
Singaraja, Kanalbali.id – Di sebuah ruang sunyi di Singaraja, Bali, seorang guru Bahasa Indonesia merayakan tonggak perjalanan panjangnya. Luh Arik Sariadi, perempuan yang telah mengajar di SMK Negeri 3 Singaraja sejak 2007, akhirnya menerbitkan kumpulan cerpen perdananya. Buku itu diberi judul Nyonya Suartini, dan diterbitkan oleh Teater Sastra Welang.
Peluncuran ini terasa lebih dari sekadar kabar gembira dunia sastra. Ia adalah penanda betapa konsistensi seorang penulis, yang memendam dan menyimpan cerpen-cerpen selama 17 tahun, akhirnya menemukan bentuknya dalam sebuah buku. Nyonya Suartini memuat 16 cerita pendek, ditulis sejak 2008 hingga 2025, yang menjelajah kedalaman batin manusia di tengah pusaran sosial masyarakat modern.
Di dalam kumpulan ini, Luh Arik Sariadi tidak hanya mengisahkan tokoh-tokoh yang berhadapan dengan rutinitas sehari-hari. Ia menyingkap lapisan-lapisan batin yang kadang terlupakan. Ceritanya berputar pada persoalan kerja, hubungan keluarga, dan dinamika sosial yang rumit.
Dengan gaya narasi yang lugas, ia mampu menghadirkan pergulatan batin yang terasa universal. Tokoh-tokoh di dalam Nyonya Suartini hidup dalam kegelisahan yang dekat dengan pembaca, yakni soal prasangka, soal ketidakadilan, dan soal pencarian makna kebahagiaan. Dalam cerpen-cerpen itu, manusia ditampilkan sebagai sosok rapuh sekaligus tangguh, yang berusaha menemukan dirinya di tengah kerasnya kehidupan.
Ada semacam pengakuan diam-diam dari Luh Arik: bahwa setiap peran—pekerja, anak, orang tua, atau anggota masyarakat—selalu mengandung beban emosional. Dan beban itu, ketika dikisahkan, berubah menjadi cermin yang memperlihatkan wajah kita sendiri.

Guru di SMK Negeri 3 Singaraja sejak 2007 – IST
Jejak Panjang di Dunia Sastra
Perjalanan sastra Luh Arik Sariadi tidak dimulai hari ini. Sejak kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, ia telah dibimbing oleh nama-nama penting: I Wayan Artika dan Umbu Landu Paranggi. Dari keduanya, ia belajar bahwa sastra bukan sekadar kata-kata, melainkan jalan hidup.
Prestasi pun mengiringi langkahnya. Pada 2004, naskah drama Nyunnyan…Nyunnyen membawanya ke panggung Taman Ismail Marzuki dalam ajang Parade Teater Perempuan yang digelar Kelompok Tulus Ngayah. Saat itu, ia tampil di bawah asuhan seniman Cok Sawitri—nama besar yang kelak datang menghampirinya kembali, kali ini dalam mimpi.
Tidak berhenti di sana, ia meraih Juara 3 Lomba Monolog 2005 yang diadakan Bali Eksperimental Teater, lalu Juara 1 pada 2006. Dunia seni peran menjadi ladang tempanya, sebelum akhirnya ia semakin serius menekuni kepenulisan.
Beberapa cerpennya sempat dimuat di harian Bali Post. Tahun 2015, ia menerbitkan kumpulan drama Menyublim hingga Rahim. Empat tahun kemudian, puisinya terpilih masuk nominasi antologi Sang Guru. Ia juga ikut serta dalam Pendidikan Seribu Wajah (2021). Pada 2024, naskah monolog Sejak Lama terbit, dan salah satu cerpennya hadir dalam antologi 33 Sastrawan Bali Lintas Generasi, Manusia Manusia.
Semua capaian itu, bisa dikatakan, menemukan puncak sementaranya pada 2025 ini—dengan lahirnya Nyonya Suartini.
Ada kisah yang tak kalah menarik di balik penerbitan buku ini. Dalam keterangan tertulisnya, Luh Arik Sariadi mengaku lega sekaligus bahagia. Puluhan cerpen yang sempat terancam hilang karena pergantian komputer, kini telah aman tersimpan dalam bentuk buku.
“Waktu mahasiswa saya mengetiknya di rental karena saya tidak punya laptop,” kenangnya. “Sekarang, saya tidak takut lagi karya saya hilang akibat perubahan teknologi karena telah dibukukan,” imbuhnya.
Ia bahkan menyebut, penerbitan ini membuatnya “didatangi” mendiang Cok Sawitri dalam mimpi. Sebuah simbol, barangkali, bahwa perjalanan panjangnya memang diberi restu oleh alam semesta. Lebih nyata lagi, ada teman yang langsung membeli bukunya. “Ini sangat menyemangati saya untuk terus menulis,” ujarnya.
Suara Penting dari Bali
Peluncuran Nyonya Suartini menegaskan posisi Luh Arik Sariadi sebagai salah satu suara penting dalam sastra Bali kontemporer. Ia menghadirkan cerpen-cerpen yang bukan hanya menghibur, melainkan juga memberi ruang refleksi bagi pembaca.
Di tengah derasnya arus teknologi dan kehidupan modern, karyanya hadir sebagai pengingat: bahwa batin manusia, dengan segala kegelisahannya, tetap membutuhkan bahasa untuk diungkapkan. Dan sastra, dalam hal ini cerpen, menjadi medium yang paling jujur.
Bagi Luh Arik, buku ini adalah cara mengabadikan cerita, menjaga agar ia tidak hilang seperti file di komputer. Bagi pembaca, Nyonya Suartini adalah kesempatan untuk bercermin—melihat kembali diri sendiri, lengkap dengan luka, prasangka, cinta, dan harapan.(KanalBali/AWJ)