
BULELENG, kanalbali.id – Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Buleleng, berinisial IMK ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, terkait dugaan korupsi dengan pemerasan, pada Kamis (20/3).
Tersangka IMK diduga terlibat pemerasan proses perizinan konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang KKKPR/PKKPR dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), terkait pembangunan perumahan bersubsidi di Kabupaten Buleleng, Bali.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Agus Eka Sabana Putra mengatakan, tim penyidik Kejati Bali dari beberapa bulan kemarin melakukan penyidikan di Kabupaten Buleleng.
“Pada hari ini bidang tindak pidana khusus pada Kejati Bali melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan rumah bersubsidi,” kata Eka saat konferensi pers di Kantor Kejati Bali, Kamis (20/3) sore.
BACA JUGA: Cuaca Ekstrem, Seorang Warga Karangasem Bali Tewas Tertimpa Tiang Listrik
Tersangka IMK ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dengan cara pemerasan dalam perizinan pembangunan rumah bersubsidi di Kabupaten Buleleng, dan tersangka diduga memeras para pengembang atau developer agar menyerahkan sejumlah uang dengan jumlah yang bervariasi untuk melancarkan proses perizinan pembangunan rumah subsidi tersebut.
Kemudian, sejak tahun 2019 sampai 2024, atau selama lima tahun total dugaan pemerasan yang dilakukan mencapai Rp 2 miliar, dan bila kontraktor tidak menurut maka proses perizinan akan dihambat atau dipersulit.
“Tindakan tersangka dapat menghambat program rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari kedepan untuk penyidikan,” imbuhnya.
Kemudian, dari keterangan tersangka memberikan pengakuan, alasannya melakukan tindak pidana tersebut untuk membiayai kebutuhan pemerintahan. Namun, pihaknya mengatakan, keterangan tersangka perlu selidiki lagi kebenarannya.
“Dengan alasan untuk membiayai kebutuhan pemerintahan dan tersangka IMK telah meminta kepada para pemohon dan PBG untuk membayar sejumlah uang dengan jumlah keseluruhan yang telah dipungut sekitar Rp 2 miliar sejak kurung waktu 2019-2014. Itu baru pengakuannya dia, tentunya perlu dibuktikan,” ujarnya.
“Dan apabila para pemohon tidak memberikan permintaan oleh tersangka maka tentunya proses perizinan tesebut dihambat dan dipersulit,” ujarnya.
Sementara, Kasidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Bali, Andreanto mengatakan, awalnya kasus itu diketahui adanya informasi masyarakat, soal penyaluran rumah subsidi yang tidak sesuai ketentuan.
Kemudian, ditemukan adanya indikasi rumah yang seharusnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tapi justru diberikan kepada pihak yang tidak berhak. Kemudian, ada oknum kontraktor yang bermain di sana dengan meminjam KTP orang lain untuk melancarkan modus tersebut. Maka dari itu, dalam proses penyidikan pihaknya juga sudah menyita sebanyak 40 unit rumah subsidi yang dibangun.
“Nanti dengan penyitaan itu membantu kita mengungkapkan bagaimana tindak pidana terjadi. Berawal dari penyaluran dana rumah subsidi. Dari situ penyidikan berjalan memperoleh fakta adanya tindak pidana yaitu pemerasan yang dilakukan oleh oknum kadis (kepala dinas),” ujarnya.
“Harapannya dengan kami penyitaan beberapa unit tersebut nanti bisa membantu kami mengungkapkan bagaimana tindak pidana terjadi,” ujarnya.
Sementara, dari modus awal tersebut, kasus itu berkembang dan ditemukan adanya praktik pemerasan dari oknum pejabat. Terkait kontraktor yang meminjam KTP orang lain, pihaknya masih melakukan penyidikan terhadap oknum itu.
Sementara, Eka Sabana menambahkan, kasus awal dengan tindak pidana yang dilakukan oknum kepala dinas ini adalah dua penyidikan terpisah.
“Jadi itu dua kegiatan penyidikan, penyidikan utama tetap masih didalami oleh penyidik. Jadi ini dari kegiatan pertama itu, didapatkan ternyata tersangka IMK melakukan tindak pidana terpisah dari yang disidik pertama,” ucapnya.
Kemudian, mengenai nasib warga yang sudah menempati rumah, pihaknya akan mengkaji dahulu legalitasnya. Kalau yang menempati adalah pihak yang berhak dan sudah melalui proses yang legal, maka setelah proses hukum tuntas akan dikembalikan haknya. Kemudian, bagi yang yang menempati tanpa ketentuan yang benar, tentunya ada mekanisme tertentu untuk menanganinya.
“Apabila nanti prosesnya selesai, pihak yang menempati rumah ternyata merupakan hasil dari kejahatan, iya tentunya akan dipertimbangkan dalam persidangan,” ujarnya.
Tersangka IMK disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e jo. Pasal 18, Undang-undang Nomor 31, Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20, tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. ( kanalbali/KAD )
Be the first to comment