Bali “Pidan” ke “Jani” : Keladi dan Perihal Ketahanan Pangan (4)

Foto : KanalBali.id/Ayu Sulistyowati
Foto : KanalBali.id/Ayu Sulistyowati

DI TABANAN , rata-rata harga keladi mentah itu Rp 15.000/kilogram. Sekilo keladi togog atau jenis lainnya setelah diolah, dapat menjadi puluhan bungkus bakwan keladi dengan harga sebungkus Rp 10.000/200 gram.

“Mengolah bakwan atau keripik keladi ini, tiyang (saya) atau ibu-ibu kelompok bisa sambil ngempu (mengasuh) anak. Dan tidak memakan waktu berjam-jam untuk mengolah sekilo keladi mentah. Jadi, kami bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dulu sebelum mengolah keladi untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual,” ujar Kade Ayu.

Analis Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tabanan Ni Ketut Indiani Masmini mendukung dan mendorong pengolahan pangan lokal. Gapokwatan Lumbung Rasa, lanjutnya, menjadi binaan dinasnya.

Ketut Indiani mengapresiasi upaya para ibu-ibu anggota Gapokwatan Lumbung Rasa yang mampu mengolah pangan lokal seperti keladi menjadi memiliki nilai tambah. Nilai tambah ini, menurutnya, dapat meningkatkan pendapatan dan membantu ekonomi keluarga mereka.

“Kami juga terus berupaya memotivasi Gapokwatan maupun ibu atau perempuan di masyaraakt agat tetap kreatif mengolah pangan lokal. Bagaimana pun ibu-ibu ini merupakan garda terdepan ketahanan pangan,” katanya.

Foto : KanalBali.id/Ayu Sulistyowati
Foto : KanalBali.id/Ayu Sulistyowati

Meskipun Ketut Indiani tidak menampik banyak kendala saat bertemu masyarakat di lapangan. Terkadang, lanjutnya, ada masyarakat yang meremehkan bahan pangan lokal karena dianggap murah harga jual mentahnya.

Mereka belum teredukasi bagaimana bahan pangan yang dianggap murah itu bisa bertambah nilainya jika kita mampu dan kreatif mengolahnya sehingga bernilai tambah.

Bahkan, ia pernah menemukan ada masyarakat yang hanya mendiamkan keladi-keladi itu berserakan saja di pinggir jalan. Dan ia prihatin. Maka, ia pun mengajak masyarakat tersebut praktik mengolahnya menjadi pangan yang bisa dikonsumsi sendiri maupun dijual.

Ada pula pengalamannya, bagaimana ia mendapatkan ejekan dibilang “omdo” alias omong doang soal mengolah bahan pangan lokal menjadi bernilai tambah dan mampu menjadi tameng ketahanan pangan selain padi beras.

“Ya, tiyang pun menerima ejekan itu dan justru berterima kasih. Karena ejekan itu memotivasi tiyang untuk membuktikan turut membantu pemasarannya,” jelasnya.

Mengapa pemasaran? Ia mengatakan masyarakat atau ibu-ibu ini ternyat (dari hasil berkeliling dari desa ke desa di Tabanan sebagai analis ketahanan pangan) bersedia mengolah berapa pun kilogram bahan pangan.

Hanya saja, mereka kadang frustasi dengan pemasarannya yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Maka, ia pun hadir membantu dengan sistem jual putus atau masyarakat menjual hasil olahannya dan langsung mendapatkan uangnya tanpa menunggu.

Ketut Indiani menambahkan adanya pengalaman beberapa masyarakat yang pernah mencoba memasok ke toko oleh-oleh besar hingga supermarket itu tidak bisa menerima sistem jual putus.

Hanya menerima konsinyiasi dan itu menyulitkan mereka untuk memutar modal kembali. Ia pun berharap adanya pembeda di kalangan pemodal besar kepada usaha kecil-kecilan di desa dengan sistem bukan konsinyasi.

Masyarakat Desa Pedawa, Kabupaten Buleleng, mengolah keladi menjadi sate. dokumen pribadi - Kadis Pertanian Kabupaten Buleleng Gede Melandrat.
Masyarakat Desa Pedawa, Kabupaten Buleleng, mengolah keladi menjadi sate. dokumen pribadi – Kadis Pertanian Kabupaten Buleleng Gede Melandrat.

Mulai budidaya

Selanjutnya, keladi pun masuk dalam agenda ketahanan pangan di Kabupaten Buleleng, kabupaten yang berjarak sekitar 60 kilometer ke arah utara dari Desa Penebel, Kabupaten Tabanan. Selain keladi togog, keladi pratama atau sangsit (Colocasia esculenta) berpotensi dibudidayakan di Buleleng, dengan masa tumbuh dan panen 8 bulanan.

Kepada Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng Gede Melandrat menjadikan keladi bagian dari tanaman pangan unggulan daerah selain padi dan jagung. “Ya, kami sepakat lokal genius perlu menjadi perhatian dan menjadi bagian dari ketersediaan cadangan pangan,” kata Melandrat.

Namun, Melandrat mengakui mengangkat pangan dari lokal genius menjadi pangan di tuan rumah sendiri itu tidak mudah. Banyak tantangan dihadapi, tapi menurutnya tetap bisa diwujudkan meski pelan.

Kurang dari lima tahun terakhir ini, kata Melandrat, beberapa masyarakat desa di Buleleng, tertarik untuk membudidayakan keladi. Beragam jenis keladi dibudidayakan mulai dari keladi kuning, keladi togog, dan mulai menjadi favorit itu keladi pratama atau sangsit. Total luas lahan tanam keladi dari tahun 2024 ke tahun 2025, dari sekitar 10 hektar bertambah menjadi 15 hektar.

 

Data Desa, Varietas dan Luas Tanam Keladi di Kabupaten Buleleng Tahun 2025

 

Desa Varietas Luas (ha)
Bungkulan Talas kuning 0,1
Bungkulan Talas kuning 0,2
Bungkulan Talas kuning 0,08
Bungkulan Talas kuning 0,12
Bungkulan Keladi 0,2
Bungkulan Keladi 0,17
Tambakan Keladi Tingkih 8,5
Pakisan Keladi Togog 5
Tamblang Keladi Pratama 0,15
Tamblang Keladi Kuning 1,6

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng (2025).

Keladi togog dan keladi tingkih ini merupakan jenis yang makin berkembang budidayanya di Buleleng. Menyusul kemudian keladi pratama yang, menurut Melandrat, memiliki keunggulan dari besarnya umbi di satu pohon beratnya bisa mencapai 5 kilogram hingga rasanya lebih enak setelah diolah umbinya dibandingkan umbi lainnya.

“Keladi pratama ini memang belum luas tanamnya karena satu tanaman itu bisa mencapai Rp 100.000. Kan, satu umbinya saja beratnya bisa mencapai 5 kilogram. Keladi jenis lainya, kan, bisa berasa dari beberapa tanaman untuk mendapatkan berat 1 kilogram dengan harga sekitar Rp 15.000/kilogram,” jelas Melandrat.

Dengan adanya ragam jenis keladi dapat tumbuh di Buleleng dan memiliki perbedaan rasa antara daerah lainnya, Melandrat berpikir untuk mengusulkan dapat diajukan sebagai indikasi geografis.

Berdasarkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, definisi indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Maka, menurutnya, keladi pun dapat diajukan mendapatkan indikasi geografis, sama halnya seperti Kopi Arabika Kintamani, Kabupaten Bangli.

Ia mengakui belum tertibnya pendataan soal keladi ini, tidak seperti padi. Namun ia sepakat jika keladi dapat menjadi tanaman ketahanan pangan sebagai subtitusi beras padi. Meski Buleleng pun tengah mengejar target tanaman padi di 18 ribu hektar untuk 2025, dan optimis tercapai.

Seorang perempuan tengah merawat sawahnya di sekitar wilayah Kuta Utara, Kabupaten Badung - IST
Seorang perempuan tengah merawat sawahnya di sekitar wilayah Kuta Utara, Kabupaten Badung – IST

Tanam padi, lalu keladi

Produksi padi di Bali, tak lagi semulus Bali zaman “pidan” atau dahulu. Data yang termuat ditulisan bagian 1, luasan panen dan produksi padi berkurang dari tahun 2000 ke 2024. Dalam waktu 24 tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat luasan panen 133.219 hektar menjadi 103.000 hektar atau berkurang 30.000-an hektar atau rata-rata per tahun berkurang 1.250 hektar.

Begitu pula hasil panenanya menurun. Penurunan itu terdata dari 826.975 ton menjadi 635.470 ton atau berkurang 191.505 ton atau rata-rata 7.900 ton turun setiap tahunnya.

Rekam sejarah mengenai persawahan ada di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Sejarah ini diperkuat dengan adanya Prasasti Sukawana A1, di Pura Bale Agung, Desa Sukawana, Kecamatan Kintmani, di tahun 882 Masehi, berupa lempengan tembaga. Sawah terasering terhampar dapat dinikmati sebagai pariwisata di Jatiluwih, dengan latar Gunung Batukaru.

Ringkas dalam prasasti tersebut merujuk adanya huma yang berupa sawah tadah hujan di dataran tinggi dan sawah irigasi di dataran rendah. Kemudian di 2012, Desa Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO. Sawah terasering bersistem subak menjadi manifestasai dari ajaran Tri Hita Kirana yang dalam Hindu Bai merupakan bagian dari keseimbangan dan harmonisnya manusia, alam dan spiritual.

Sistem subak ini ada sejak abad ke-11. Namun kekiniannyadi 2025, luasan sawahnya pun terancam berkurang dari 303 hektar berkurang sekitar 30 hektar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Bahkan dalam Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol.10. No.8, Mei 2022, penelitian berjudul “Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Beras di Provinsi Bali Tahun 2020”, dari Ni Wayan Suarni (AKP Madya Dinas Pertanian dan Kesehatan Pangan Provinsi Bali), terdata sembilan kabupaten/kota mulai defisit produksi padi setara beras untuk memenuhi kebutuhan beras di 2020. Hanya dua kabupaten saja, Tabanan dan Gianyar saja yang masih surplus (lihat tabel).

Analisis itu menyebutkan kebutuhan lahan pemukiman karena bertambahnya jumlah penduduk. Maka tantangannya, alih fungsi lahan makin mengurangi lahan sawah.

Belum lagi bagaimana tanaman padi di sawah menghadapi perubahan iklim yang dapat berdampak pada pergeseran waktu tanam hingga panen. Hal ini menjadi tantangan bagi ketahanan pangan berbasis padi beras yang menjadi barometer bahan pokok.

Berdasarkan penelitian yang dimuat Agro Bali : Agricultural Journal, Vol. 6 No. 3, November 2023, berjudul “Analisis Respon Petani Terhadap Perubahan Iklim dan Curah Hujan di Subak Jatiluwih, Tabanan Bali, Indonesia oleh Putu Edi Yastika, Nyoman Utari Vipriyanti, I GD Yudha Partama,I Wayan Eka Suparwata, dan I Ketut Sudiarta, tanaman padi rentan terhadap perubahan iklim. Karena iklim menjadi parameter pertumbuhan tanaman padi menjadi baik hingga panen tiba.

Seperti di Jatiluwih, subak memitigasinya dengan mengeluarkan “awig-awig” (peraturan baku yang disepakati). Yaitu satu kali menanam padi lokal di bulan Januari-Agustus. Lau menanam padi jenis baru di bulan September-Desember. Begitu pula merotasi penamamannya dari padi lokal, padi jenis lain dan palawija.

Dan hasil penelitian itu, subak Jatiluwih mengalami perubahan suhu rata-rata 1,6 derajat Celsius. Selain itu selama 30 tahun terakhir, hujan lebat dan hujan ektrem meningkat (1991-2020).

Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, mencatat beberapa tahun terakhir Bali cenderung musim kemarau panjang dengan matahari bersinar bisa lebih dari 9 jam per hari dengan panas rata-rata 32 derajat Celsius.

Serupa dengan awig-awig Subak Jatiluwih, Melandrat pun menerapak rotasi penanaman tanaman di sawah, dampak dari perubahan iklim dan demi menjaga ketahanan pangan. Penanaman padi yang biasanya tiga kali dalam setahun menjadi dua kali padi lalu menamam keladi yang masuk dalam tanaman palawija selain jagung serta umbi-umbi lainnya.

Selain itu, ia menggunakan sistem irigasi perpompaan. Hal ini mengantisipasi kemarau panjang sehingga sawah tetap terairi.

“Perubahan iklim memang tidak bisa dihindari dan tetap harus dimitigasi. Bagaimana pun tanah tetap memerlukan pemulihan. Maka, kami pun menjalankan tanam padi, lalu keladi. Dan secara menjaga kesuburan tanah, dan keladi juga kuat disegala iklim serta memiliki nilai ekonomi yang baik pula. Apalagi jika kita bisa mengolahnya dengan baik di hilirnya,” kata Melandrat. (kanalbali/KYB)

Tulisan ini merupakan hasil liputan beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025”, yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

 

Apa Komentar Anda?