
MENJELANG digelarnya perhelatan akbar 5 (lima) tahunan, berbagai permasalahan tentunya mewarnai panggung hukum negeri ini. Terlebih pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Berbagai pihak menganggap putusan tersebut sarat akan nuansa politik sehingga memunculkan banyaknya laporan terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. Sebagai responnya, Mahkamah Konstitusi membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Pembentukan MKMK tentunya tidak terlepas dari sederet peristiwa yang mencederai keluhuran Mahkamah Konstitusi. Penegakkan atas dugaan pelanggaran kode etik juga menjadi legal spirit pembentukan majelis kehormatan ini. Pembentukan majelis kehormatan ini merupakan amanat Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020).
Selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (PMK 1/2023) yang menentukan lebih lanjut mengenai kedudukannya.
Pertama, dugaan pelanggaran etik dalam putusan a quo menjadi catatan kelam dalam sejarah dunia peradilan. Pasalnya, baru kali ini seluruh hakim konstitusi dilaporkan secara bersamaan terkait dugaan pelanggaran etik. Sejauh ini, sudah terdapat tujuh laporan yang masuk mengenai dugaan pelanggaran kode etik. Laporan tersebut merujuk pada keterlibatan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara yang ada hubungannya dengan keluarganya. Dugaan intervensi oleh Anwar Usman terhadap hakim lain dalam juga melatarbelakangi berbagai laporan tersebut.
Kedua, Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo menerabas dan mengambil kewenangan pembentuk undang- Undang. Dalam perkara tersebut, mahkamah konstitusi keluar dari batasannya sebagai negative legislator dan justru mengambil domain pembentuk undang- undang sebagai positive legislator dengan merumuskan norma baru di dalam putusannya.
Dalam uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, mahkamah konstitusi merumuskan norma baru sehingga berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Ketiga, kentalnya nuansa politik dalam putusan a quo, menjadikan mahkamah konstitusi tidaklah lebih dari sekedar alat untuk memuluskan kepentingan politik kelompok tertentu. Karpet merah yang sudah disiapkan sedemikian rupa melalui putusan tersebut tentunya memberi kesempatan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden 2024. Gibran yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta merupakan kemenakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Rangkaian demi rangkaian peristiwa tersebut tidak jarang menyurutkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Bahkan, paradigma masyarakat juga mengalami pergeseran dengan menyebutnya sebagai ‘mahkamah keluarga’. Titel eksekutorial ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seolah menjadi slogan belaka akibat kuatnya kepentingan politik yang menjelma dalam putusan tersebut. Sungguh miris apabila marwah Mahkamah Konstitusi harus dipertaruhkan demi kepentingan politik kelompok tertentu. Sehingga, banyak pihak berharap besar pada kinerja MKMK untuk memenuhi panggilan sejarah yang tertuang dalam putusannya pada Selasa (7/11/2023).
Catatan Kelam Dunia Peradilan
Laporan dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan a quo yang menyeret kesembilan hakim konstitusi menjadi catatan kelam dalam dunia peradilan. Pelaporan tersebut buntut dari dugaan hakim yang tidak memperhatikan rambu-rambu berupa kode etik dalam mengadili perkara. Dalam putusan a quo, (3) tiga hakim konsitusi menerima yaitu Anwar Usman, M. Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul, 2 (dua) hakim konstitusi mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) yaitu Enny Urbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, dan (4) empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Keterlibatan Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam mengadili uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 patut mendapat perhatian khusus. Pasalnya, pengujian tersebut erat kaitannya dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan umum 2024. Kendatipun menurut sebagian pihak pengujian tersebut berlaku umum dan tidaklah hanya tertuju pada pencalonan Gibran. Akan
tetapi, dalam alasan-alasan permohonan putusan a quo dengan jelas disebutkan bahwa pemohon sangat kagum dengan Walikota Surakarta dan sangat inskonstitusional apabila tidak bisa mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal.
Nemo judex in causa sua atau nemo judex idnoneus in propria causa harusnya dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili perkara a quo. Postulat dalam dunia peradilan yang berlaku universal tersebut mengandung makna bahwa tidak seorangpun hakim yang boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya. Postulat ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality). Hal tersebut untuk menjamin objektivitas peradilan. Bilamana seorang hakim ditunjuk untuk mengadili suatu perkara yang ada kaitan dengan dirinya, maka wajib untuk mengundurkan diri.
Postulat nemo judex in causa sua ini merupakan pikiran dasar yang melatarbelakangi terbentuknya Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menentukan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili perkaranya sendiri. Postulat tersebut tertuang pula dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim (PMK 09/PMK/2006). Dalam kode etik hakim konstitusi (sapta karsa hutama), postulat tersebut diterjemahkan sebagai prinsip ketakberpihakan, artinya seorang hakim konstitusi harus mengundurkan diri apabila anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
Pelanggaran terhadap prinsip ketidakberpihakan tentunya mengakibatkan hakim akan tendensius ke salah satu pihak dalam mengadili suatu perkara. Bahkan, dilanggarnya prinsip ketidakberpihakan cenderung akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dengan demikian, mahkamah konstitusi sangat mungkin menjadi alat untuk memuluskan kepentingan politik tertentu. Untuk itu, kode etik hakim konstitusi (sapta karsa hutama) harus dijadikan pegangan oleh hakim dalam mengadili perkara. Serta pelanggaran terhadapnya harus ditegakkan untuk mempertahankan kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Putusan a quo Potensial Tidak Sah
Dalam ilmu hukum, setiap putusan pengadilan memang harus dianggap benar sebagaimana makna dari postulat res judicata proveritate habetur. Postulat tersebut mendasari semua putusan pengadilan, terlepas dari putusan tersebut benar ataukah salah. Postulat res judicata proveritate habetur dapat dikatakan sebagai latar belakang pembentukan Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) yang menentukan bahwa putusan mahkamah konstitusi bersifat final. Frasa ‘final’ sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 mengandung makna bahwa putusan mahkamah konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Putusan mahkamah konstitusi yang bersifat final tentunya tidak serta merta dapat diterima begitu saja, karena terdapat ketentuan lain sebagai penyeimbang ketentuan tersebut. Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (6) UU 48/2009 yang mengatur mengenai akibat hukum terhadap suatu putusan apabila nantinya terbukti terdapat pelanggaran terhadap kode etik ‘ketidakberpihakan’, maka putusan dianggap tidak sah. Bahkan, masih dalam ketentuan yang sama ditegaskan mengenai akibat hukum terhadap hakim atau panitera yang terbukti melanggar kode etik, dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penemuan hukum harus dilakukan ketika terjadi pertentangan antara dua ketentuan yang ada. Di satu sisi, putusan mahkamah konstitusi memang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Di lain sisi, kode etik harus menjadi rambu-rambu oleh hakim konstitusi di dalam mengadili suatu perkara dikarenakan pelanggaran terhadapnya akan mengakibatkan putusan menjadi tidak sah. Dalam kondisi ini, Radbruch Formula sebagaimana dimuat dalam berbagai literatur hukum Jerman sekiranya menjadi formula yang tepat untuk digunakan, disebutkan bahwa hukum positif dianggap sebagai lawan dari keadilan, dan jika terdapat pertentangan maka yang lebih didahulukan adalah keadilan.
Babak akhir dari dugaan pelanggaran kode etik tentunya akan bergantung pada Putusan MKMK. Kendatipun sanksi yang dapat dimuat dalam putusan yang dijatuhkan terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik hanya sebatas teguran lisan, teguran tertulis, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Akan tetapi, yang lebih menariknya lagi mengenai akibat hukum yang akan dijatuhkan oleh MKMK terhadap putusan a quo yang akan termuat dalam amar putusannya. Penting untuk diingat, UU 48/2009 memberikan peluang bahwa putusan a quo diyatakan tidak sah apabila terbukti melanggar kode etik.
Panggilan Sejarah Yang Memaksa Tuk Dipenuhi
Amar putusan terhadap uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menentukan bahwa Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD NRI 1945. Lebih lanjut disebutkan bahwa ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Bahkan, mengejutkannya
lagi mahkamah konstitusi dalam amar putusannya langsung merumuskan norma baru tersebut menjadi bunyi dari Pasal 169 huruf q UU 7/2017.
Dirumuskannya norma baru oleh mahkamah konstitusi dalam amar putusannya memang layak mendapat atensi bersama. Pasalnya, kewenangan mahkamah konstitusi hanyalah terbatas sebagai negative legislator dan bukan sebagai positive legislator. Menurut Moh. Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, negative legislator dapat dimaknai sebagai tindakan mahkamah konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam judicial review undang-undang terhadap UUD NRI 1945 atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent UUD NRI 1945 sebagai tolak ukurnya.
Kepentingan politik yang begitu kuat sangat jelas tergambar melalui dimuatnya norma baru dalam putusan a quo, yang langsung memberikan ‘karpet merah’ untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Padahal biasanya putusan mahkamah konstitusi hanya membatalkan norma ketika bertentangan dengan UUD NRI 1945. Terlebih lagi, putusan ini dikeluarkan menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Bahkan, dalam putusan a quo, jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum (elected official) yang dapat menegasikan syarat usia 40 tahun tidak didukung dengan argumentasi hukum yang memadai. Hukum memang acap kali terjebak dalam pusaran kekuasaan, kenyataan inilah yang menjadi sorotan utama para pemikir studi hukum kritis (Critical Legal Studies). Critical Legal Studies memandang bahwa hukum tidak buta politik, atau dengan kata lain hukum pasti memihak kepada kondisi politik. Mustahil kita melihat hukum yang benar adanya, hanya karena merupakan putusan pengadilan yang diambil oleh hakim-hakim. Sehingga, komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu sangat dibutuhkan untuk
menghadirkan terobosan-terobosan untuk menjawab problem tersebut.
Menurut Peter Fitzpatrcik dan Alan Hunt dalam bukunya Critical Legal Studies, terdapat beberapa karakteristik dari aliran Critical Legal Studies, yakni: (1) Mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral; (2) Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan suatu ideologi tertentu; (3) Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu; (4) Kurang mempercayai kebenaran-kebenaran yang abstrak; dan (5) Menolak perbedaan antara teori dan praktik serta menolak perbedaan antara fact dan value, yang tak lain merupakan paham liberal.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sejatinya harus mampu memenuhi panggilan sejarah untuk membebaskan hukum yang tengah disandera oleh kepentingan politik tertentu. Dari kacamata Critical Legal Studies, MKMK harus memiliki
komitmen yang besar dalam dirinya untuk berani menghadirkan terobosan-terobosan hukum. Sebagai benteng terakhir, MKMK harus bisa menegakkan kode etik dan merepresentasikan keadilan dalam amar putusannya. Sehingga, hukum tidak lagi digunakan sebagai alat untuk melayani kepentingan politik tertentu. Dengan demikian, marwah Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya harus dipertaruhkan, dapat ditegakkan kembali secara perlahan. (KANALBALI)
Be the first to comment