahiran Payangan, Gianyar, 9 September 1981. Lukisan yang lolos dalam Bali Kandarupa 2024 berjudul ‘Ibu Brayut’. Loster melukis seorang ibu dengan tujuh bayi dengan sangat indah. Lukisan ini mengadopsi gaya Keliki yang khas, menyampaikan pesan tentang keteguhan dan pemahaman yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan. Karya ini juga menekankan pentingnya interaksi dengan lingkungan, baik manusia maupun alam, untuk menjaga keseimbangan diri dan lingkungan.

Loster berbagi cerita tentang proses kreatif di balik terciptanya lukisan ‘Ibu Brayut’. Menurutnya, karya tersebut menggunakan berbagai simbol dan komposisi rupa tradisi Bali, yang diadopsi dan dikembangkan dengan cara unik. “Misalnya saja, Men (Ibu) Brayut melambangkan keteguhan dan kesejahteraan, bunga teratai bermakna pengetahuan, air memiliki arti ketenangan dan kehidupan, serta binatang yang merepresentasikan sifat negatif,” jelasnya.

Loster juga menambahkan bahwa garis-garis dengan corak lokal diterapkan dalam karyanya, selaras dengan narasi utama yang ingin disampaikan yaitu keteguhan dan pengetahuan atas nilai tradisi. Menurutnya, nilai tradisi dapat menjadi pijakan yang lentur untuk diterapkan sesuai dengan jiwa zaman dan berbagai masalah kehidupan sehari-hari.

Karya Komang Sudiartha yang dipamerkan di PKB ke-46 – IST

Kecintaannya pada seni lukis bermula sejak masa sekolah dasar, dengan tema-tema cerita masa lalu yang didengarnya dari desa tempat ia dibesarkan. Lahir dari keluarga seniman yang menyukai seni tari, seni ukir, dan seni tabuh, Loster memilih jalur seni lukis. Ia menempuh studi di SMSR Sukawati, Gianyar, dan berinteraksi dengan Ketemu Project, sebuah komunitas seni yang dibina oleh seniman terkenal Budi Agung Kuswara. Hal ini mengantar Loster ke berbagai pameran seni rupa baik di dalam maupun luar negeri.

Beberapa pameran yang pernah diikuti Loster antara lain ‘Transport Me to Bali’ di Rumah Sanur Denpasar (2016), pameran bersama di Rumah Berdaya Denpasar (2017), pameran bersama di Social Space, Singapura (2018), pameran bersama di Oak Wood Art, Virginia, Amerika Serikat (2018), pameran bersama Ketemu Project di Art Jakarta (2022), pameran bersama Bali Kanda Rupa di Neka Art Museum, Ubud, Gianyar (2023), dan pameran seni rupa ‘Habitat Lokacarita’ di Taman Budaya Yogyakarta (2023).

Selain menekuni seni rupa, Loster juga aktif dalam bidang kesehatan mental. Ia terlibat dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali dan Rumah Berdaya Denpasar. Loster adalah salah satu penggerak “Schizofriend Art Movement” yang menjadikan seni sebagai terapi bagi pengidap dan penyintas gangguan mental, terutama skizofrenia.

“Saya sendiri adalah penyintas skizofrenia yang hidup di tengah masyarakat yang awam terhadap kesehatan mental. Distigma sebagai tidak berguna sudah biasa bagi saya,” ujar Loster dengan serius. Bagi Loster, ekspresi seni rupa menjadi jembatan komunikasi dengan dunia luar dan lingkungan tempat ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya.

“Seni adalah terapi yang bagus sebagai pelengkap pengobatan medis. Dengan rutin minum obat, saya bersyukur bisa pulih dari skizofrenia. Terus berkarya demi menghidupi keluarga karena lukisan saya juga merupakan pesanan selain untuk kolektor lukisan,” kata Loster.

Lukisan ‘Ibu Brayut’ dan keikutsertakan Loster dalam Bali Kandarupa 2024 menyiratkan arti bahwa Pesta Kesenian Bali juga merupakan “pesta” terhadap keberagaman, termasuk inklusivitas. Penyandang disabilitas, baik disabilitas fisik maupun disabilitas mental diberi ruang untuk berekspresi dalam kegiatan tahunan yang disambut antusias masyarakat Bali tersebut.

Warih Wisatsana, salah satu kurator Bali Kandarupa 2024 menegaskan bahwa capaian Bali Kandarupa dari tahun ke tahun menunjukkan satu peningkatan yang layak diapresiasi dan membuktikan bahwa pameran kolosal Bali Kandarupa untuk seni klasik dan seni tradisional Bali itu layak diapresiasi dan dikembangkan lebih lanjut di masa mendatang.

Kata dia, para seniman ini telah menemukan stilistika-estetik yang mempribadi.  Dengan tetap menggali ragam gaya yang ditekuni masing-masing yang menjadi ciri wilayah cipta dan wilayah kreativitas yang melahirkan mereka dan memicu mereka menjadi sosok sosok seniman yang tangguh dan ulet.

“Untuk Pak Komang Sudiarta atau Loster, dia sudah mengikuti pameran Bali Kandarupa sebanyak dua kali. Dan secara umum, karya karyanya sebagaimana karya yang lolos jalur open call tentu sudah layak diapresiasi capaian stilistika dan estetikanya termasuk cara menghadirkan tema yang telah ditetapkan di dalam ragam penghayatan pribadi,” ujar Warih.

Dia menjelaskan, Pak Komang Sudiarta ini kali ini mengangkat tentang Ibu Brayut, satu sosok yang hadir dalam kisahan rakyat Bali dan dan ditampilkan dengan ragam gaya yang ditekuninya yakni gaya Keliki. Tapi dia bisa mengembangkannya menjadi satu ragam stilistika yang otentik.

“Kalau kita lihat karyanya, dia bukan hanya kaya dengan deskripsi ikonik yang mengingatkan kita pada kehidupan masyarakat Bali masa lalu, tetapi juga konteks dengan renungan kekinian Ada satu bentuk stilistika fantasia yang secara nyata terlihat, yakni kemampuan dari Komang itu mendayagunakan imajinasinya yang tidak terkungkung ragam bentuk seni tradisi ataupun klasik yang ditekuninya,” kata Warih.

Tambah dia, Loster mampu menghadirkan sosok-sosok seperti bidadari dengan ragam yang mempribadi dan sangat mengesankan. Jadi tidak ada perbedaan antara karya penyitas skizofrenia dengan orang yang dianggap normal.

“Saya pribadi sewaktu pengelola Bentara Budaya Bali dan sebagai kurator pernah mengadakan pameran khusus, yang orang menyebutnya Outsider Art mulanya atau Art Brut yaitu karya Ni Tanjung, seorang seniman asal Karangasem, seorang ibu sepuh tapi karyanya menakjubkan. Ada juga Pak Wi, perupa yang dianggap oleh pandangan umum memiliki gangguan kepribadian,” tutur Warih.

Dalam konteks penciptaan karya seni, kata dia, sebenarnya itu bukan kelainan atau ketidaknormalan. Dia melihatnya justru sebagai karunia kekhususan yang harus dimaknai bahwa kehadiran mereka dengan karya seninya adalah bagian yang layak disanding-bandingkan dengan karya-karya dari mana saja, dari siapa saja.

“Saya kira demikian juga semangat Pesta Kesenian Bali, yang terbuka untuk kalangan mana saja di Bali yang menekuni seni klasik dan tradisional kemudian menunjukkan capaiannya yang layak diapresiasi maka mendapat tempat. Seperti siswa-siswi yang dianggap menyandang kekhususan atau SLB, yang ternyata mereka bisa tampil memukau, bahkan tidak kalah dengan seniman-seniman yang dipandang dalam pengertian umum sebagai orang normal,” sebut Warih.

Dirinya menyampaikan rasa hormat dan salut kepada para kurator Pesta Kesenian Bali yang membuka ruang perayaan kebersamaan ini tanpa menimbang apakah yang bersangkutan itu memiliki kecenderungan yang dipandang tidak normal ataupun abnormal, yang sekali lagi bagi kesenian adanya adalah kekhususan atau keistimewa. Jadi harus dipandang bahwa semua karya harus dilihat capaiannya. Pesta Kesenian Bali juga mendukung semangat inklusivitas.

“Pada Bali Kandarupa tahun sebelumnya, kami menghadirkan karya Agus Merta Yasa, seorang penyandang disabilitas fisik. Karyanya juga mengejutkan dengan seri hitam-putihnya yang saya kira menjadi ruang renung bagi kita juga. Bahwa karya yang elok otentik bisa lahir dari siapa saja yang bersungguh-sungguh menekuni dan mengolah bakat dan minatnya dalam persembahan kesenian untuk orang banyak,” tutup Warih. ***

 

 

Apa Komentar Anda?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.