Bali “Pidan” ke “Jani” : Perempuan Jadi Garda Terdepan Olah Keladi (3)

Ilustrasi: Kreasi kuliner dari Keladi - Foto: Ayu Sulistyowati
Ilustrasi: Kreasi kuliner dari Keladi - Foto: Ayu Sulistyowati

Penulis: Ayu Sulistyowati

TANGAN kanan Ni Putu Rika Dewi yang berselop plastik asik mengaduk adonan parutan keladi dan bumbu rempah di satu baskom berdiameter 30 sentimeter, Selasa (15/10/2025), di ruang dapur Pondok Indi, Desa Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.

Pondok ini merupakan salah satu tempat pengembangan usaha olah pangan hasil pertanian dari 23 kelompok wanita tani bersama menjadi gabungan kelompok wanita tani (Gapokwatan) Lumbung Rasa.

Sambil mengaduk, Rika Dewi bercerita dirinya dan beberapa orang ibu-ibu anggota kelompok wanita tani belajar mengolah pangan lokal seperti keladi, umbi-umbian lainnya, sayuran  di pondok ini.

“Kami belajar bersama dan hasil olahannya dibantu pemasarannya juga di pondok ini. Lumayan, ibu-ibu jadi punya tambahan penghasilan,” kata Rika Dewi sambil tetap mengaduk adonan.

Sekitar 10 menit berlalu. Adonan kripik keladi pun siap untuk bentuk pipihan-pipihan berjajar di atas nampan stainless steel (berbahan baja tahan karat).

“Pipihan-pipihan nike (ini) membantu menyamakan ukuran dan mempermudah nanti saat menggoreng. Nggih, nike sudah banyak pipihannya. Lanjut ke penggorengan. Apinya nike sedang saja dan minyaknya perlu banyak agar keladi terendam, matang merata,” kata Rika Dewi, sambil menuju penggorengan yang sudah berisi minyak panas.

Umbi dan pohon keladi di lahan Pondok Indi, Desa Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Selasa (15/10/2025) - IST
Umbi dan pohon keladi di lahan Pondok Indi, Desa Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Selasa (15/10/2025) – IST

Tangan kirinya memegang nampan berisi pipihan keladi tadi, dan tangan kanannya menuangkan satu per satu pipihan itu ke minyak panas. Ya, jangan terlalu panas, katanya mengingatkan agar bisa matang merata.

Adonan ini jika dibentuk agak bulat-bulat seperti bola pingpong, hasilnya menjadi bakwan keladi dengan proses juga digoreng. Setelah matang, keripik keladi itu memasuki tahap akhir sebelum dikemas. Keripik masuk ke alat peniris minyak berupa mesin spinner selama lima menit.

Wah, kripik keladinya kress…pas gigit!

Geliat di Desa Penebel Tabanan

Desa Penebel berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Denpasar menuju ke arah utara. Jarak ini pula yang terkadang membuat frustasi anggota kelompok tani saat memasarkan produk olahannya hingga ke perkotaan di Denpasar.

Maka, pembungkusan atau pengemasan produk memilih seadanya karena hanya dipasarkan sekitaran rumah atau desa saja. Semua atas nama : yang penting laku dan dapat uang tambahan untuk dapur keluarga.

Ketua Gapokwatan Lumbung Rasa Ni Kade Ayu Dharma Putri (30) prihatin dengan kondisi yang hanya mengemas seadanya. Ia pun berupaya memotivasi ibu-ibu kelompok tani ini agar tetap semangat berproduksi. Karenanya, ia bekerja sama dengan Pondok Indi ini untuk dapat menerima dan memasarkan produk olahan ibu-ibu ini.

Mengolah keladi menjadji sate - dokumen pribadi Kadis Pertanian Kabupaten Buleleng Gede Melandrat
Mengolah keladi menjadji sate – dokumen pribadi Kadis Pertanian Kabupaten Buleleng Gede Melandrat

“Kami ingin produk ibu-ibu ini bagus dan berdaya saing, mulai dari kualitas olahan hingga kemasannya. Beberapa tahun belakangan ini keladi menjadi olahan pangan lokal favorit. Terutama yang dibuat cemilan bakwan keladi atau kerpik keladi. Nah, kami pun mulai mengolah hingga menjadikan bagaimana kress-nya ini bisa awet. Pengemasannya pun diperbaiki agar tampil menarik bagi calon pembeli,” jelas Kade Ayu.

Menurut Kade Ayu, ibu-ibu kelompok tani ini membutuhkan produk yang mampu membantu ekonomi keluarga mereka. Keladi ini pun menjadi tanaman yang mudah dibudidaya dan dipanen sekitar 6 bulan sekali.

Ia pun semakin semangat membantu dan menggairahkan ibu-ibu kelompok tani untuk berproduksi dari olahan pangan lokal setelah Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tabanan juga mendukung upaya mereka.

Keladi togog (Colocasia esculenta) memang favorit karena tidak hanya umbinya saja yang bisa dijadikan panganan, tetapi daun dan batangnya pun enak dijadikan lauk sayur. Namun, menurut Kade Ayu, segala keladi atau Aracea yang bisa dikonsumsi itu rata-rata memang awet disimpan masih dalam bentuk umbi lebih dari sebulan dan rasanya tetap enak setelah diolah.

Keladi mulai kembali diatensi masyarakat Bali untuk dibudidaya. Hasil panenanya diolah para perempuan menjadi pangan yang bernilai tambah gizi dan ekonomi. (kanalbali/KYB)

Tulisan ini merupakan hasil liputan beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025”, yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

 

Apa Komentar Anda?