Banten dan Makna Pelaksanaan Sapuh Leger Ketika Tumpek Wayang

Pagelaran wayang kulit dalam rangka menyambut perayaan Hari Bakti Transmigrasi (HBT) ke-71 yang jatuh pada 12 Desember 2021, di Sanggar Wargo Laras, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (4/12/2021) - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Tumpek Wayang merupakan salah satu hari suci umat Hindu di Bali yang dirayakan setiap 210 hari sekali. Hari istimewa ini terjadi saat pertemuan antara Pancawara Kliwon, Saptawara Saniscara, dan Wuku Wayang. Selain menjadi momen pemujaan kepada Sang Hyang Iswara, Tumpek Wayang juga erat kaitannya dengan upacara Sapuh Leger, terutama bagi mereka yang lahir pada hari ini. Lantas, apa makna Tumpek Wayang dan mengapa upacara Sapuh Leger begitu penting?

Makna Tumpek Wayang

Tumpek Wayang adalah hari pujawali untuk memuliakan Sang Hyang Iswara, dewa yang diasosiasikan dengan kesenian, khususnya seni wayang. Pada hari ini, umat Hindu di Bali melaksanakan upacara untuk menghormati peralatan kesenian, seperti wayang kulit, sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan. Tradisi ini juga memiliki kaitan erat dengan mitologi, di mana anak-anak yang lahir pada Wuku Wayang diyakini perlu menjalani ritual pembersihan khusus yang disebut Sapuh Leger.

Menurut lontar Sapuh Leger, hari ini berkaitan dengan kisah Rare Kumara yang nyaris dimakan oleh Bhatara Kala. Dalam mitologi Bali, Dewa Siwa memberikan izin kepada Bhatara Kala untuk memangsa anak-anak yang lahir pada Wuku Wayang. Untuk melindungi mereka dari pengaruh negatif, diadakanlah upacara Sapuh Leger, yang bertujuan membersihkan mala atau energi buruk. Istilah “Sapuh Leger” sendiri berasal dari kata sapuh (membersihkan) dan leger (habis), yang berarti menghilangkan pengaruh negatif secara tuntas.

Upacara Tumpek Wayang

Upacara Tumpek Wayang dilakukan dengan menyiapkan berbagai sesajen, seperti banten suci, peras, ajuman, ajengan, pasucian, canang raka, pinang, sirih, dan daging itik putih. Selain itu, beberapa banten lain seperti pratista, durmengala, biakala, dan pejati juga kerap digunakan. Bagi para dalang, upacara ini menjadi momen untuk memuja Sang Hyang Ringgit, dewa pelindung seni wayang, dengan sesajen khusus seperti prayascita, penyeneng, tumpeng guru, dan sesayut.

Bagi mereka yang lahir pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang, upacara Sapuh Leger menjadi ritual wajib. Ritual ini melibatkan pembersihan spiritual melalui tirta Sapuh Leger, yang diyakini mampu menetralkan energi negatif dan memberikan perlindungan. Upacara ini juga menjadi wujud pemujaan kepada Dewa Iswara dan Dewa Siwa, yang dipercaya mengutus Sang Hyang Samirana untuk turun ke dunia sebagai dalang dalam pementasan wayang Sapuh Leger.

Tradisi Sebelum Tumpek Wayang

Sehari sebelum Tumpek Wayang, tepatnya pada Sukra Wuku Wayang, terdapat tradisi yang dikenal sebagai Ala Paksa atau Pemagpag Palla. Hari ini dianggap sebagai waktu yang penuh dengan energi negatif, di mana kekuatan buruk diyakini turun ke bumi. Oleh karena itu, masyarakat Bali melaksanakan berbagai ritual untuk menangkal pengaruh tersebut, menjadikan hari ini sebagai salah satu momen paling sakral dan penuh kewaspadaan.

Pentingnya Ritual Sapuh Leger

Ritual Sapuh Leger tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Bagi anak-anak yang lahir pada Wuku Wayang, ritual ini menjadi bentuk perlindungan dari pengaruh buruk Bhatara Kala. Prosesi ini biasanya dilakukan dengan melibatkan air suci (tirta) yang telah diberkati, yang diyakini mampu membersihkan jiwa dan raga dari segala bentuk energi negatif.

Dengan memadukan nilai spiritual, tradisi, dan kesenian, Tumpek Wayang menjadi salah satu warisan budaya Bali yang kaya makna. Hari suci ini tidak hanya memperkuat keterhubungan umat Hindu dengan leluhur dan dewa-dewi, tetapi juga menjaga kelestarian seni wayang sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Bali. ***

Apa Komentar Anda?