ETIKA atau kesopanan dan kepantasan dalam interaksi di masyarakat tak hanya dibutuhkan di kehidupan nyata, tetapi juga di ruang digital.
Menurut Dr. Zunnuraini, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin 15 November 2021, masyarakat harus menetapkan standar yang sama pada dunia maya dan di dunia di luar dunia maya atau dunia nyata.
“Standar kesopanan, etika baik di dunia maya dan dunia nyata harus sama. Seperti kita harus menolak apapun yang memperkuat atau mendukung kekerasan. Selain itu contoh lain adalah menhormati segala perbedaan yang ada dengan mengakui adanya perbedaan budaya di dunia khususnya di Indonesia,” ujar Zunnuraini dalam webinar yang dipandu oleh Tony Thamrin ini.
Lebih lanjut dikatakannya juga, bagaimana kita menggunakan standar yang sama di dunia nyata dan dunia maya dengan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar atau tidak suka menghina.
“Apalagi ini kalau kita sudah bicara dunia maya itu seperti dunia tanpa batas. Kita bisa bertemu orang dari mana pun dari seluruh penjuru dunia. Kita harus sadar bahwa orang-orang dari seluruh penjuru dunia ini kita punya perbedaan-perbedaan baik itu dari segi budaya ataupun perbedaan-perbedaan lainnya. Dan standar kesopanan ini harus menjadi kesadaran kita sebagai pedoman berperilaku di dunia maya,” imbuhnya.
Contohnya lagi adalah standar kesopanan mahasiswa di ruang digital juga mengacu pada standar kesopanan di ruang nya. Semisal saat menyapa dosen di ruang digital mulailah dengan salam, kemudian sebutkan nama.
“Kalau pengalaman saya pribadi kadang mahasiswa ada yang minta konfirmasi sial nilai tapi tidak menyebutkan namanya mata kuliahnya apa. Dan itu bisa membuat dosen bingung untuk mengeceknya,” jelasnya lagi.
Sebab saat kita bicara berhadapan secara langsung secara fisik itu kemungkinan terjadinya kesalahpahaman bisa langsung kita perbaiki kesalahpahaman. Tetapi kalau di dunia maya dengan tulisan itu akan lebih sulit untuk dipahami sehingga bisa timbul kesalahpahaman.
“Contoh yang kerap terjadi adalah kata “ya udahlah”, kalau kita bertemu secara langsung intonasi suara kita bisa menunjukkan konsep dari kalimat kita. Misalnya saay bicara ajakan makan, ‘ya udahlah’ mau makan di mana aja atau berarti oke kita menerima usulan atau mungkin dia ada rasa kesal karena tempat makan yang dia usulkan itu tidak diterima sehingga udahlah aku mau makan di mana aja saya ikut,” ujarnya.
Kalau secara fisik ini kan kita bisa lebih paham karena tadi ada intonasi suara misalnya yang menunjukkan mengenai konteks dari kalimat. Tetapi kalau hal itu dalam bahasa tulis akan lebih sulit dipahami. “Ya udahlah tadi itu kita bisa salah paham. Dan kalau kita mengirim Washap juga harus diperhatikan karena penerimaannya bisa menjadi berbeda karena tidak bertemu secara face to face,” tegasnya.
Juga soal sarkasme kalau secara offline atau di luar jaringan mungkin kita bercandanya dengan teman yang satu frekuensi dengan kita. Atau mungkin dengan anak-anak yang seusia dengan mereka sehingga bercandaan mereka itu bisa diterima seperti itu karena kita satu frekuensi. Tetapi kalau di dunia online itu sangat beraneka ragam sehingga sesuatu yang menurut kita adalah bercandaan bisa dianggap sarkasme atau kemudian dianggap sebagai suatu penghinaan oleh pihak lain.
Selain Zunnuraeni, pembicara lain adalah M. Randy Mandala, Kepala Unit RS Anggrek Mas, Astried Finnia Ayu Kirana, Managing Director Managing Director PT Astrindo Sentosa Kusuma dan Wicha Riska sebagai key opinion leader.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Senin (15/11/2021) juga menghadirkan pembicara, Chyntia Andarinie (Founder Mom Influencer ID), Descha Muchtar (Founder Indopinups & CSE Educator), dan Arman Kalean (Akademisi IAIN).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital. (kanalbali/RLS)
Be the first to comment