
GIANYAR, kanalbali.id – Di Desa Lebih, Gianyar, tersimpan sebuah hutan kecil yang selama ini luput dari perhatian.
Luasnya hanya tiga hektare, berada di dataran tinggi, ditumbuhi pepohonan besar nan rindang, dan memiliki aliran sungai yang terus mengalir dari hulu menuju hilir ke Pantai Lebih.
Selama bertahun-tahun, kawasan ini hanya menjadi penyangga lahan, belum termanfaatkan, meski menyimpan kekayaan ekologi dan spiritual yang penting.
Kini, hutan itu diproyeksikan menjadi Taman Beji, sebuah kawasan ekowisata berbasis alam, budaya, dan spiritual.
Program pengabdian pada masyarakat Universitas Warmadewa yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. I Kadek Merta Wijaya, S.T., M.Sc. dengan pemerintah desa dan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Desa Lebih telah merumuskan rencana besar untuk menjadikan hutan desa sebagai destinasi baru yang mendukung identitas desa wisata.
“Kalau potensi ini tidak segera dikelola, Desa Lebih bisa kehilangan identitasnya sebagai desa wisata,” ujar ketua tim pengabdian Bapak Dr. Ir. I Kadek Merta Wijaya, S.T., M.Sc. saat diskusi lapangan dengan aparat desa.

Hutan Desa Lebih saat ini masih alami. Pohon-pohon mahoni menjulang tinggi, udara sejuk, dan tanahnya berperan penting menyerap air untuk pertanian warga.
Dari kawasan itu pula mengalir sumber mata air yang dipercaya masyarakat sebagai air suci dan menyokong kehidupan.
Namun, di balik kekayaan itu ada masalah utama: belum adanya perencanaan dan pemetaan geografis. Tanpa mapping yang terukur, sulit bagi desa menyusun masterplan wisata yang memadukan aspek topografi, vegetasi, hingga elemen budaya seperti pura dan sumber mata air.
Ketua Tim Pengadian pada Masyarakat (tengah) dan Anggota Tim Pengabdian pada Masyarakat Universitas Warmadewa (kiri dan kanan) melakukan survey dan observasi di kawasan Pura Taman Beji Desa Lebih
Rencana pengembangan Taman Beji disusun berlandaskan trilogi keberlanjutan yaitu Lingkungan, menjaga ekosistem hutan dan mata air; Ekonomi, memberdayakan UMKM kuliner laut yang sudah lama menjadi penopang warga di Pantai Lebih.
Secara Sosial-budaya, melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan mengangkat nilai spiritual melalui Pura Taman Beji.
Konsep itu sejalan dengan tren wisata Bali terkini: wisata healing melalui penyediaan fasilitas penunjang potensi wisata. “Taksu (spirit), lingkungan, dan sosial masyarakat menjadi pondasi pengembangan ekowisata Desa Lebih,” jelas ketua tim perencana Bapak Dr. Ir. I Kadek Merta Wijaya, S.T., M.Sc.

Konsep ekowisata Taman Beji dikemas dalam lima program unggulan.
Pertama, Melukat atau program Holy Water, yakni ritual pembersihan diri dengan air suci di sembilan sumber mata air Pura Taman Beji.
Dikemas sebagai paket wisata spiritual, kegiatan ini dilengkapi tata cara mulai dari penggunaan busana, doa, hingga melukat sebelum melanjutkan perjalanan wisata.
Kedua, tracking dan ATV dimana wisatawan bisa memilih jalur menyusuri batas hutan sejauh beberapa kilometer dengan berjalan kaki atau menggunakan ATV.
Setiap 200 meter tersedia rest area untuk beristirahat, dengan titik start yang juga menjadi titik finish.
Ketiga, Eco-Glamping. Yakni, kegiatan berkemah di tengah hutan mahoni yang sejuk, dipadukan dengan edukasi pelestarian alam. Pengunjung tidak hanya tidur di bawah tenda, tetapi juga mendapat pengetahuan tentang konservasi hutan dari narasumber kompeten.
Keempat, Communal Space, yakni ruang komunal untuk family gathering, workshop, hingga event komunitas. Semua kegiatan wajib memenuhi standar ramah lingkungan: pengelolaan sampah, minim plastik, dan bertema pelestarian alam.
Kelima, River Club berupa pemanfaatan sungai lebar di selatan hutan sebagai tempat bersantai menikmati kuliner sehat hasil UMKM lokal. Café kecil dan area duduk disiapkan di tebing sungai, memberi pengalaman rileks dengan pemandangan alami.

Master Plan Pengembangan Kawasan Hutan Desa Lebih
Pengembangan kawasan Hutan Desa Lebih tidak lepas dari konsep eko-arsitektur. Semua fasilitas wisata direncanakan menggunakan material ramah lingkungan seperti kayu dan bambu, mengurangi rekayasa site, dan menjaga kebersihan sumber mata air.
“Arsitektur ekologis bukan sekadar desain, tapi prinsip integrasi antara bangunan dan alam. Energi terbarukan, sampah konstruksi yang minim, hingga pemilihan material yang bisa terurai menjadi syarat mutlak,” kata salah seorang konseptor tim pengabdian.
Bagi warga, proyek ekowisata ini bukan hanya soal menambah destinasi wisata di Bali, melainkan juga upaya mempertahankan identitas desa. Desa Lebih selama ini dikenal lewat kuliner lautnya di Pantai Lebih, tapi dengan kawasan Hutan Desa, wajah desa akan semakin lengkap: ada laut, ada hutan, ada spiritualitas.
Kepala Desa Lebih menegaskan, masyarakat akan dilibatkan penuh dalam operasional kawasan wisata ini. “Kami ingin warga menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Mulai dari pemandu wisata, pengelola UMKM, hingga penjaga kebersihan kawasan,” ujarnya.
Dengan perpaduan kekuatan alam, budaya, dan semangat warga, Taman Beji diharapkan bisa menjadi contoh ekowisata berkelanjutan yang bukan hanya menghadirkan pengalaman berbeda bagi wisatawan, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Lebih. (kanalbali/RLS/IST)