Tan Lioe Ie, Penyair yang Tumbuh Di Bawah Cahaya Lampion Sastra

Penyair Tan Lioe Le- Foto: Agus Wiryadhi Said
Penyair Tan Lioe Le - Foto: Agus Wiryadhi Said

Penulis: Angga Wijaya

Langit Denpasar tampak cerah ketika saya tiba di sebuah rumah besar di kawasan Ubung, Denpasar Utara, Sabtu 30 Agustus 2025.

Dengan rambut panjang putih keperakan, penampilan Tan Lioe Le selalu khas sekaligus karismatik. Ada ketenangan dalam cara ia menyambut saya. Sang istri ikut menimpali dengan ramah, bahkan menawarkan saya untuk makan siang bersama.

Kami menyantap hidangan sambil berbincang ringan tentang kehidupan dan sastra. Setelah itu, kami duduk di sofa ruang tamu. Percakapan lebih serius pun dimulai, tentang proses kreatif dan perjalanan kepengarangan lelaki 67 tahun yang akrab disapa Yokki.

Mengenang masa awal menulis, Yokki mengaku tidak merasa “tak berbakat”, melainkan “belum siap” ketika pada 1989 ia diminta menjadi juri pembanding lomba puisi dari disiplin lain.

“Saya bilang ke Om Frans, saya belum siap. Tapi beliau bilang, kamu bisa. Ia kasih saya beberapa buku untuk dibaca. Dari situ saya belajar. Akhir tahun itu saya mulai nulis puisi, dua tahun sebelum masuk Sanggar Minum Kopi,” kenangnya.

Yokki menyebut almarhum Frans Nadjira sebagai guru pertama yang menuntunnya menulis puisi. Frans tidak hanya memberi semangat, tetapi juga cara pandang bahwa menulis adalah proses panjang. “Om Frans itu keras, tapi penuh kasih. Dia mau orang belajar sungguh-sungguh,” ujarnya.

Sanggar Minum Kopi

Nama Sanggar Minum Kopi (SMK) selalu hadir dalam percakapan tentang Yokki. Bagi dia, SMK adalah ruang belajar bersama, tempat siapa saja boleh datang membawa puisi, membacakannya, lalu siap menerima kritik. Atmosfernya cair, tanpa hierarki.

“Di SMK kami bebas. Tidak ada senioritas. Semua boleh bicara, semua boleh dikritik. Dan kami tak hanya bicara sastra, tetapi juga berbagai hal. Karena puisi bukan dunia steril, bukan lahir di ruang vakum. Ia selalu bersentuhan dengan banyak hal,” ujar Yokki.

SMK dihuni nama-nama yang kini menjadi tonggak penting sastra Indonesia: Warih Wisatsana, Mas Ruscitadewi, Sthiraprana Duarsa, K Landras Syailendra, Oka Rusmini, almarhumah Cok Sawitri, Sinduputra, Made Adnyana Ole, Putu Satria Kusuma, dr. Sahadewa, dr. Eka Kusmawan, dr. Lingga Wijaya, serta tentu saja Yokki sendiri. Ada pula DG Kumarsana, Dige Amerta, almarhum DS Putra, Boping Suryadi, dan lainnya.

Generasi terakhir SMK juga diwarnai Wayan Jengki Sunarta dan Riki Dhamparan Putra. Sementara Raudal Tanjung Banua hadir setelah SMK bubar, namun tetap mengalami pergaulan dengan orang-orang SMK. Dari Raudal pula metode sparing partner—yang diturunkan Frans Nadjira—dibawa ke komunitas Rumah Lebah di Yogyakarta.

SMK tidak bisa dilepaskan dari dua sosok guru yang sangat dihormati, yaitu almarhum Umbu Landu Paranggi dan almarhum Frans Nadjira. Umbu memberi teladan kesetiaan pada sastra, sementara Frans mendampingi secara langsung, mengajari disiplin menulis. “Pak Umbu memberi api, Om Frans memberi arah. Dua-duanya guru yang tidak tergantikan,” ujar Yokki serius.

SMK berdiri pada 1985 dan akhirnya bubar pada 1995. Namun semangatnya tetap hidup. “Kami tidak sadar waktu itu, tapi sebenarnya sedang menciptakan sesuatu yang besar,” kenang Yokki.

Buku-buku karya Tan Lioe Le - Foto: Angga WIjaya
Buku-buku karya Tan Lioe Le – Foto: Angga WIjaya

Menulis sebagai Keterlibatan

Bagi Yokki, puisi bukanlah ruang mencari kenyamanan. Ia menolak gagasan menulis hanya sebagai pelarian.

“Bagi saya, puisi bukan untuk mencari rasa nyaman. Saya menulis karena ingin terlibat dengan banyak hal, terutama kaum kecil yang aksesnya terbatas ke pendidikan dan berbagai kebutuhan hidup. Menulis itu keterlibatan,” tegasnya.

Karena itu puisinya kerap berbicara tentang kehidupan sehari-hari, hal-hal sederhana yang menyimpan lapisan sosial.

Sebagai keturunan Tionghoa di Bali, ia menjadikan latar tersebut sebagai modal menuju otentisitas karya. Menulis baginya adalah upaya menjembatani dua dunia, sekaligus menemukan tempat berdiri.

Buku Malam Cahaya Lampion (Bentang Pustaka, 2005) dan Ciamsi: Puisi-Puisi Ramalan (2015) menjadi bukti pencarian itu. Ia mengolah simbol, mitos, dan tradisi, sekaligus menampilkan suara eksistensial tentang menjadi “yang berbeda”.

Dalam percakapan, Yokki menyinggung pandangan Sutardji Calzoum Bachri tentang bahaya pengulangan (mannerism) bagi penulis lama.

“Saya setuju dengan Sutardji. Kalau menulis terlalu lama, ada godaan untuk mengulang. Itu harus dihindari. Makanya saya berusaha dari buku ke buku selalu berbeda,” katanya sambil tertawa.

Tan Lioe Le bersama dua buku karya terbarunya - Foto: Angga WIjaya
Tan Lioe Le bersama dua buku karya terbarunya – Foto: Angga WIjaya

“Bermain Sungguh” dalam Sekolah Tikus

 Salah satu dari dua buku terbarunya adalah kumpulan puisi Sekolah Tikus.

“Di buku ini saya bermain, tapi permainan yang sungguh. Saya lompat-lompat topik, diskursif. Ada enjambemen ekstrem yang membuat kata bisa mengejar kata di baris sebelumnya,” jelas Yokki penuh semangat.

Ia menyebut dirinya “nakal” dalam bermain. “Saya masukkan hal-hal kecil, yang sepele: sabun, galon air mineral. Itu bagian dari permainan. Tapi permainan ini serius,” ujarnya.

Puisi-puisi dalam Sekolah Tikus tidak berusaha muluk, melainkan memperlihatkan bahwa yang remeh pun menyimpan kemungkinan puitis.

Buku lainnya adalah kumpulan cerpen Tubuh yang Tak Patuh Seluruh. Di sini Yokki kembali bereksperimen dengan bentuk.

“Banyak cerpen di buku ini sebenarnya lebih mirip puisi—pendek, padat. Tapi saya nyatakan sebagai cerpen,” katanya.

Menurutnya, tubuh adalah medium perlawanan. “Tubuh kita tidak selalu patuh pada norma. Ia bisa menolak, bisa bicara dengan caranya sendiri,” ujarnya.

Eksperimen ini menabrak batas genre. “Puisi atau cerpen? Biarkan pembaca menilai. Yang penting bagi saya, tubuh bisa bicara,” tambahnya.

Perjalanan Panjang

Sejak awal kiprahnya, Tan Lioe Ie menempuh jalan berbeda dari buku ke buku. Ia memulai dengan Kita Bersaudara (1991), kumpulan puisi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi We Are All One (1996) oleh Dr. Thomas M. Hunter.

Pada 2005 ia menerbitkan Malam Cahaya Lampion (Bentang Pustaka), yang menandai pertautannya dengan simbol-simbol Tionghoa. Buku ini bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi Nach van de Lampionnen (Uitgeverij Conserve, the Netherlands), dan hadir kembali dalam edisi khusus Pustaka Ekspresi pada 2023.

Eksperimen berikutnya, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan (2015), menampilkan 46 puisi tanpa judul yang hanya diberi nomor, menyerupai kartu ramalan. Lalu Naik Puisi: Catatan Seorang Penyair-Pengelana (KPG, 2021), berisi refleksi perjalanan sekaligus memperluas medan sastra ke ruang hidup sehari-hari.

Tan Lioe Le juga dikenal sebagai penyair yang menguasai instrumen gitar - IST
Tan Lioe Le juga dikenal sebagai penyair yang menguasai instrumen gitar – IST

Tahun 2023, lahirlah Yin, kumpulan puisi yang memperlihatkan wajah baru pencarian estetikanya. Di sela itu ia juga menulis Ekphrasis, kumpulan puisi hasil dialog dengan karya visual, mempertemukan teks dengan gambar.

Selain menulis buku, Yokki juga mengeksplorasi puisi dalam bentuk musik. Ia merilis album Exorcism (Bali PuisiMusik), Kuda Putih (Tan Lioe Ie dkk), serta Kuda Putih Remastered (Bali PuisiMusik). Eksperimen ini menegaskan bahwa baginya, puisi bisa hidup bukan hanya di halaman, melainkan juga di panggung suara.

Di akhir percakapan, Yokki menegaskan kembali pandangannya. “Sastra bukan menara gading. Ia alat untuk berbicara tentang ketidakadilan, tentang dunia yang sering tidak kita lihat. Sastra itu jembatan,” ujarnya.

Baginya, menulis adalah cara merangkul; pengalaman personal bertemu pengalaman sosial, suara kecil bertemu percakapan besar dunia.

Di bawah cahaya lampion sastra yang ia sulut sendiri, Tan Lioe Ie—atau Yokki—terus menulis. Dari Sanggar Minum Kopi hingga dua buku terbarunya, ia menunjukkan bahwa menulis adalah keberanian untuk berbeda, sekaligus keberanian untuk tetap terlibat.

Karya-karyanya adalah cermin perjalanan panjang: dari bimbingan Frans Nadjira, kehangatan SMK, hingga lompatan eksperimental dalam Sekolah Tikus dan Tubuh yang Tak Patuh Seluruh.

Ia menutup percakapan kami dengan senyum tipis, rambut putihnya berkilau disinari matahari siang. Dan saya berpikir, Yokki adalah bukti bahwa sastra di Bali tidak hanya bertahan, tetapi terus menemukan cahaya barunya. (kanalbali/AWJ)

Apa Komentar Anda?