
DENPASAR, kanalbali.id – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, Made Krisna Dinata alias Bokis merespon soal pernyataan Gubernur Koster yang mengatakan, tidak ada ahli fungsi lahan di Kota Denpasar.
“Salah satu data atau acuan kami, terkait dengan (ahli fungsi lahan di Denpasar) yang kita lihat dari spasial itu memang ada terbukti dan ada 780 (lebih) hektare itu yang berubah dalam kurun waktu 2018-2023,” kata Bokis saat dihubungi, Kamis (11/9) malam.
Teknologi Digital Merupakan Jendela Dunia
“Justru kita mempertanyakan. Kan gini sekarang, oke di Denpasar katanya tidak ada ahli fungsi lahan. Apa dalilnya, apa buktinya?. Berani nggak Pak Koster menunjukkan ke publik?,” ungkapnya.
Ia juga menyatakan, jika Walhi ditanya sebaliknya pihaknya tentu berani menunjukkan soal ahli fungsi lahan yang terjadi di Kota Denpasar.
Tetap Smart di Era Digital, Begini Caranya
BACA JUGA:
Terkait Banjir, Koster Sebut Tak Ada Alih Fungsi Lahan di Denpasar
“Kalau umpama Walhi ditanya sebaliknya, berani. Saya akan tunjukin, itu yang 780 hektare (lebih) itu di daerah di Kota Denpasar, dalam rentang waktu 2018-2023. Jadi kan kalau membaca perubahan ahli fungsi lahan dengan skema SIG (sistem informasi geografis), itu kan kita lihat peta,” ujarnya.
“Yang tadinya berwarna hijau itu misalnya tutupan-nya, terkonfirmasi sawah itu tiba-tiba berubah berwarna kuning-kuning gitu. Nah itu ketika dikalkulasi itu ternyata luasannya mencapai 783 (hektar lebih),” jelasnya.
Bokis juga menyampaikan, bahwa banjir besar yang terjadi di sejumlah titik di wilayah Bali, karena adanya degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian menjadi bangunan, merupakan pemicu awal dari rentannya Pulau Bali terhadap bencana hari ini.
“Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah kami coba mengcapture pada wilayah empat kabupaten di Bali yakni Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan atau yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita,” ujarnya.
Ia menerangkan, dari rentang waktu 2018 hingga 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian khususnya sawah di wilayah Sarbagita. Persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3 hingga 6 persen dari luas wilayah masing-masing kabupaten dan kota di Bali.
Kemudian, untuk Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67 hektar atau 6,23 persen dari luas wilayahnya. Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1099,67 hektar dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97 hektar.
“Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2676,61 (hektar). Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian,” ujarnya.
Ia menyatakan, hilangnya lahan pertanian tentu juga akan menghilangkan fungsi dari subak atau sistem irigasi tradisional Bali, terutama dalam fungsinya pada sistem hidrologis alami. Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air.
“Bahkan menurut Prof Windia (Pakar Subak) setiap 1 hektar sawah mampu menampung 3000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm. Apabila lahan pertanian dan subak semakin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini,” ujarnya.
“Penerapan tata ruang Bali amat buruk. Itu kami lihat ketika mendapati berbagai rencana pembangunan yang acapkali melabrak tata ruang, semisal pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalih fungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangunan, atau pembangunan yang melabrak sempadan pantai dan sempadan Sungai,” jelasnya.
Dan bahkan menurutnya, pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana. Hal ini tentu akan menjadi suatu kombinasi yang sangat krusial yang menghantarkan Pulau Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana, salah satunya banjir.
Selain itu, upaya nyata yang mesti dilakukan dalam memitigasi potensi ancaman bencana di kemudian hari adalah tentu dengan menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan.
Kemudian, penghentian atau moratorium pembangunan akomodasi pariwisata yang massif di kawasan Sarbagita, dan semestinya menjadi langkah yang harus dilakukan. Dan melakukan penegakan tata ruang terhadap setiap pembangunan yang melabrak sempadan pantai dan sempadan sungai, begitupun dengan proyek yang mengancam kerusakan hutan dan pesisir di Bali.
Selanjutnya, melakukan pemulihan dan tindakan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di hulu Bali, serta menghentikan ambisius pembangunan mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian seperti rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit, di Kabupaten Buleleng, serta pembangunan akomodasi pariwisata yang amat massif dilakukan baik di Kota Denpasar dan Badung khususnya.
Bokis menegaskan, kalau ahli fungsi lahan terus dibiarkan dan tidak ditindak secara tegas, tentu Pulau Bali akan kembali terjadi banjir.
“Justru ketakutan saya itu terkait dengan besaran atau impact-nya itu akan mengarah ke lebih yang serius. Kalau kita biarin status atau kondisi seperti ini, yang dimana tata kelola lingkungannya biasa-biasa saja, karena hari ini kita sedang berdiri dalam keadaan atau situasi kita yang sudah rentan,” ujarnya.
Sebelumnya Gubernur Bali Waya Koster, menyampaikan bahwa untuk penyebab banjir di daerah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, akibat curah hujan yang tinggi yang membuat sungai atau Tukad Badung meluap. Apalagi, sungai Tukad Badung jalurnya sangat panjang.
“Ini kan hulunya jauh panjang di sungai Tukad Badung dan curah hujannya memang sangat tinggi dari kemarin, sehari dan lanjut lagi, iya tentu saja menimbulkan masalah banjir,” kata Koster saat meninjau langsung Pasar Kumbasari, di Kota Denpasar, pada Rabu (10/9) lalu.
Kemudian, terkait banyaknya sampah di sekitar wilayah Pasar Kumbasari, pihaknya menyatakan bahwa sampah-sampah tersebut bisa saja dari masyarakat maupun pedagang.
“(Banyaknya sampah), iya harus diselesaikan, saya minta tadi sudah sampah yang ada dibersihkan diangkut di tempatkan lokasi memungkinkan. Sampah kan banyak nggak tau dari mana, sampah dari masyarakat entah dari para pedagang dan sebagainya,” katanya.
Kemudian, saat ditanya apakah penyebab banjir di Bali karena dampak pembuangan yang masif, pihaknya meminta jangan buru-buru menyimpulkan.
“Janga buru-buru menyimpulkan faktornya banyak,” katanya.
Ia juga menerangkan, soal banjir ada di 43 titik di wilayah Kota Denpasar dan di Kabupaten Badung, Bali.
“Yang parah itu Denpasar. Ada 43 titik tapi yang parah ada dua wilayah Pasar Kumbasari dan Jalan Raya Pura Demak. Kemudian ada beberapa juga di Kabupaten Badung,” ujarnya. (kanalbali/KAD)