
Penulis: Angga Wijaya*
BEBERAPA waktu lalu, ketika saya sedang mengantri membeli nasi di sebuah warung makan di Denpasar, pandangan saya tertuju pada punggung seorang pemuda. Bukan pada tubuhnya, melainkan pada tulisan di kaos yang ia kenakan.
Tulisannya sederhana, tapi menghentak: “Less Scrolling, More Real Life”. Saya tertegun sejenak, lalu menerjemahkannya dalam hati: “Kurangi menggulir layar, perbanyak kehidupan nyata.”
Kalimat itu seolah tamparan kecil di tengah rutinitas saya. Bagaimana tidak? Kita semua, terutama di kota-kota besar, seakan tak bisa lepas barang sebentar dari layar gawai.
Di ruang tunggu, di kantor, di halte, di kamar tidur, bahkan di ruang makan keluarga—kepala-kepala kita lebih sering menunduk, bukan karena menghormati, tapi karena asyik menatap layar. Seolah ada magnet yang begitu kuat, menarik perhatian kita tanpa henti.
Indonesia kini termasuk salah satu bangsa paling rajin berselancar di dunia maya. Menurut laporan Digital 2025 Global Overview Report, masyarakat kita rata-rata menghabiskan 7 jam 22 menit dalam sehari untuk berada di internet.
Angka itu lebih lama dibandingkan rata-rata global yang hanya sekitar 6 jam 38 menit. Dari total waktu tersebut, lebih dari separuhnya dihabiskan melalui ponsel pintar. Dengan kata lain, hampir sepertiga waktu hidup manusia Indonesia dalam sehari dihabiskan dengan menatap layar kecil di genggaman tangan.
Apakah ini berarti kita punya banyak waktu luang? Tidak juga. Karena kenyataannya, sebagian besar dari jam itu kita habiskan bahkan ketika seharusnya bekerja, belajar, atau beristirahat.
Bayangkan, betapa rentannya kualitas konsentrasi kita—terganggu notifikasi yang datang bertubi-tubi, pesan yang menunggu balasan, atau keinginan tak terkendali untuk sekadar scrolling tanpa tujuan.
Dari Burnout ke Brain Rot
Tak heran jika banyak orang kini jatuh dalam kondisi yang disebut burnout. Kata ini sering kita dengar, tapi apa artinya? Burnout adalah kelelahan fisik, emosional, dan mental yang muncul akibat stres berkepanjangan.
Dulu, burnout identik dengan tekanan kerja. Namun kini, burnout juga datang dari dunia digital, yakni terlalu lama berada di depan layar, mengonsumsi informasi tanpa henti, tetapi tak tahu persis apa yang dicari.
Di sisi lain, ada istilah baru yang makin sering dibicarakan: brain rot. Istilah slang ini bahkan menjadi Oxford Word of the Year tahun 2024.
Brain rot menggambarkan kondisi menurunnya fungsi mental akibat terlalu banyak mengonsumsi konten dangkal—video pendek, meme berulang, gosip, dan sensasi instan. Otak kita akhirnya malas bekerja keras, daya konsentrasi memendek, dan kebiasaan berpikir kritis melemah.
Jika burnout membuat kita lelah hingga tak berdaya, brain rot membuat otak kita lamban dan dangkal. Dua-duanya adalah penyakit zaman yang sama-sama menggerogoti manusia modern.
Istilah banjir informasi bukan sekadar metafora. Informasi yang membanjiri layar ponsel kita setiap detik, justru membuat hidup tak semakin jernih, melainkan keruh. Kita menjadi lebih sensitif secara emosional. Orang mudah marah, gampang tersinggung, merasa paling benar, sulit menerima pendapat berbeda.
Lebih dari itu, banjir informasi juga menggerus daya pikir kritis. Alih-alih mencerna, kita terbiasa menelan mentah-mentah. Alih-alih merenung, kita cepat bereaksi. Alih-alih mencari kebenaran, kita puas dengan apa yang terlihat pertama kali di layar.
Akibatnya, hoaks tumbuh subur, rayuan iklan menjerat, provokasi politik menyulut amarah massa, bahkan ada yang terhasut untuk turun ke jalan dengan alasan yang tak sepenuhnya mereka pahami.
Teknologi yang diciptakan untuk memudahkan hidup justru menciptakan ruang destruktif. Pertanyaannya: apa yang bisa kita lakukan agar tetap waras di tengah arus deras ini?
Kembali ke Kehidupan Nyata
Di beberapa negara Eropa, muncul gerakan alternatif yang menarik. Ada kafe yang melarang pengunjung membawa ponsel pintar. Jika ingin duduk di sana, Anda harus siap untuk benar-benar berbicara dengan orang lain. Ada juga komunitas yang rutin berkumpul di taman kota.
Mereka membawa buku, lalu membaca bersama-sama, sambil berbaring di padang rumput. Tak ada yang sibuk dengan layar.
Gerakan-gerakan semacam ini mencoba menghidupkan kembali gaya hidup sebelum internet menguasai kita. Sebuah gaya hidup yang lebih alami, di mana tubuh, pikiran, dan emosi manusia tetap terhubung dengan sesama manusia, bukan sekadar dengan mesin.
Psikologi modern menjelaskan, paparan informasi berlebihan memicu kelelahan kognitif. Otak kita, yang kapasitasnya terbatas, dipaksa menyerap ribuan stimulus dalam sehari. Saat kapasitas itu jebol, muncul stres, cemas, bahkan depresi.
Dalam psikiatri, kondisi ini bisa mengarah pada gangguan mood dan tidur. Begadang demi menonton video pendek atau berdebat di kolom komentar, misalnya, bisa mengacaukan ritme biologis. Akibatnya, tubuh lelah, pikiran tumpul, emosi tak stabil. Ini lingkaran setan yang semakin sulit diputus jika kita tak sadar.
Antropologi kesehatan melihat fenomena ini dari sisi budaya. Manusia adalah makhluk sosial yang secara naluriah butuh interaksi tatap muka. Ketika interaksi bergeser ke ruang virtual, tubuh sosial kita melemah. Empati tak lagi hadir dalam senyum atau sentuhan, melainkan hanya dalam emoji.
Kehidupan komunitas juga terfragmentasi. Kita merasa punya banyak “teman” di media sosial, tetapi sepi ketika butuh teman nyata untuk mendengarkan. Pola ini menciptakan kesepian modern—ironisnya, di tengah keramaian virtual.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, ada beberapa langkah kecil tapi penting.
Pertama, cobalah membuat zona bebas gawai. Misalnya, tidak menggunakan ponsel saat makan bersama. Biarkan meja makan kembali menjadi ruang percakapan, bukan ruang sunyi penuh kepala menunduk.
Kedua, biasakan diri menjadwalkan detoks digital. Ambil satu hari dalam seminggu tanpa media sosial. Gunakan waktu itu untuk membaca buku, berjalan kaki, atau bercengkerama dengan keluarga.
Ketiga, praktikkan mindfulness. Latihan kesadaran penuh dapat dilakukan lewat meditasi, olahraga ringan, atau sekadar memperhatikan napas. Mindfulness membantu otak beristirahat dari banjir informasi.
Keempat, utamakan interaksi nyata. Bertemu teman, berbincang, tertawa, atau bahkan berdebat sehat secara langsung jauh lebih menyehatkan daripada berkomentar panjang di kolom daring.
Pada akhirnya, tetap waras di era banjir informasi adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap algoritma yang ingin mencuri perhatian kita, terhadap notifikasi yang tak pernah lelah mengetuk, terhadap konten dangkal yang ingin membuat otak kita layu.
Waras berarti berani memilih. Memilih untuk tidak selalu ikut arus, memilih untuk diam ketika dunia maya ribut, memilih untuk membaca buku ketika orang lain sibuk menggulir layar, memilih untuk mendengar suara hati ketika timeline berisik.
Saya kembali teringat tulisan di punggung pemuda di warung makan itu. “Less Scrolling, More Real Life.” Sederhana, tapi begitu relevan. Sebab hidup ini, pada akhirnya, bukan tentang berapa banyak waktu yang kita habiskan di dunia maya, melainkan tentang seberapa dalam kita benar-benar hadir dalam kehidupan nyata. (kanalbali/IST)
*) Penyair, esais, dan jurnalis di Denpasar-Bali